Usai klop di UNESCO, kini upaya para duta besar melangkah lagi: berbuat agar bahasa Indonesia jadi bahasa resmi di PBB.
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
Wah, empat hari yang lalu ada berita menarik. Kata jurnalis, bahasa Indonesia diangkat menjadi salah satu dari 10 bahasa resmi Sidang Umum UNESC0 2023. Hebat, kan?
Pikir-pikirku, sombong di depan komputer, jangan-jangan gagasan untuk mengajukan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa resmi sidang UNESCO bermula dari kita ini, di Kompas.
Memang, selaku Duta Besar di Paris merangkap wakil Indonesia di UNESCO, bisa jadi Yang Mulia Pak Mohamad Oemar biasa membaca Kompas dan dengan sendirinya rubrik Udar Rasa ini. Maka, dia tahu ada orang bule–maksudnya saya—yang kerap ngoceh di Kompas tentang bermacam-macam topik remeh atau mahapenting.
Lalu, pikir yang Mulia itu, bila tulisan seorang bule boleh menghiasi halaman Kompas dengan aneka pikiran yang tidak berujung pangkal, tetapi kerap menarik, di dalam bahasa Indonesia, bukankah saatnya sang wakil Indonesia ke UNESCO berpidato hebat di hadapan kalangan intelektual sedunia, di dalam bahasa yang dipakai Pramoedya Ananta Toer dan Mangunwijaya. Maka, permohonan diajukan oleh beliau. Dan kena! Diterima.
Sebenarnya, perjuangan belum selesai. Usai klop di UNESCO, kini tinggal para duta besar menanjak satu langkah lagi: berbuat sedemikian rupa supaya bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Agar semua orang dari semua bangsa, sembari berdebat tentang perang, dapat membaca kronik Udar Rasa dan puisi Warih Wisatsana. Internasionalisasi bahasa. Diplomasi kebudayaan. Dan upaya perdamaian. Bagus, kan?
Terus terang, pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa UNESCO adalah kebanggaan bangsa, okay, okay! Namun, bagi saya, hal ini merupakan juga kebanggaan pribadi. Saya termasuk, sambil terkekeh-kekeh, salah seorang yang ”menginternasionalkan” bahasa Indonesia. Ya! Apa lagi saya terus memakai bahasa Indonesia dengan konco lawas orang Italia-Indonesia yang bekas konsul Italia di Bali.
Kalau kami memakai bahasa Inggris, terasa kaku, kami kurang lancar, dan dianggap turis. Semua tiba-tiba jadi mahal.
Kalau kami bertemu, langsung nyerocos bahasa Indonesia. Lebih akrab. Bisa berlagak nakal dikit-dikit. Bahkan bisa disisipkan bahasa Bali. Kalau kami memakai bahasa Inggris, terasa kaku, kami kurang lancar, dan dianggap turis. Semua tiba-tiba jadi mahal.
Mungkin juga penggunaan bahasa Indonesia oleh kami berdua adalah cara melawan hegemoni bahasa Inggris. Agar orang teringat bahwa bahasa Italia adalah bahasa internasional Eropa dan Timur Tengah sampai abad ke-16. Dan bahwa bahasa Perancis menyusul sampai akhir abad ke-19. Yang jelas, untuk kami berdua, bahasa Inggris adalah jauh lebih asing daripada bahasa Indonesia.
Apakah itu berarti bahwa bahasa Indonesia siap merambah dunia? Bisa jadi. Kini bahasa Indonesia dipakai di mana? Di Indonesia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Timor Leste, dan oleh segelintir orang keturunan pelaut abad ke-17 di Sri Lanka. Lalu bagaimana dengan Malaysia?
Mungkin orang Malaysia marah bahwa yang kini diakui adalah bahasa Indonesia dan bukan bahasa Malaysia, tetapi biarlah. Kini tak mungkin ada Armada Sultan Johor dikirim ke Indonesia sebagai tanda murka atas pelecehan itu. Tak-lah! Bahasa Indonesia kini sudah menjadi bahasa internasional. Tinggal Malaysia mengekori. Dengan beberapa koreksi saja: jangan mereka membiarkan papan seperti ini ditempel di truknya: ”Awas barang panjang”. Kita di seberang Selat Malaka, bisa salah paham. Dengan satu dua koreksi seperti ini, warga Malaysia boleh dianggap termasuk 300 + juta penutur bahasa Indonesia, versi yang baik dan benar.
Anehnya, ketika bahasa Indonesia dijadikan bahasa internasional, justru jumlah penutur bahasa Indonesia di negeri asal mulai surut. Paling sedikit di kalangan yang konon ”elite” bangsa ini. Mereka sok ngomong Inggris melulu. Kadang-kadang mereka berkata: ”tidak bisa berbahasa Indonesia”.
”Come on, man, saya saja bisa!!! Mau jadi internasional, tetapi tak pernah mau berkelakar dengan pedagang bakso. Takut bau kampung. Sebenarnya, mereka tidak tahu bahwa untuk mampu berdiskusi sastra dan kebudayaan di UNESCO Paris, tak cukup mampu minum anggur dan ngomong Inggris atau bahkan Perancis. Justru, harus juga mengaku berbangga jika makan dan tertawa dengan kaum buruh dan pedagang bakso.