Menagih Komitmen Membangun Ruang Sipil dan Partisipasi Publik
Capres-cawapres perlu memikirkan kanal partisipasi yang memungkinkan untuk diakses dan dimanfaatkan masyarakat sipil.
Tiga pasangan bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden telah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum. Publik bisa membaca visi, misi, dan abstraksi tentang apa yang akan mereka lakukan jika terpilih. Kita pun perlu mengajukan pertanyaan penting: bagaimana menjamin gagasan mereka itu benar-benar dilaksanakan?
Pertanyaan lain yang tak kalah penting adalah bagaimana mereka dapat meyakinkan bahwa program mereka akan akuntabel serta mempertimbangkan aspirasi dan partisipasi publik?
Apakah bakal capres-bakal cawapres telah menyiapkan program untuk mengakumulasi dan menjaring aspirasi publik, melibatkan warga untuk mengevaluasi tidak hanya program, tetapi juga aktivitas kekuasaan pada masa kepemimpinan kelak? Bagaimana memastikan publik dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan yang dijanjikan?
Menilik ke belakang, Presiden Joko Widodo pernah meminta masyarakat lebih aktif terlibat dalam isu publik, termasuk dengan menyampaikan kritik terhadap pemerintah ataupun elemen di dalamnya. Namun, pernyataan itu terbentur tembok kenyataan bahwa evaluasi dan kritik terhadap pemerintah ada kalanya berujung pada persekusi ataupun represi fisik.
Partisipasi juga memerlukan ruang sipil yang terbuka, aman, dan mudah diakses oleh warga negara.
Partisipasi yang bermakna tidak hanya mensyaratkan adanya jaminan dialog serta interaksi terbuka dan berjalan dua arah. Partisipasi juga memerlukan ruang sipil yang terbuka, aman, dan mudah diakses oleh warga negara.
Keterlibatan dan partisipasi adalah indikator penting dari ruang sipil dan demokrasi yang sehat. Warga semestinya dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan melalui konsultasi publik, audiensi publik, serta kontak berkala dengan perwakilan dan pejabat publik. Itu dapat dilakukan dengan masyarakat sipil dan melalui protes atau petisi.
Pada konteks tersebut, partisipasi politik dalam lingkup elektoral hanyalah satu bagian dari indikator berjalannya demokrasi pada suatu negara, tidak seluruhnya.
Penyempitan ruang sipil
Pada 2021, Lokataru Foundation melakukan studi komparasi terkait fenomena penyempitan ruang sipil di Indonesia dan Thailand. Lokataru menemukan bahwa pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia utamanya terkait dengan adanya ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan berasosiasi.
Eskalasi penyempitan ruang sipil dapat dilihat dari serangkaian peristiwa penangkapan, kekerasan, dan kriminalisasi yang menimpa mereka yang menolak atau mengkritisi kebijakan bermasalah. Di antaranya terkait omnibus law serta pembangunan tambang dan perusakan lingkungan, seperti di Wadas dan Kinipan. Selain itu, juga adanya persekusi terhadap masyarakat adat berkaitan dengan tata kelola lahan dan hutan adat.
Sebagai perluasan ruang sipil, ancaman juga muncul di ruang digital. Itu dilakukan, antara lain, dengan mengandalkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan penyadapan terhadap pimpinan organisasi masyarakat sipil, peniruan akun (impersonation), serangan siber, hingga pengumbaran identitas (doxing).
Insiden di Pulau Rempang juga menjadi bukti ke sekian yang memperlihatkan adanya ketidaksinambungan ide mengenai ”pembangunan” dan ”investasi”, sebagai prioritas pemerintah, dengan aspirasi warga yang terdampak pembangunan tersebut.
Tudingan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia bahwa ada keterlibatan pihak asing dalam konflik di Pulau Rempang menunjukkan pemerintah memiliki tendensi untuk tidak menghargai suara dan aspirasi publik.
Kita tentu tidak ingin berbagai kejadian penyempitan ruang sipil kembali berulang dalam program pemerintahan Presiden Indonesia berikutnya. Oleh karena itu, Presiden Indonesia mendatang harus punya komitmen besar terhadap ruang sipil dan partisipasi publik.
Oleh karena itu, Presiden Indonesia mendatang harus punya komitmen besar terhadap ruang sipil dan partisipasi publik.
Ruang sipil memungkinkan serta mendorong warga berperan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial. Secara khusus, ruang sipil memungkinkan individu dan kelompok berkontribusi dalam pengambilan kebijakan yang berdampak pada kehidupan mereka.
Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menyatakan bahwa adanya ruang sipil terbuka dan pluralistik yang menjamin kebebasan berekspresi, berpendapat, serta kebebasan berkumpul dan berserikat merupakan prasyarat untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Gagasan yang digembar-gemborkan setiap capres-cawapres akan menjadi tidak akuntabel jika minim evaluasi. Bahkan, ketika salah satu dari mereka terpilih menjadi presiden dan menunaikan gagasan tersebut.
Kita memiliki instrumen politik representasi, yakni DPR, tetapi itu belum cukup. Partisipasi publik pada ruang sipil yang terbuka jadi kanal yang memastikan program kepemimpinan berikutnya tidak mengorbankan masyarakat.
Pada beberapa tahun terakhir terdapat asosiasi bahwa pemerintah (hanya) akan memperhatikan isu yang menggelinding dan menjadi viral di media sosial. Berdasarkan catatan Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya, Universitas Padjadjaran, pada rentang 2019-2022 terdapat 30 kebijakan yang berubah atau dibatalkan akibat dorongan publik di media sosial.
Keberhasilan konversi isu yang menggelinding di media sosial hingga dapat mengubah kebijakan menunjukkan, suara masyarakat memiliki kekuatan untuk didengar oleh pemegang kekuasaan. Namun, fenomena yang terjadi secara repetitif ini memiliki potensi risiko bagi iklim demokrasi kita.
Ketika pemerintah hanya memperhatikan isu yang menggelinding di media sosial, maka upaya-upaya untuk membangun kanal partisipasi politik formal justru akan semakin tenggelam. Kebijakan dengan orientasi viral akan cenderung membuat aksi penyampaian aspirasi dan partisipasi politik yang dianggap bermakna adalah yang memiliki suara dengan volume besar.
Hal ini menciptakan konsekuensi. Kita akan menemukan adanya manipulasi suara dan calo untuk memperbesar volume atas isu-isu tertentu. Hal itu kemudian mendistorsi demokrasi.
Capres-cawapres perlu memikirkan kanal partisipasi yang memungkinkan untuk diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat sipil. Dengan demikian, pemerintah dapat menjunjung transparansi dalam pelayanan publik, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008.
Publik berhak memperoleh informasi, antara lain mengenai proses kebijakan publik, anggaran, pengawasan, dan evaluasinya. Dengan keterbukaan informasi, masyarakat dapat mengukur sejauh mana pencapaian pemerintah serta menilai kesesuaiannya dengan harapan dan kepentingan masyarakat sipil.
Ruang sipil dan partisipasi adalah hak. Hak ini harus terus kita tuntut dan pertahankan agar ruang demokrasi dapat terjaga dan tidak tergerus oleh manipulasi elite politik yang mementingkan kekuasaan semata.
Justito AdiprasetioPeneliti di Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya, Universitas Padjadjaran