Pada 2018 lalu, Presiden Joko Widodo telah keliru menetapkan Amir sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Oleh
Linda Christanty
·3 menit baca
Pada 14 Juni 2023 lalu Perdana Menteri Belanda Mark Rutte mengakui secara resmi bahwa negara Indonesia “sebenar-benarnya” merdeka pada 17 Agustus 1945. Pernyataan kepala pemerintahan Kerajaan Belanda ini bersesuaian dengan pengakuan dan sikap kepala negara Kerajaan Belanda, Raja Willem Alexander, sejak 2005.
Dampak hukum dan politik dari pernyataan Rutte tersebut semakin memperkokoh legal standing negara Indonesia yang diakui Dewan Keamanan PBB sejak 14 Agustus 1947, bahwa bangsa Indonesia sudah ada sebelum Belanda datang pada 26 Juni 1596.
Pernyataan itu juga menambah bukti hukum yang valid dan terverifikasi berdasarkan hukum nasional dan legal standing Indonesia di dunia internasional, bahwa Amir atau dijuluki Depati Amir adalah benar-benar pengkhianat perjuangan bangsa Indonesia. Amir berperang bersama penjajah kolonial Belanda untuk menumpas perlawanan rakyat Timor yang dipimpin Fettor Takaip Baki Koi atau Bakikooi.
Pada 2018 lalu, Presiden Joko Widodo telah keliru menetapkan Amir sebagai pahlawan nasional Indonesia akibat pemalsuan informasi, pengaburan fakta, dan manipulasi sejarah dalam proses pengajuan gelar pahlawannya yang melibatkan sekelompok orang di Pulau Bangka, Timor, Jawa, dan negara Belanda. Presiden tidak diberitahu bahwa pengajuan Amir sebagai pahlawan nasional telah ditolak pemerintah Indonesia dua kali berturut-turut, yaitu pada 2004 dan 2007, dengan catatan “tidak boleh diajukan lagi.” Penolakan tersebut terjadi, karena Amir tidak memenuhi syarat menjadi pahlawan nasional Indonesia. Peraturan pengajuan gelar pahlawan pada masa itu menyatakan bahwa seseorang yang telah meninggal dunia dan pengajuan gelar pahlawannya sudah ditolak dua kali berturut-turut tidak boleh diajukan lagi sampai kapan pun. Peraturan ini berlaku hingga tahun 2018 dan mengakibatkan konsekuensi yuridis formil dan materiil, yaitu Amir tidak boleh diajukan kembali untuk memperoleh gelar pahlawan selamanya.
Bambang Purwanto, guru besar sejarah Universitas Gadjah Mada, turut mengungkap perbuatan berdarah dingin Amir terhadap Baki Koi, pejuang terbesar antikolonial Belanda di Timor, dalam esainya yang berjudul, “Dari Pahlawan Menjadi Koloborator Penjajah (Tanggapan untuk Linda Christanty),” di suratkabar Kompas pada 12 Februari 2023. Bambang menulis dengan jelas peran strategis Amir: “Dalam perang tersebut, Amir berhasil memenggal kepala sang Raja dan kemudian menyerahkannya kepada Syekh Wiryodikromo.” Bambang menyatakan perang itu berkobar akibat Raja Baki Koi menawan putri Wiryodikromo. Pernyataan Bambang tentang penyebab perang pasifikasi Timor itu bertentangan dengan seluruh bukti primer di negara Indonesia dan di negara Belanda, yang mengungkap bahwa perang tersebut dilancarkan negara Hindia Belanda, karena Baki Koi dan rakyat Timor menolak tunduk terhadap hukum kolonial. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Charles Ferdinand Pahud memerintahkan langsung perburuan Baki Koi.
Laporan administrasi dan negara koloni tahun 1857 yang dimuat surat kabar pemerintah Belanda, Nederlandsche Staats-Courant (1859-1860), mengurai sebab-sebab perburuan Baki Koi: “Semua cara damai telah ditempuh untuk menyelesaikan perselisihan menemui jalan buntu, dan keangkuhan Fettor Takaip makin menjadi, diputuskan oleh Gubernur Jenderal untuk menggunakan cara-cara militer. ”
Pada 26 Juli 1857, sebagaimana tertulis dalam laporantersebut, pemerintah kolonial mengerahkan satu batalyon Infanteri, dua kapal perang uap bernama Amsterdam dan Merapi, sebuah kapal rumah sakit, para penembak jitu dan pasukan tambahan untuk menghadapi pejuang Timor antikolonial. Cara-cara keagamaan pun ditempuh Belanda: “Para misionaris bahkan dikerahkan untuk menaklukkan Fettor Takaip.” Benteng dan harta benda Baki Koi sengaja dihancurkan untuk “membiarkannya mengembara sendirian sebagai buron”.
Dalam hukum kolonial, membunuh merupakan kejahatan tertinggi yang diancam hukuman mati. Namun, seseorang yang menjalankan perintah resmi negara kolonial untuk membunuh tidak akan dikenakan pasal pembunuhan, karena dia menjalankan perintah resmi negara. Hal ini berlaku terhadap Amir, sebagai seorang kolaborator atau kaki tangan kolonial. Dia justru memperoleh jabatan, gaji, dan penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda di Timor. Hal paling menakjubkan dari uraian Bambang adalah Amir mendapat hak istimewa dari pemerintah kolonial untuk secara pribadi menghadiahkan kepala Baki Koi, musuh besar Gubernur Jenderal Hindia Belanda, kepada calon mertua adiknya, Hamzah.
Mengapa negara Indonesia tidak pernah mentolerir pengkhianatan terhadap perjuangan bangsa? Setelah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, negara Indonesia masih harus berperang melawan kolonial Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengakibatkan sekitar 400 ribu jiwa musnah dalam pertempuran langsung dan paling sedikit 4 juta jiwa meninggal akibat perang berlarut.
Menilai situasi geopolitik Indonesia hari ini dan pengorbanan begitu banyak jiwa pada masa perang kemerdekaan, sebelum dan sesudahnya, seluruh rakyat Bangka-Belitung antikolonial menuntut Fettor Takaip Baki Koi atau Fettor Takaip Bakikooi atau Raja Baki Koi ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Konsekuensinya adalah gelar pahlawan Amir atau dijuluki Depati Amir wajib dibatalkan. Dengan demikian, pejuang terbesar antikolonial Batin Tikal atau Batin Tikoe atau Batin Tiekal atau Batin Tikal dari Pemjampar, yang bernama asli Ahmad atau Syekh Ahmad, pelanjut nasab Syekh Yusuf Al Makassari, wajib ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia bersama-sama dengan Baki Koi.