Menjamin Netralitas Presiden
Agar pilpres berlangsung setara sebaiknya Presiden Jokowi mengambil cuti di luar tanggungan negara selama masa kampanye.
Politik dinasti itu tidak haram, asal dijalankan dengan baik sesuai pakem. Persoalannya, di Indonesia, berkembang politik dinasti tak sehat.
Politik dinasti yang tidak sehat itu adalah anak/istri/menantu/adik/ipar mendapatkan kuasa karena hubungan darah dan perkawinan, tanpa jerih payah. Mengabaikan kompetensi dan prestasi. Pekat dengan kolusi. Menggunakan aji mumpung keluarganya yang sedang berkuasa, bisa mengatur segalanya. Menyingkirkan prinsip meritokrasi. Alhasil, sejumlah kecil keluarga mendominasi distribusi kekuasaan.
Politik dinasti mula-mula mendapat lahan subur dalam pilkada karena perilaku pemilihnya dalam mencoblos seseorang cenderung pada popularitas sang calon meski ia bagian dari dinasti, ketimbang kompetensinya.
Praktik politik dinasti yang mereka lakukan telah mencederai demokrasi, mengingatkan kita pada bentuk negara monarki, menutup pintu partisipasi anak bangsa yang berprestasi untuk maju berkompetisi, dan menjauhkan kita dari cita-cita mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik pada perayaan Indonesia Emas 2045.
Bagaimana ceritanya politik dinasti yang kita ”kutuk” di era pemerintahan Orde Baru Soeharto bisa tumbuh subur di era Reformasi ini? Bagaimana pula jalan keluar agar Presiden Joko Widodo tetap netral walau putranya, Gibran Rakabuming Raka, ikut berkontestasi sebagai cawapres?
Dengan kuasa, uang, dan pengaruh besar si bapak, termasuk terhadap birokrasi hingga ke desa-desa, dilakukanlah operasi senyap agar anak tersayang menang.
Tumbuh mekar dinasti
Pada satu dasawarsa usia Reformasi, khususnya setelah diberlakukannya sistem pilkada langsung sesuai UU Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004, politik dinasti mulai dijumpai di tingkat kota, kabupaten, dan provinsi. Bagaimana polanya?
Mula-mula, anak gubernur atau anak bupati yang masih muda, baru tamat sekolah tinggi (S-1), direkayasa seleksinya. Gubernur atau bupati itu biasanya menjadi ketua partai di daerahnya. Lalu, sang anak dengan mudah diatur agar memperoleh tiket calon bupati.
Dengan kuasa, uang, dan pengaruh besar si bapak, termasuk terhadap birokrasi hingga ke desa-desa, dilakukanlah operasi senyap agar anak tersayang menang. Dengan cara fraud itu, plus masih buruknya perilaku pemilih kita, sudah pasti kerabat pejabat unggul.
Tak jauh berbeda dengan istri tercinta wali kota yang tak berpengalaman sama sekali dalam pemerintahan, hanya memimpin tim penggerak PKK. Dengan pola serupa, sang istri dijadikan wali kota menggantikan petahana, suaminya yang sudah dua periode berkuasa.
Pola politik dinasti itu kemudian meruyak ke mana-mana dan makin halus permainannya. Anak/istri/menantu/adik/ipar lewat kekuasaan, uang, dan pengaruhnya dijadikan dulu pengurus ormas, anggota parpol, dan anggota DPRD/DPR. Baru sesudah itu, diorbitkan sebagai kepala daerah. Tidak heran apabila jumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terindikasi politik dinasti meningkat terus meningkat dengan pesat: 60 orang pada 2014, 117 orang pada 2018 dan 175 orang pada 2020 (i-OTDA, 2021).
Ilustrasi
Hasil dari politik dinasti yang brutal itu banyak mudaratnya, seperti berantakannya tata kelola pemerintahan daerah. Anak dan istri itu lebih sebagai ”boneka” bapaknya. Sesungguhnya pemerintahan dijalankan oleh sang bapak (the shadow government). Kepala dinas favoritnya tak diganti-ganti dan kontraktor proyeknya orang yang itu-itu saja. Programnya pun tak banyak berubah, pada pokoknya melanjutkan saja program yang lama.
Lebih parah lagi, marak perilaku koruptif, jual beli jabatan, penyalahgunaan wewenang dalam pengadaan barang dan jasa, serta pemberian perizinan. Sudah puluhan pelaku politik dinasti, bapak-anak-istri, bareng masuk bui.
