Keyakinan orang Baduy terletak pada penghayatan dan penghormatan kepada arwah leluhur. Titik utama pemujaan mereka terletak di puncak gunung yang disebut sebagai Sasaka Domas atau Sasaka Pusaka Buana.
Oleh
SARAS DEWI
·4 menit baca
Musim hujan tiba di wilayah Baduy ditandai oleh kincir raksasa yang berputar-putar bermain dengan angin. Kincir-kincir yang menjulang bersama pohon-pohon tua itu disebut sebagai kolecer oleh warga, mereka berdiri bersandingan menengadah ke angkasa. Kincir bambu itu mendengungkan suara yang lantang seolah-olah hendak mengangkat permukaan tanah di Baduy melambung ke langit.
Saya bertanya kepada orang-orang di sekitar, apakah fungsi dari sebilah bambu dan baling-baling besar itu? Mereka menjawab dengan senyuman yang hangat bahwa kolecer adalah permainan yang membuat mereka senang. Saat salah satu baling-baling terlepas, saya menyaksikan seseorang pemuda memanjat ke puncak bambu yang tinggi dan memasang dengan tangkas. Tanpa tersirat rasa takut, kaki pemuda itu tampak melekat di batang bambu, seperti laba-laba yang merekat dengan alamiah, ia pun tampak puas ketika kolecer itu mulai berputar tertiup angin.
Kebahagiaan orang-orang di Baduy, saya sadari, adalah kebahagiaan untuk melihat angin bergerak. Kesukariaan ini saya maknai juga momen mensyukuri keberkahan dari angin. Saya merenungkan tentang fungsi angin bagi kehidupan di Bumi ini, angin berperan dalam pengaturan iklim, ia berperan kunci dalam pola cuaca kita. Angin merupakan komponen dinamis yang berpengaruh dalam lingkungan hidup kita.
Ditemani desiran angin, saya berjalan terus mendaki menyusuri desa-desa yang merupakan bagian dari wilayah masyarakat adat Baduy. Sambil beristirahat dari pendakian yang panjang, saya menyeruput kopi panas yang dicampur dengan buah durian yang legit. Saya mendengarkan penjelasan Cecep Eka Permana, seorang guru besar di bidang arkeologi yang telah banyak menerbitkan karya penelitian ilmiahnya tentang masyarakat Baduy, ia tengah bercerita tentang pengobatan tradisional berbasis tanaman di Baduy.
Salah satu hasil publikasi penelitian Cecep Eka Permana berjudul Tata Ruang Masyarakat Baduy (2006) menyampaikan pengetahuan penting terkait pemaknaan ruang dan kosmologi masyarakat Baduy. Pada mulanya orang di Baduy menyebut dirinya sebagai urang Kanekes, atau menyebut sekaligus asal dan area kampung mereka, misalnya urang Cibeo, urang Tangtu, dan urang Panamping, tetapi kini secara umum telah dikenal sebagai urang Baduy.
Lebih lanjut lagi, ia menguraikan bahwa masyarakat Baduy memiliki pengertian khusus tentang pelapisan dalam masyarakat. Masyarakatnya terdiri atas tiga bagian, yakni tangtu, penamping dan dangka. Jika didasari pada keterikatan pada adat, tangtu berarti kelompok masyarakat yang mengikuti nilai-nilai adat secara ketat, melalui bahasa Sunda kuno, tangtu dapat ditafsir sebagai yang pasti, cikal bakal, yang pokok. Masyarakat tangtu dalam hal ini acap kali disebut sebagai Baduy dalam. Sementara penamping dari kata tampingan yang dapat dipahami sebagai daerah pinggiran dan juga Dangka sebagai kelompok masyarakat yang dikenal dengan Baduy luar.
