Berfilsafat sebenarnya adalah menyelam ke dalam kesadaran manusia dan memetik buah pemikirannya yang dimunculkan melalui tanda dan teks.
Oleh
Saras Dewi
·3 menit baca
SALOMO TOBING
Saras Dewi
Samar-samar kenangan bermain WordZap di platform Windows pada tahun 1990-an lambat laun hadir kembali. Permainan ketangkasan kata-kata itu memacu pemain untuk segera mengisi kotak-kotak kosong menggunakan huruf-huruf yang muncul secara acak. Dalam benak seorang anak kecil, permainan itu memerlukan seluruh konsentrasi. Kata-kata dan bahasa adalah sumber kesenangan saya sehingga saya enggan kalah dalam permainan itu.
Pertandingan membentuk kata-kata itu berlangsung sengit meski selepas bermain, pikiran kanak-kanak saya agak heran dan kebingungan, melawan siapakah saya barusan? Orang-orang dewasa menjelaskan kepada saya, interaksi yang saya lakukan, bahkan munculnya teks di layar, itu bukanlah dari seorang manusia. Saya tengah berlaga kepandaian kata dengan komputer. Itulah momen pertama saya menyadari bahwa ada semacam program yang piawai menyusun huruf, tidak mengenal istirahat, dan tidak pernah lelah.
Dunia kata-kata adalah segala yang menakjubkan berisikan teka-teki, simbol, dan pemaknaan. Berfilsafat sebenarnya adalah menyelam ke dalam kesadaran manusia dan memetik buah pemikirannya yang dimunculkan melalui tanda dan teks. Begitu pula saya menyikapi gemparnya kedatangan mesin pembelajaran mendalam yang sanggup seolah-olah berbahasa secara alamiah. Mesin itu pun perwujudan dari emosi manusia yang kompleks: harapan, kecemasan, dan kebutuhan untuk bertahan hidup. Lentingan teknologis melalui kecerdasan artifisial memang membuat orang-orang terpukau, tetapi juga sekaligus waswas dengan risiko yang belum terlalu dipahami.
AFP/LIONEL BONAVENTURE
Logo OpenAI dan ChatGPT saat ditampilkan di Toulouse, Perancis, 23 Januari 2023.
Saat berbicara dengan ChatGPT—sebuah model pemrosesan bahasa alamiah yang dikembangkan oleh perusahaan OpenAI—mengendap di hati saya kejanggalan yang sama kala pertama kalinya beradu permainan kata dengan komputer. Teks apakah yang tengah saya baca? Apa dampaknya pada diri saya? Apa artinya bagi saya? Saya berpaling ke karya filsuf Perancis, Roland Barthes, yang berjudul Kesenangan dalam Teks (Le Plaisir du Texte, 1973) memang karya itu adalah pencermatan Barthes terfokus pada karya sastra.
Namun, sepertinya dapat dipinjam demi menjelaskan kepuasan seseorang bergumul dengan teks. Dua jenis kepuasan yang dapat dihadirkan adalah kesenangan (plaisir) dan kenikmatan (jouissance). Kesenangan dirasakan oleh pembaca teks itu ketika teks yang dibaca terasa nyaman dan berada dalam bingkai nilai-nilai yang sudah ada. Sementara kenikmatan/jouissance memunculkan perasaan terkejut, dibarengi keingintahuan yang masih diselubungi kebimbangan. Puisi yang dihasilkan oleh GPT-4, atau esai oleh ChatGPT 3.5, bagus atau tidaknya mungkin dapat kita perdebatkan, tetapi satu hal yang tidak terbantahkan adalah sensasi kenikmatan yang janggal itu.
