Takut disuruh membeli asuransi ini atau saham itu oleh petugas cakep. Maka, saya ke ATM saja. Ke ATM langganan saya.
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
Saya kini dikenal oleh bermacam-macam orang. Ke mana pun saya pergi, ada saja orang yang menyambut saya dengan senyum. Apakah mereka pernah saya temui? Tak tahu pasti. Maka, saya bingung bereaksi. Jadinya kaku, dikira sombong.
Misalnya, baru-baru ini di Ubud Writers and Readers Festival ada beberapa orang mendekati saya sembari berkata, ”Oh, Bapak yang di Udar Rasa itu. Saya senang bertemu.” Lalu, mau saya bilang apa? Paling-paling tersenyum kikuk atau bertukaran nomor HP. Bahkan, kalau diundang di acara resmi, nama saya kerap disebut setelah nama para rektor dan wakil menteri. Tak jelas kenapa?
Ya! Maaf kalau saya mengulang. Nasib saya ”berat”: banyak orang mengenal saya. Saya dihormati! Jangan-jangan sudah terhormat. Karena itu, dan saya juga sangat sibuk sepanjang hari, seluruh lingkungan sosial saya ditentukan oleh itu: saya tak ada waktu bergaul. Semua orang yang saya kenal adalah orang penting atau terpilih: seniman, orang yang memegang jabatan, atau orang yang bergelar ini atau itu. Ya! Tanpa menyadarinya, saya hidup di menara gading.
Namun, kadang-kadang saya perlu duit untuk membeli pasta gigi dan membayar langganan Kompas. Waktu itu saya turun ke ”bawah”. Atau lebih tepat keluar ”merakyat”.
Saya memang mempunyai nomor bank, tetapi saya tak bisa hafal kode-kode internet banking. Pernah mencoba, tetapi keliru, lalu diblokir entah kenapa, dan saya lalu malas mengurusnya.
Takut disuruh membeli asuransi ini atau saham itu oleh petugas cakep. Maka, saya ke ATM saja. Ke ATM langganan saya. Di situ, seperti terjadi tadi, saya lupa segalanya. Menjadi orang biasa lagi. Di depan ATM itu selalu ada orang yang sama. Rada tua dan kerempeng, berambut keriting, tetapi entah kenapa selalu pintar mencarikan tempat parkir yang baik bagi mobil saya. Setiap melihat saya, dia terus tertawa. Kami terikat satu sama lain oleh semacam kesepakatan tersirat. Saya memang langganannya, setiap minggu saya ber-ATM ria dan, waktu di parkiran itu, tak pernah meminta karcis kepadanya.
Berapa puluh ribu dia pun dibayar setiap hari, pikir saya, berapa anak dia pun harus sekolahkan. Ternyata bukan itu yang telah dia tadi pentingkan, melainkan nasib dari yang orang lebih miskin daripada dia sendiri.
Terlahir semacam pertemanan fungsional di antara kami berdua: dia menyemprit, dan saya memarkir untuk menjadi ”orang penting” yang akan ke ATM itu; lalu habis itu saya keluar dengan membawa segumpal uang kertas, dia menyemprit lagi, dan saya memberikan beberapa ribu rupiah kepadanya untuk menghilang tanpa jejak di tengah lalu lintas. Blusukan murahan, pikir saya sekarang.
Namun, tadi, entah kenapa, apakah karena ketiban kesadaran sosial mendadak, saya bertanya kepadanya. ”Berapa Anda harus menyetor setiap hari?”. ”Rp 50.000 sehari,” sahutnya. ”Wah, banyak,” seru saya heran.
Tetapi, sebelum saya bisa komentari, keluarlah entah dari mana suatu suara tegas. ”Ya, Pak.” Dari siapa? Seorang satpam, yang terus menggugat: ”Ya, Pak, Pak Beru ini (tukang parkir) harus membayar 50.000 rupiah setiap hari untuk mengurus tempat parkiran yang dijatahkan kepadanya. Itu dia bayarkan bukan kepada preman, tetapi pada kota. Yang rakusnya tak jauh beda dari preman. Tak mungkin uang itu cukup untuk menghidupinya, dengan istri dan ketiga anaknya. Tak bisa dia menyewa kamar lebih dari sekadar gubuk dan membiayai sekolah anaknya.” Tukang parkir mendengar si satpam membela kepentingannya tanpa mengeluarkan satu kata pun.
Lalu Pak Beru—saya baru mengenal namanya—pergi sebentar ke ujung tempat parkir mengurus sebuah mobil yang ingin keluar. Saya memperhatikan si tukang satpamnya.
Dia tersenyum ringan, lalu berpamitan pergi ke depan perusahaan yang dia setiap hari jaga.
Berapa puluh ribu dia pun dibayar setiap hari, pikir saya, berapa anak dia pun harus sekolahkan. Ternyata bukan itu yang telah dia tadi pentingkan, melainkan nasib dari yang orang lebih miskin daripada dia sendiri.
Ketika saya ingin keluar dari parkir, Pak Beru ada. Apakah saya ”royal”, memberikan dua atau lima ribu kepadanya? Saya tidak tahu karena tiba-tiba malu: saya baru menyadari bahwa saya tidak mengenal nama dari satpam berbudi luhur di atas tadi.
Apakah harus selalu gagal menjembatani jarak sosial.