Keyakinan orang Baduy terletak pada penghayatan dan penghormatan kepada arwah leluhur. Titik utama pemujaan mereka terletak di puncak gunung yang disebut sebagai Sasaka Domas atau Sasaka Pusaka Buana. Kepercayaan orang Baduy disebut sebagai Sunda Wiwitan, wiwitan berarti yang asali, sejati yang pokok. Mereka memercayai Nu Ngersakeun, kekuatan yang mengkehendaki seluruh kehidupan ini.
Orang Baduy menjalani dunianya berpegangan pada pikukuh atau ketentuan adat. Nilai-nilai ini tertuang di dalam Amanat Buyut, yang dititipkan oleh karuhun (nenek moyang), penggalannya menyatakan; ”gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak, larangan teu meunang dirempak, buyut teu meunang dirobah, lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” yang dapat diterjemahkan ”gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak, larangan tidak boleh dilanggar, buyut tidak boleh diubah, panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung”.
Filosofi, ”...panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung...” saya artikan kecintaan dan penghargaan orang Baduy terhadap alam. Bahwa alam adalah titipan kepada manusia yang begitu bernilai, manusia perlu menjaga dan menghormatinya, termasuk memahami bahwa ada batasan-batasan di alam yang tidak dapat dilanggar.
Tidak ada keserakahan, atau ambisi dalam budaya pertanian masyarakat Baduy, bekerja dalam pertanian adalah peribadahan dan pengasuhan hidup bekerja sama dengan alam.
Soal batasan ini saya teringat gagasan seorang filsuf asal Jepang bernama Kohei Saito. Ia menggaungkan tentang gagasan ”Degrowth”, suatu pergeseran paradigma dan kritik terhadap gagasan pertumbuhan ekonomi yang menggerus dan menelantarkan keseimbangan lingkungan. Ia mengambil contoh bagaimana masyarakat pra-kapitalis memiliki cara yang unik untuk mengelola lahan secara komunal demi kesejahteraan bersama. Ia membahas pula mengenai robekan metabolisme, metabolisme dapat dipahami sebagai sistem interaksi manusia dan alam yang selalu berkelindan dalam kehidupan ini. Robekan metabolisme ini terjadi karena pola dan kultur produksi dan konsumsi yang berderu seraya tidak mengenal henti, inilah menyebabkan kerusakan sosial dan ekologi.
Saya menatap leuit, atau lumbung lekat-lekat, dalam tradisi perladangan masyarakat Baduy, lahan bertani mereka adalah tanah yang dimiliki bersama. Mereka meletakkan ritme hidup mereka satu detak dengan kehidupan benih padi. Dalam prosesi Ngaseuk, kegiatan mengolah benih hingga menanam benih, dipenuhi dengan puja-puji kepada Nyi Pohaci yang meliputi benih-benih padi tersebut. Saat benih akan ditanam, diyakini Nyi Pohaci Sang Hiyang Asri dipersatukan dalam perkawinan dengan bumi. Tidak ada keserakahan atau ambisi dalam budaya pertanian masyarakat Baduy, bekerja dalam pertanian adalah peribadahan dan pengasuhan hidup bekerja sama dengan alam.
Namun, tersimpan kekhawatiran saya terhadap rapuhnya keseimbangan yang ada di Baduy. Terutama melihat rongrongan limbah plastik yang bertebaran ditinggalkan oleh para pengunjung kampung-kampung itu. Pada tahun 2020, perwakilan lembaga adat Baduy bersurat kepada pemerintah agar menghapuskan Baduy sebagai obyek pariwisata. Sebab, mereka berduka dengan menumpuknya sampah yang mengganggu kampung, meracuni sungai, serta tanah mereka. Mereka membayangkan bentuk tali relasi yang lebih tulus, bukan euforia wisata semata. Suatu ajakan agar orang-orang di luar Baduy dapat berbagi tanggung jawab dititipkannya alam kepada manusia. Baduy dalam posisi ini bukan sebagai obyek, melainkan subyek-subyek yang laku hidupnya perlu kita pelajari lalu amalkan.