Sementara manfaatnya hanya dinikmati klan keluarga besar dan segelintir elite politik dan bisnis penyokongnya. Mereka bertambah kaya dan jabatan yang dikuasai makin menggurita hingga ke tingkat pusat. Pertanyaannya, apakah pemerintah berpangku tangan saja tak membuat kebijakan untuk mencegah?
Dalam UU No 32/2004 yang juga mengatur pilkada, tak diatur sama sekali perkara politik dinasti. Ketika aturan pilkada akan dijadikan UU sendiri, lepas dari UU Pemerintahan Daerah, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menugasi kami di Kementerian Dalam Negeri mencarikan solusinya.
Bersama DPR disepakati pengaturan politik dinasti, yakni calon kepala daerah/wakil tidak boleh memiliki ikatan perkawinan atau garis keturunan dengan kepala daerah/wakil yang sedang menjabat, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan. Artinya, jika istri dan anak petahana hendak mencalonkan diri, dia harus menunggu setelah suami atau bapaknya tak menjabat lagi (Pasal 7 huruf q UU No 22/2014).
Mereka bertambah kaya dan jabatan yang dikuasai makin menggurita hingga ke tingkat pusat.
Lalu, di awal Presiden Jokowi berkuasa, dua kali dilakukan perubahan UU tersebut, yaitu dengan UU No 1/2015 dan UU No 8/2015, pengaturan politik dinasti malah dipertajam. Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Dibuat tambahan frase di dalam penjelasan pasal politik dinasti, yaitu: ”tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan”. Presiden Jokowi ketika itu tampak sangat bersemangat mencegah politik dinasti.
Namun, ketentuan yang sudah apik ini digugat ke MK oleh Adnan P Ichsan (anak Ichsan Yasin Limpo, Bupati Gowa). Celakanya, MK dengan putusan No 33/PUU-XIII/2015 mengabulkan gugatan kaum dinastiwan ini. Lewat putusan MK itu, Adnan melenggang maju dan memenangi Pilkada 2015 menggantikan bapaknya. Gara-gara ulah MK yang sembrono mengetok palu, buyarlah usaha mengontrol politik dinasti di negeri ini.
Merambat ke tingkat negara
Lima tahun terakhir, politik dinasti perlahan merambat ke tingkat negara. Anak menteri dan pejabat tinggi didrop menjadi calon bupati dan wali kota lewat seleksi bernuansa nepotisme.
Anak Presiden Jokowi sendiri, Gibran, seorang pebisnis martabak, terpilih dengan mudah menjadi wali kota Solo setelah mendepak wakil wali kota petahana, Achmad Purnomo, yang telah lama disiapkan PDI Perjuangan Solo untuk dipromosikan menjadi orang pertama di Surakarta. Begitu pula menantunya, Bobby Nasution, yang belum lama tamat S-2 dari IPB tiba-tiba menyelonong menjadi kandidat dan memenangi Pilkada Kota Medan dengan ditengarai dikawal para pejabat pusat.
Ilustrasi
Pada Pemilu 2024 ini, kursi RI2 jadi incaran. Gibran yang baru dua tahun menjabat wali kota dan berusia 36 tahun, belum berpengalaman di tingkat provinsi, apalagi nasional, diorbitkan sebagai cawapres. Kendala syarat usia cawapres minimal 40 tahun yang diatur di UU No 7/2017 tentang Pemilu, melalui uji materi seorang ”fans” Gibran ke MK (yang dipimpin Anwar Usman, ipar Presiden Jokowi, alias paman dari Gibran), berhasil ditiadakan.
Gibran sesuai putusan MK No 90/PUU-XXI/2023, yang kontroversial dan berujung pada diberhentikannya Anwar Usman sebagai ketua MK oleh Majelis Kehormatan MK, dinyatakan memenuhi syarat sebagai cawapres walau belum berumur 40 tahun karena ia berstatus wali kota (elected official).
Tinggal selangkah lagi Gibran dan pasangannya, Prabowo Subianto, bakal meraih kursi yang ditinggalkan bapaknya dan Ma’ruf Amin. Mereka telah pula ditetapkan sebagai pasangan capres dan cawapres oleh KPU.
Sebagai presiden dua periode dengan tingkat kepuasan publik tinggi (sekitar 70-80 persen) di penghujung masa jabatannya, Jokowi punya kuasa besar di pemerintahan. Ia bisa menggerakkan segenap aparat dan alat negara serta sumber dana. Pengaruhnya yang kuat di masyarakat tampak pula dari banyaknya organisasi relawan yang tegak lurus kepadanya, ”pejah gesang nderek Jokowi”.
