Pesan resolusi KTT Luar Biasa Arab-Organisasi Kerja Sama Islam sangat keras, tetapi belum jelas bagaimana resolusi itu dijalankan untuk menekan Israel.
Oleh
REDAKSI
·1 menit baca
Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Gabungan Islam Arab (The Joint Arab Islamic Extraordinary Summit), nama resmi pertemuan puncak itu, digelar di Riyadh, Arab Saudi, Sabtu (11/11/2023). Pertemuan ini gabungan dari KTT Liga Arab dan KTT Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Pertemuan membahas respons negara-negara Arab dan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim atas agresi Israel ke Jalur Gaza serta teritorial Palestina, menyusul perang Hamas-Israel sejak 7 Oktober 2023. Ada 22 negara anggota Liga Arab yang juga anggota OKI (57 negara).
Mengutip sejumlah diplomat Arab, kantor berita AFP melaporkan, keputusan penggabungan pertemuan itu diambil setelah negara-negara Liga Arab gagal bersepakat dalam komunike bersama. Sejumlah negara, antara lain Aljazair dan Lebanon, mengusulkan penghentian pasokan minyak serta pemutusan hubungan diplomatik dengan Israel.
Usulan itu ditolak oleh setidaknya tiga negara, seperti dilaporkan AFP, termasuk Uni Emirat Arab dan Bahrain. Dua negara ini menormalisasi hubungan dengan Israel pada 2020. Usulan seperti itu juga mengingatkan peristiwa embargo minyak Arab menyusul Perang Yom Kippur tahun 1973.
Situasi 50 tahun lalu dengan sekarang berbeda. Kala itu belum ada negara Arab menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Kini, enam negara Arab—Mesir, Jordania, Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan—berhubungan diplomatik dengan Israel.
Terlepas dari dinamika tersebut, hal positif dari pertemuan puncak di Riyadh itu adalah bersatunya sikap serta posisi negara-negara Arab dan Muslim.
Terlepas dari dinamika tersebut, hal positif dari pertemuan puncak di Riyadh itu adalah bersatunya sikap serta posisi negara-negara Arab dan Muslim. Kehadiran Presiden Iran Ebrahim Raisi—kunjungan pertama Presiden Iran ke Arab Saudi sejak 2012—menjadi salah satu bukti.
Ada 31 butir resolusi yang dihasilkan pada KTT tersebut. Tujuh di antaranya berisi kecaman keras (condemn), misalnya terhadap agresi Israel di Jalur Gaza, pengusiran 1,5 juta warga Palestina dari wilayah utara Jalur Gaza ke selatan, dan pembunuhan warga sipil di Gaza.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyebut resolusi ini ”pesan paling keras yang pernah dilakukan OKI”. Ia bersama menlu dari Arab Saudi, Jordania, Mesir, Qatar, Turki, dan Nigeria mendapat mandat untuk memulai tindakan atas nama OKI dan Liga Arab guna menghentikan perang di Gaza serta memulai proses politik untuk mencapai perdamaian.
Ini kepercayaan, sekaligus tanggung jawab, untuk membuktikan resolusi KTT Arab-OKI memiliki taji. Kesempatan pertama bagi Indonesia adalah saat Presiden Joko Widodo, yang akan didampingi Retno, bertemu Presiden AS Joe Biden di Gedung Putih, Washington DC, 13 November.
Jokowi menyatakan akan menyampaikan hasil KTT Arab-OKI kepada Biden. AS adalah pelindung utama Israel. Jika mampu meyakinkan Biden untuk mengambil langkah sesuai aspirasi KTT Arab-OKI, hal itu bakal jadi kontribusi penting Indonesia.