Data Badan Pengawas Pemilu pada Pemilu 2019 menunjukkan bahwa pelanggaran pidana pemilu tertinggi adalah praktik politik uang (Lati Praja Delmana, 2020). Jumlah pemilih yang terlibat politik uang di kisaran 19,4 persen hingga 33,1 persen. Catatan tambahan, data tersebut didasarkan pada temuan yang telah diregistrasi Bawaslu. Artinya, masih terdapat kemungkinan praktik politik uang pada Pemilu 2019 yang tidak tercatat dalam data tersebut.
Selain praktik politik uang, permasalahan yang terlihat pada Pemilu 2019 ialah bahaya populisme melalui pengotakan isu agama atau politik identitas. Dampak bahaya populisme tersebut menciptakan situasi yang rentan ditunggangi kepentingan politik yang bertujuan memecah belah bangsa. Konsekuensi logis dari kedua permasalahan utama dalam Pemilu 2019 menyebabkan tidak berfungsinya nalar publik untuk turut andil dalam menentukan pilihan pemimpin sesuai kebutuhan.
Menatap Pemilu 2024
Dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya, salah satu pembeda pada Pemilu 2024 adalah dominasi pemilih muda. Berdasarkan rilis Komisi Pemilihan Umum (KPU), gabungan pemilih generasi milenial dan generasi Z lebih dari 50 persen total pemilih yang ada di daftar pemilih tetap (DPT). Hal ini tentu menjadikan pemilih muda sebagai target kampanye sehingga akan menjadi fondasi pembentukan narasi supply dan demand pada Pemilu 2024.
Baca juga : Persona Politik Pemilih Muda
Pemilih muda yang memiliki proporsi terbesar dalam Pemilu 2024 menjadi potensi besar untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Penelitian Maulida dkk (2021) menemukan bahwa 96,4 persen pemilih muda tidak dipengaruhi politik uang dan 81,3 persen tidak dipengaruhi orangtua dalam menggunakan hak pilihnya. Terlepas dari preferensi apa yang digunakan pemilih muda dalam menggunakan hak suaranya, data tersebut menunjukkan bahwa pemilih muda telah memperagakan sikap pemilih yang ideal, yakni bebas, jujur, dan adil.
Sejalan dengan praktik ideal yang ditunjukkan pemilih muda dalam Pemilu 2019, sudah selayaknya penyelenggara lebih mengoptimalkan keterlibatan pemilih muda, terutama mahasiswa, untuk menyongsong Pemilu 2024. Melalui karakternya yang energik, idealis, kritis, dan akademis, mahasiswa lebih tepat menjadi pengawal terwujudnya demokrasi yang berkualitas bersama Bawaslu untuk menekan praktik politik uang dan isu populisme.
Mahasiswa dan Pemilu 2024
Pertanyaan besar yang akan menjadi pembahasan dalam kajian ini adalah strategi untuk mengoptimalkan peran mahasiswa dalam terwujudnya demokrasi yang berkualitas pada Pemilu 2024. Berdasarkan beberapa permasalahan sebelumnya, mahasiswa menjadi variabel yang paling berpotensi untuk mewujudkan demokrasi berkualitas. Dua hal mendasar yang akan menjadi indikator adalah keterlibatan dan bagaimana bentuk keterlibatan yang dapat dilakukan mahasiswa sebagai aktor dalam pengawalan jalannya pemilu.
Keterlibatan mahasiswa sebagai aktor dalam mengawal pemilu yang paling mendasar adalah kesempatan untuk turut terlibat. Terkait golput, penelitian MF Akbar (n.d), Endarwati (2022), Sri Kania (2019) menemukan bahwa salah satu penyebab utama golput adalah faktor teknis, yakni bekerja di luar saat pemilihan dan melaksanakan perkuliahan di luar kota. Hal ini menjadi faktor yang sangat mendasar dalam keterlibatan mahasiswa pada penggunaan hak suara dan berperan sebagai aktor dalam pengawalan praktik pemilu.
Keterlibatan mahasiswa sebagai aktor dalam mengawal pemilu yang paling mendasar adalah kesempatan untuk turut terlibat.