Pertengahan bulan Juni lalu saya mendapatkan kesempatan untuk menghadiri langsung sesi bincang-bincang bersama Sam Altman yang merupakan pendiri perusahaan OpenAI. Sam Altman berjalan memasuki panggung dengan batik bercorak merah dan hitam, ia tampak antusias meski tidak terbayang lelahnya sebab Indonesia adalah negara ke-21 yang ia kunjungi. Lawatan itu ia lakukan sebab ia merasa terjebak dalam ruang gema Silicon Valley, ia membutuhkan tatapan dan kritik dari berbagai masyarakat di dunia ini terkait dengan AI.
Ia bercerita tentang bermacam hal menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang penasaran tentang teknologi AI. Selain membahas berbagai peluang kebaikan yang dihasilkan oleh perkembangan AI, ia tidak ragu-ragu membicarakan tentang potensi bahaya jika kita tidak berhati-hati. Ia menjelaskan, AI membutuhkan regulasi, setiap pengembangan AI perlu diregulasi oleh pemerintahan di setiap wilayah, begitu pula perusahaan/perusahaan rintisan harus menjalankan swa-regulasi internal yang ketat. Tantangannya memang adalah menemukan keseimbangan bagaimana meregulasi tanpa menghambat kreativitas dan inovasi.
Menilik Undang-Undang AI yang disahkan oleh Uni Eropa sekiranya kita mendapatkan gambaran poin-poin penting yang diatur. UU tersebut merupakan regulasi pertama di dunia yang detail dan ekstensif mengatur tentang industri AI. UU tersebut mendistingi AI, khususnya berdasarkan tingkat risiko. AI risiko tinggi bersinggungan dengan hak-hak dasar masyarakat, yang menyangkut kesejahteraan dan keselamatan manusia.
AI berisiko tinggi ketika alat itu berurusan dengan sistem pendidikan, kesehatan, bahkan kesetaraan peluang kerja. Selain itu, tegas tertera pelarangan penjualan sistem AI yang menerapkan teknik subliminal yang bertujuan mengubah perilaku seseorang di luar kesadarannya, kemudian pelarangan penggunaan sistem AI yang mengeksploitasi kerentanan dari sekelompok orang tertentu, dan dilarangnya penggunaan sistem pengawasan biometrik secara real time di ruang publik. Regulasi ini memang spesifik membidik kewajiban bagi perusahaan besar yang mengembangkan model AI generatif, seperti ChatGPT (OpenAI) dan Bard (Google).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Pemanfaatan aplikasi berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), ChatGPT, di sebuah kantor di Jakarta, Selasa (7/3/2023).
Saya memikirkan pula problem eksistensial yang pernah diangkat oleh seorang pemikir bernama Yuval Noah Harari, dalam salah satu seminar ia mengatakan, AI telah menyusup dan menguasai hingga keintiman berbahasa manusia. Kreativitas berbahasa adalah properti unik manusia, menurut Harari. Bahkan, ia mengutip gagasan dalam filosofi Vedanta, yakni tentang Maya, ia mengandaikan bahwa kata-kata yang diproduksi mesin semakin membuat kita terbelenggu dalam ilusi. Fiksi ilmiah memang banyak menggambarkan kehancuran dan kekacauan karena oleh AI dan robot, sebut saja film Matrix, Terminator, Ex Machina, dan yang seram sekali, M3gan!
Namun, saya merenungkan apa yang pernah ditulis oleh Isaac Asimov, seorang ilmuwan dan juga sastrawan, ia mengatakan bahwa karakter robot yang ia tulis selalu tampak setia dan tidak berdaya di hadapan manusia yang selalu mengalami sindrom Frankenstein complex. Selalu membayangkan mesin sebagai monster yang kelak akan memusnahkan spesies manusia. Padahal, mesin juga adalah tumpahan proyeksi manusia. Manusia yang menentukan dan semestinya bertanggung jawab terhadap mesin yang ia ciptakan, latih, dan gunakan. Segalanya dalam genggaman tangan manusia, apakah teknologi AI digunakan untuk memperjuangkan demokrasi, keadilan ekologis, menyembuhkan penyakit, atau sebaliknya membahayakan dirinya.