Kata ”sembako” dulu dikenal sebagai akronim dari ”sembilan bahan pokok”. Seiring dengan kondisi masyarakat yang berubah, kata ”sembilan” pada akronim ”sembako” tidak digunakan lagi. Maknanya meluas.
Oleh
ROSDIANA
·3 menit baca
Dalam bahasa Indonesia kita mengenal rudal dan berdikari sebagai kata (lema) dasar. Jika kita melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring, kedua kata tersebut dijelaskan sebagai akronim dari peluru kendali (rudal) dan berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Belakangan, penutur bahasa Indonesia mengenal sembako (sembilan bahan pokok).
Berdasarkan buku Petunjuk Teknis Penyusunan Kamus Ekabahasa, lema yang masuk dalam kamus dapat berupa kata dasar, kata turunan, kata ulang, kata majemuk, frasa (gabungan kata), ungkapan, kiasan, peribahasa, singkatan, atau akronim (yang dianggap kata) (Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, 2023). Berdasarkan kriteria lema tersebut, sembako termasuk dalam akronim yang dianggap sebagai kata.
Istilah atau frasa sembilan bahan pokok (9 bahan pokok)—yang terekam dalam Pusat Informasi Kompas pada situs home.kompas.co.id—pertama kali muncul di media cetak Kompas pada halaman dua dalam berita berjudul ”WNA Dilarang Berdagang 9 Bahan Pokok” (Kompas, Jumat, 30 Desember 1966).
Penggalan berita itu berbunyi: ”Orang2 asing djuga orang Tjina tidak diperkenankan ikut serta dalam perdagangan sembilan djenis bahan pokok (beras, minjak tanah, gula pasir, garam, ikan asin, minjak goreng, sabun mandi/tjutji, textil kasar dan batik kasar), demikian isi surat keputusan Gub. Sulsel selaku komandan Kologda tertanggal 21 Desember 1966”.
Tampak dalam kutipan itu bahwa bahan pokok yang masuk dalam sembilan jenis itu bukan hanya pangan, melainkan juga minyak tanah, sabun mandi dan sabun cuci, juga tekstil.
Meskipun istilah sembilan bahan pokok muncul di koran Kompas pada 1966, akronim sembako baru muncul di Kompas tahun 1988, atau 22 tahun kemudian, pada berita berjudul ”Menurun, Harga Beras di Bogor”. Penggalan berita itu berbunyi ”Harga sembilan bahan pokok (sembako) dan beberapa bahan strategis lainnya di wilayah kota Bogor pada umumnya stabil. Kecuali harga daging yang mulai bergerak naik, sementara harga beras mengalami penurunan” (Kompas, Sabtu, 7 Mei 1988).
Sementara itu, kata sembako—yang diartikan sebagai ’sembilan bahan pokok’—masuk sebagai lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi cetak pada edisi kelima terbit tahun 2016. Adapun berdasarkan info di KBBI daring, sembako mengacu pada Keputusan Menteri Industri dan Perdagangan Tahun 1998, lengkapnya adalah Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 115/MPP/Kep/2/1998 tentang Jenis Barang Kebutuhan Pokok Masyarakat. Ada rentang waktu 18 tahun (1998-2016) dari keputusan menteri itu (1998) hingga terbitnya KBBI edisi kelima (2016).
Berdasarkan keputusan menperindang itu, yang termasuk barang kebutuhan pokok masyarakat adalah (1) beras, (2) gula pasir, (3) minyak goreng dan mentega, (4) daging sapi dan ayam, (5) telur ayam, (6) susu, (7) jagung, (8) minyak tanah, dan (9) garam beryodium.
Dalam keputusan itu, istilah yang digunakan adalah barang kebutuhan pokok dan di dalamnya tidak ada istilah sembako. Akronim sembako muncul belakangan, diciptakan oleh pengguna bahasa untuk menyingkat kata. Karena sangat populer, kata itu direkam dalam KBBI, demikian keterangan Dora Amalia dari Badan Bahasa dalam obrolan melalui pesan Whatsapp (17 November 2022).
Akronim sembako muncul belakangan, diciptakan oleh pengguna bahasa untuk menyingkat kata. Karena sangat populer, kata itu direkam dalam KBBI. (Dora Amalia, Badan Bahasa)
Yang menjadi catatan, dari kedua sumber, yaitu keputusan menperindang dan KBBI, ada perbedaan terkait penjelasan mengenai kebutuhan pokok ini. Menperindag menggunakan (barang) kebutuhan pokok, sedangkan KBBI menggunakan sembilan (bahan) pokok: perbedaan barang versus bahan.
Dalam perkembangannya kemudian, melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/3/2017 tentang Pendaftaran Pelaku Usaha Distribusi Barang Kebutuhan Pokok yang mulai berlaku 3 April 2017, pemerintah mengklasifikasikan ulang soal bahan pokok. Berdasarkan peraturan tersebut, klasifikasi kebutuhan pokok dibedakan menjadi:
a. Barang Kebutuhan Pokok Hasil Pertanian: (1) beras, (2) kedelai bahan baku tahu dan tempe, (3) cabe, (4) bawang merah.
b. Barang Kebutuhan Pokok Hasil Industri: (1) gula, (2) minyak goreng, (3) tepung terigu.
c. Barang Kebutuhan Pokok Hasil Peternakan dan Perikanan: (1) daging sapi, (2) daging ayam ras, (3) telur ayam ras.
Dalam peraturan ini digunakan istilah barang kebutuhan pokok. Adapun yang termasuk barang kebutuhan pokok itu, jika ditotal, ada 10 item: 4 hasil pertanian, 3 hasil industri, dan 3 jenis hasil peternakan dan perikanan.
Berdasarkan sumber berita Kompas pada paparan di awal, Kepmenperin Nomor 115/MPP/Kep/2/1998 dan Permendag Nomor 20/M-DAG/PER/3/2017, kebutuhan pokok mengacu pada sejumlah barang dan mengacu ke bahan/barang yang berbeda-beda, bahkan yang terakhir kebutuhan pokok itu jumlahnya sudah menjadi 10. Dengan demikian, kata sembako yang telah menjadi lema telah mengalami perluasan makna.