Jalan keluar
Agar kontestasi pilpres pada 14 Februari 2024 berlangsung setara dan untuk menjamin pemilu yang berintegritas, bebas dari ”fraud,” sebaiknya Presiden Jokowi mengambil cuti di luar tanggungan negara selama masa kampanye pilpres (75 hari). Selama presiden cuti, pemerintahan akan dijalankan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, dengan status Pelaksana Tugas Presiden RI (caretaker). Ketika kampanye selesai, Presiden boleh kembali menduduki kursinya.
Karena di dunia fana ini tidak ada seorang bapak yang tak akan menolong anaknya, kecuali di hari kiamat.
Praktik untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan semacam itu di tingkat lokal telah diterapkan di pilkada. Jika kepala daerah/wakil petahana maju, mereka wajib cuti di luar tanggungan negara selama masa kampanye, Pasal 70 Ayat (3) UU No 10/2016 tentang Pilkada. Guna mengisi kekosongan jabatan, pemerintah pusat mengangkat penjabat sementara kepala daerah dari ASN.
Hal ini selaras pula dengan pengaturan Pasal 281 Ayat (1) UU No 7/2017, yakni jika suatu kampanye mengikutsertakan Presiden, ia harus cuti di luar tanggungan negara. Memang, Presiden Jokowi tak ikut kampanye untuk Gibran; tetapi hati, doa, pikiran, gerakan, dan tindakan tak akan lepas dari keberhasilan anaknya.
Mengapa? Karena di dunia fana ini tidak ada seorang bapak yang tak akan menolong anaknya, kecuali di hari kiamat. Apalagi, anaknya akan menduduki takhta utama di tingkat negara yang segera akan ditinggalkannya sehingga bisa melanjutkan proyek-proyek strategisnya, seperti IKN dan kereta cepat Jakarta-Surabaya.
Selain itu, kekuasaan presiden saat ini berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya. Ia tak hanya menguasai pemerintahan nasional, tetapi sekaligus juga pemerintahan lokal. Ada 271 pelaksana jabatan (Pj) atau penjabat kepala daerah, baik bupati, wali kota, maupun gubernur, yang diangkat dari ASN oleh Presiden untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah akibat diadakannya pilkada serentak, 27 November 2024.
Dulu, pengangkatan Pj hanya wewenang menteri dalam negeri. Maka, 271 Pj kepala daerah itu bisa dikatakan all the President’s men. Contoh konkret, Pj gubernur DKI Jakarta dan Pj gubernur Jawa Barat direkrut dari Istana Presiden. Belum lagi orang kementerian/lembaga loyalis Presiden, yaitu para sekjen, dirjen, irjen, staf ahli, dan lain-lain. Mereka sebagai ASN akan 100 persen taat kepada arahan Presiden.
Ilustrasi
Ditilik dari jumlah penduduk yang dipimpin oleh para Pj tersebut, tercatat 240.324.240 jiwa atau 89 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dikhawatirkan, jika Pj tunduk mutlak kepada Presiden, dan terlibat operasi politik pemenangan, dengan menggunakan segenap perangkatnya, jagoan Presiden akan melenggang memenangi kontestasi pilpres dengan mudah.
Semua provinsi lumbung suara penting dipimpin Pj. Misalnya. Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Banten, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan menyusul nanti Jawa Timur.
Bagaimana mengaturnya? Sederhana saja. Pemerintah perlu menerbitkan perppu yang merevisi Pasal 281 Ayat (1) UU No 7/2017 dengan menambahkan bahwa di masa kampanye pilpres yang diikuti kerabat presiden berdasarkan hubungan darah, ikatan perkawinan, dan/atau garis keturunan; presiden cuti di luar tanggungan negara.
Melalui pengaturan seperti itu, saya yakin kita akan dapat lebih menjamin netralitas Presiden dan aparatnya dalam pilpres, 14 Februari 2024. Jadi, perlu dibuat suatu kebijakan. Tak cukup hanya dengan harapan dan imbauan para tokoh bangsa. Kuncinya, terpulang kepada kenegarawanan Presiden Jokowi. Demi menjaga marwah negara dan menjamin ketidakberpihakannya, ia tak perlu ragu untuk menandatangani perppu itu.
Baca juga : Demokrasi dan Teater Nepotisme
Djohermansyah Djohan Guru Besar IPDN, Dirjen Otda Kemendagri (2010-2014), Pendiri i-OTDA