Program peternakan diharapkan berjalan lancar dan desa-desa memperoleh manfaat. Tujuan strategisnya adalah ketahanan pangan. Terdengar menjanjikan. Namun, kepala-kepala desa ragu: apakah pasti untung?
Oleh
LINDA CHRISTANTY
·3 menit baca
Setelah tamat SMA, Nina Safitri bekerja di pabrik tapioka. Dua tahun kemudian ia pindah ke pabrik pupuk organik. Ia berhenti jadi buruh pabrik pupuk karena menikah. Terbiasa bekerja, Nina akhirnya memutuskan aktif dalam kelompok perempuan yang terbentuk melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM). Program ini bertujuan mengatasi kemiskinan di desa-desa dan memperluas lapangan kerja di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri.
Ketika presiden berganti, kebijakan berubah. Pada 2014 PNPM dibubarkan. Pemerintah Indonesia membentuk Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi untuk menangani masalah di perdesaan.
”Kami seperti anak ayam kehilangan induk,” kata Nina, mengenang masa transisi itu. Ia lega ketika Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 15 Tahun 2021 menetapkan transformasi eks PNPM menjadi Badan Usaha Milik Desa Bersama atau disingkat Bumdesma.
Nina kini Direktur Bumdesma Barokah Jaya di Kecamatan Baron, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Pada 2021, Bumdesma Barokah Jaya memperoleh bantuan modal dari Kementerian Desa untuk program peternakan terpadu. Ada hewan ternak, ada kebun. Kotoran ternak diproduksi jadi biogas dan kompos. Lingkungan akan terbebas dari limbah. Lokasi peternakan diputuskan melalui musyawarah dengan 11 kepala desa di Kecamatan Baron: di Agrowisata Onokabe, Dusun Kunciran, Desa Jekek. Luas Onokabe sekitar 4 hektar, berada di tanah milik desa yang disebut tanah bengkok.
Bantuan Kementerian Desa adalah stimulan. Sebelas desa di Kecamatan Baron diminta pihak kementerian menyertakan modal masing-masing sebesar Rp 100 juta dari dana desa untuk Bumdesma. Program peternakan diharapkan berjalan lancar dan desa-desa memperoleh manfaat. Tujuan strategisnya adalah ketahanan pangan. Terdengar menjanjikan. Namun, kepala-kepala desa ragu: apakah pasti untung? Mereka hanya bersedia menyerahkan Rp 5 juta.
Sepuluh sapi pun dibeli. Tiba-tiba sapi-sapi terkena penyakit mulut dan kuku. Virus Aphtaee epizootecae menyerang hewan ternak pemamah biak dan semua hewan berkuku genap, seperti sapi, kambing, dan kerbau. Ciri-ciri hewan tertular, antara lain, air liur menggantung, kuku lepas, dan menggigil akibat demam.
Setelah Nina mengundang 11 kepala desa dan berunding, semua sapi sakit dijual. Uang penjualan tentu lebih rendah dibanding harga membeli sapi dulu. Dari investigasinya diperoleh fakta: daya tahan tubuh sapi lemah karena penjaga kandang memperlakukan sapi dengan buruk. Pakan ternak dibawa pulang oleh si penjaga kandang untuk diberikan kepada sapinya sendiri.
Nina mengubah sistem pengupahan menjadi sistem bagi hasil. Uang penjualan sapi dikurangi biaya pakan, lalu sisanya 60 persen untuk Bumdesma dan 40 persen untuk pekerja. Solusi ini membuat kenakalan penjaga kandang terhenti. Bumdesma lalu membeli tujuh sapi baru.
Selain beternak sapi, Bumdesma Barokah Jaya beternak ayam petelur. Jumlah keseluruhan ayam 432 ekor. Nina merasa ada yang tidak beres saat menghitung uang penjualan telur, ”Kalau 85 persen ke Bumdesma itu, kan, 340 butir telur. Tapi, uang yang masuk tidak sebesar itu.”
Nina mengubah sistem penjualan telur untuk mencegah kerugian berlanjut. Hasil penjualan telur dikurangi biaya pakan dibagi 60 persen untuk Bumdesma dan 40 persen untuk pekerja. Telur ayam dijual lebih banyak dan tidak ada lagi ayam yang dibawa pulang si penjaga.
Usaha Bumdesma Barokah Jaya ada tiga, yaitu simpan pinjam yang praktiknya hanya meminjamkan, peternakan terpadu, dan kredit barang.
Pengembalian dana pinjaman tidak memberatkan peminjam. Pemerintah memberi masyarakat modal tanpa jaminan agar selamat dari jeratan bank-bank kecil ataupun tengkulak. Ini tujuan utama bantuan. Hal itu memengaruhi cara menagih, menurut Nina. ”Kalau menagih pinjaman tidak boleh kasar.”
Bunga pinjaman dipatok 1,5 persen. Bumdesma mengambil 1,2 persen, sedangkan 0,3 persen dikelola dan dikembalikan manfaatnya kepada kelompok penerima pinjaman.
Namun, Bumdesma Barokah Jaya memiliki saingan yang juga diciptakan pemerintah, yaitu Permodalan Nasional Madani Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (PNM Mekaar). Perusahaan tersebut adalah anak usaha Bank Rakyat Indonesia. PNM Mekaar memberi modal pinjaman untuk perempuan prasejahtera yang akan membuka usaha kecil dan menengah (UKM).
Akibatnya, tumpang-tindih. Mereka mencari kelompok yang sudah ada. Kelompok kami didatangi. Waktu pandemi Covid-19 kemarin, mereka memberi subsidi Rp 200.000 sehingga banyak yang dari kami pindah ke sana.
”Akibatnya, tumpang-tindih. Mereka mencari kelompok yang sudah ada. Kelompok kami didatangi. Waktu pandemi Covid-19 kemarin, mereka memberi subsidi Rp 200.000 sehingga banyak yang dari kami pindah ke sana,” tutur Nina.
Tantangan Bumdesma Barokah Jaya saat ini adalah membuka lapangan kerja untuk warga. Meski usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) cukup populer, penjualan terbanyak didapat saat pameran produk saja. Sementara warga desa membutuhkan pekerjaan yang hasilnya bisa didapat setiap hari.
Nina menunjukkan kepada saya lembar neraca keuangan Bumdesma Barokah Jaya per Agustus 2022. Terdapat rincian bantuan modal Kementerian Desa Rp 500 juta. Persentase perkembangan dana tercantum minus 24 persen. Namun, Nina menyatakan kemajuan program tidak serta-merta. ”Ada masa krisis selama dua tahun.” Hal itu diperhitungkan.
”Tepat,” kata Nina. ”Cuma ilmunya yang kami masih baru. Kami berproses. Sempat terpikir di peternakan juga ada kambing dan kelinci.”
Ia membayangkan murid-murid TK melihat sapi, ayam, kambing, dan kelinci di Onokabe. Di agrowisata itu, pengunjung juga bisa membeli buah, sayuran, dan telur.
Salah satu ketentuan program adalah memproduksi biogas dari kotoran ternak.
”Sudah berhasil, tetapi kapasitasnya kurang besar. Kalau kapasitasnya besar, bisa disalurkan ke rumah-rumah penduduk,” kata Nina. Kendalanya? ”Harga instalasi mahal dan perlu biaya lagi,” katanya.