Selain faktor golput tersebut, faktor teknis lain adalah ketidakjelasan posisi mahasiswa dalam proses pengawalan pemilu. Contoh, keterlibatan mahasiswa adalah membantu pengawasan apabila ada kejadian-kejadian penting dimulai dari masa tenang, hari pencoblosan, hingga penghitungan suara dalam bidang keamanan, ketertiban, dan kesehatan. Hal ini dilaksanakan dalam program kuliah kerja nyata (KKN) pada Pilkada Sidoarjo 2020 (Andjariani et al, 2021). Namun, dalam kebijakan nasional pemilu serentak hingga saat ini tidak terdapat program yang secara langsung melibatkan mahasiswa sebagai salah satu aktor yang turut andil dalam mengawal jalannya pemilu.
Ketidakjelasan posisi mahasiswa dalam pengawalan pemilu tentu akan menyebabkan biasnya langkah taktis yang harus dilaksanakan. Konsekuensinya, peran mahasiswa yang dapat diharapkan tidak lebih dari sekadar inisiatif pribadi untuk turut melakukan pencerdasan ataupun kegiatan-kegiatan lain yang tidak dapat diukur secara konkret.
Nalar publik
Maraknya praktik politik uang terjadi karena masih rendahnya kedewasaan politik, baik kandidat maupun pemilihnya, sehingga menjadi satu keharusan untuk memberikan edukasi politik secara konsisten kepada masyarakat. Namun, tampaknya penyelenggara pemilu belum mampu menjangkau masyarakat secara keseluruhan untuk memberikan edukasi politik dan menciptakan iklim demokrasi yang kondusif dalam penyelenggaraan pemilu.
Selain praktik politik uang, isu politik identitas dalam sejarah pemilu di Indonesia juga merupakan bentuk rendahnya kedewasaan politik kandidat dan pemilih. Kondisi sosio-masyarakat Indonesia yang beragam menjadi alasan logis bagi kandidat untuk memanfaatkan isu identitas dalam proses kampanye. Penelitian Dhani (2019) menunjukkan bahwa perkembangan politik identitas memberi keberhasilan dalam mengumpulkan suara pemilih.
Tantangan yang berangkat dari keadaan sistem pengawasan pemilu pada penyelenggaraan sebelumnya menunjukkan pentingnya merumuskan peran mahasiswa secara konkret. Memberikan intervensi melalui kebijakan menjadi hal yang penting dilakukan untuk mengaktivasi mahasiswa Indonesia dalam mengawal Pemilu 2024.
Baca juga : Belajar dari Pemilu 2019, KPU Dorong Mahasiswa Jadi Petugas KPPS
Secara konkret, hal pertama yang harus dilakukan adalah membuka ruang partisipasi selebar-lebarnya kepada mahasiswa. Kedua, merumuskan kegiatan atau program yang akan menjadi upaya konkret dari ruang partisipasi yang diberikan. Oleh sebab itu, hal ini harus memperhatikan kembali sistem dan tantangan yang akan dihadapi dalam menyongsong Pemilu 2024.
Praktik politik uang dan politik identitas menjadi permasalahan yang tidak hanya dapat diselesaikan oleh unsur penyelenggara formal pemilu. Kedewasaan pemilih dan kandidat yang masih rendah menyebabkan praktik politik uang dan politik identitas masih menjadi tantangan dalam terwujudnya demokrasi berkualitas di Indonesia. Terlebih lagi, kondisi masyarakat yang memiliki keberagaman etnis, budaya, dan agama menjadi ladang subur kapitalisasi isu identitas dalam pemilu.
Secara normatif, tidak ada jalan lain selain dengan memberikan edukasi politik secara masif dan menjangkau seluruh masyarakat Indonesia. Di tengah keterbatasan aktor penyelenggara pemilu untuk melakukan edukasi dan pengawalan secara mengakar, diperlukan solusi konkret. Misalnya, memberikan libur nasional tingkat perguruan tinggi selama satu minggu sebelum hari Pemilu 2024 untuk memastikan keterlibatan mahasiswa. Selain itu juga diwajibkan untuk menjalankan program berupa edukasi dan pengawalan terhadap penyelenggaraan pemilu dimulai dari masa tenang, hari pencoblosan, hingga penghitungan suara selesai.
M Hafiz Al Habsy, Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Universitas Negeri Padang; Koordinator Pusat Aliansi BEM-FISIP Se-Sumatera 2023-2024