Pada 1920, ”bapak” dalam politik ditulis oleh Semaoen. Ia masih muda, tapi bergairah membesarkan partai politik dan mengisahkan dalam Hikajat Kadiroen. Sosok melek politik. Ia mengerti politik berselera tradisional dan modern. Semaoen paham feodalisme dan kolonialisme. Tulisan-tulisan dibuat untuk memberi sikap saat agenda-agenda perlawanan makin membesar. Kita mengingat babak seru melawan kolonialisme dan kapitalisme dalam arus kiri di Indonesia.
Pada 2023, kita diingatkan lagi masalah ”bapak” dalam politik. Kita ingin menilik masa lalu saja. Semaoen menjadi pengisah. Ia merekam zaman dengan memberi pendapat-pendapat memicu debat. Sejak lama, kita terbiasa memahami ”bapak” dalam politik atau ”bapakisme” melalui Soekarno dan Soeharto. Kini, kita mundur jauh untuk mengetahui ”bapak” dalam Hikajat Kadiroen.
Semaoen mengisahkan: ”Semenjak Kadiroen menjadi wedono, wajah dan badannya kian lama kian bertambah kurus karena beratnya pekerjaannya itu. Tetapi, Kadiroen tidak begitu memikirkannya. Ia hampir tidak memikirkan badannya sendiri. Kadiroen hanya mau memikirkan satu masalah, yaitu membikin keselamatan dan kemakmuran rakyat.”
Pada masa lalu, sosok itu menjadi idaman. Kadiroen dianggap pemimpin bertanggung jawab. Ia berani bekerja ”siang-malam”. Kadiroen sadar memenuhi pelbagai misi, tapi masih berada di bawah naungan birokrasi kolonial dan jeratan feodalisme di tanah jajahan.
Kerja-kerja dilakukan dengan tulus meski tetap mendapat risiko-risiko politik, sosial-kultural, dan gaji. Hikajat Kadiroen dijadikan bacaan mengandung pengharapan kemunculan pemimpin-pemimpin sebagai ”bapak”. Semaoen sengaja memberi kritik terhadap para pejabat atau tokoh-tokoh terpenting dalam pergerakan politik di Indonesia.
Baca juga: Belajar pada Semut Hitam
Kadiroen membuktikan pengabdian dan capaian. Pujian dituliskan Semaoen: ”Sudah barang tentu, dengan usaha Kadiroen itu, rakyat menjadi percaya kepada dirinya, seperti kepercayaan anak kepada bapaknya.”
Kita mulai mengingat hubungan ”anak” dan ”bapak” dalam lakon kekuasaan. Di situ, ”bapak” adalah sosok terhormat: memberi keselamatan dan kebahagiaan. Bapak rela lelah dan menanggung risiko agar anak-anak bergirang.
Semaoen sedang membesarkan gagasan ”bapak” dalam politik. Kita mengartikan dalam birokrasi masa lalu. Konklusi tentang Kadiroen: ”Ia memiliki maksud yang bersih, sebagai seorang yang ingin menjadi bapaknya rakyat.”
Kita mencatat perumpamaan ”bapak dan anak”. Usaha menjadi ”bapak” itu tak mudah. Kadiroen dimusuhi pelbagai pihak sering menginginkan untung dari pelbagai pemerasan, penipuan, dan pembodohan. Kadiroen berani menghadapi pihak-pihak mata duitan dan bernafsu kekuasaan. Ia selalu melindungi ”anak” dari bujukan politik dan uang. ”Kadiroen memberi alasan bahwa rakyat itu umpamanya anak-anak yang masih senang bermain dengan uang,” tulis Semaoen.
Pada masa berbeda dan kepentingan berbeda, kita mengetahui masalah ”bapak” dalam arus pendidikan dan demokrasi di Indonesia. Ki Hadjar Dewantara turut membesarkan gagasan ”bapak”. Pendirian Perguruan Nasional Taman Siswa (1922) mengawali penetapan bapak dan ibu dalam corak pendidikan-pengajaran, berlanjut dalam gejolak-gejolak politik menuju ”demokrasi terpimpin”.
Kenji T (1987) menganggap Taman Siswa mengawali famili-isme atau paternalisme dalam politik di Indonesia. Bapak, ibu, dan anak jadi acuan pendidikan dan pergerakan politik-kultural. Taman Siswa menguatkan pijakan keluarga dalam memajukan pendidikan-pengajaran. Pada kepentingan berbeda, masalah itu menular dalam lakon politik. Pada suatu masa, ”bapak” itu Soekarno.
Sejarah ”bapak” tentu memiliki jejak-jejak lama. Vincent JJ Houben (2002) menganggap sapaan atau sebutan menandai perbedaan status resmi dalam hierarki kekuasaan. Pada abad XIX, surat-surat kalangan penguasa di Jawa dan pejabat-pejabat kolonial menggunakan sebutan-sebutan keluarga: kakek, bapak, dan cucu. Pilihan imajinasi keluarga menguatkan jalinan feodalisme dan kolonialisme.
Baca juga: Sastra dan Pendewasaan Etos Politik Pemuda Indonesia
Pada abad XX, gagasan keluarga dalam politik terus membesar. Sasaki Shiraishi (2001) menduga formalisasi keluarga dan pengukuhan ”bapak” terjadi setelah masa revolusi. Taman Siswa berpengaruh besar meski pembesaran secara politik bertokoh utama: Soekarno. Siasat itu menular ke pejabat-pejabat dengan memainkan imajinasi politik keluarga. Siasat berbeda dengan misi Kadiroen seperti diceritakan Semaoen.
Masalah ”bapak” dalam arus kekuasaan Indonesia mengalami babak menakjubkan bertokoh Soeharto. Ia selalu berseru pembangunan nasional dan memusuhi kiri. Kerja-kerja besar diselenggarakan tanpa jaminan memberi keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan kepada jutaan warga Indonesia. Soeharto dengan birokrasi dan militer justru sering memicu derita dan dendam.
Capaian terpenting dalam permainan (imajinasi) politik: Bapak Pembangunan Nasional. Soeharto itu bapak teragung. Ia dianggap memajukan Indonesia. ”Bapak” itu santun, bijak, sabar, tulus, dan baik. Gagasan dan pengakuan itu membenarkan ”roman” Orde Baru.
Kita tak mengira jika ”bapak” masih terlalu penting dalam lakon demokrasi di Indonesia abad XXI. ”Bapak” muncul lagi melalui beragam kebijakan dan ulah politik menuju hajatan demokrasi. Kita merasa sedang ”membaca” roman baru, tapi tak memikat.
Pada saat orang-orang berdebat dan tekun menghujat, kita kangen membaca lagi Hikajat Kadiroen untuk bertemu ”bapak” ciptaan Semaoen. Di situ, kita mengenali ”bapak” tanpa nafsu kekuasaan dan terbujuk uang. Kadiroen tetap ”bapak” idaman meski cuma berada dalam cerita. Begitu.
Bandung Mawardi, Pegiat Literasi