Indonesia "Darurat" Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan salah satu asas prinsipiil dalam Asas Kekuasaan Kehakiman yang diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
Mencari sosok teladan barangkali adalah salah satu permasalahan pada setiap bangsa, termasuk negara ini. Salah satu kisah teladan yang cukup masyhur di negeri ini adalah riwayat tentang Hoegeng.
Ketika diangkat sebagai Kepala Jawatan Imigrasi Indonesia, Hoegeng ”memerintahkan” istrinya untuk menutup toko kembangnya karena khawatir akan mengganggu pelaksanaan tugasnya tersebut. Padahal, toko tersebut adalah pendukung ekonomi keluarganya karena banyaknya kebutuhan setelah pindah tugas dari Medan (Suhartono, 2016).
Sebagai pejabat publik, Hoegeng pantas dijadikan teladan dengan sikap dan bahkan sifatnya yang amat sangat menjunjung tinggi asas nonkonflik kepentingan. Hal yang terlihat sederhana, tetapi sungguh penuh makna mendalam untuk diambil sebagai pelajaran dan mencerminkan sikap seorang negarawan.
Riwayat Hoegeng tersebut relevan untuk dijadikan contoh, terutama dengan keadaan Indonesia saat ini, yang mungkin saja dapat dikatakan berlebihan, tetapi cukup bisa diasumsikan bahwa beberapa pejabat publik Indonesia kurang menyadari perihal konflik kepentingan. Diksi ”darurat” digunakan karena pelakunya justru adalah pimpinan tertinggi lembaga-lembaga negara dan/atau daerah. Bahkan, mayoritas menyatakan dirinya bebas dari konflik kepentingan tersebut.
Penulis pernah menjelaskan ini melalui tulisan yang berjudul ”Pejabat Publik dan Konflik Kepentingan” (Kompas, 22/11/2021). Poin dalam tulisan tersebut adalah bahwa konflik kepentingan tersebut pada dasarnya tidak memedulikan apa yang ’sebenarnya terjadi’ dalam pikiran pejabat, tetapi ’apa yang mungkin terjadi’ (Trost dan Gash, 2008), yang harus dapat diperhitungkan olehnya. Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menegaskan pemahaman dan penghindaran terhadap konflik kepentingan adalah dalam rangka menghindari keuntungan pribadi (ataupun keluarga) dari kewenangan jabatan publik yang diemban.
Sebagai pejabat publik, Hoegeng pantas dijadikan teladan dengan sikap dan bahkan sifatnya yang amat sangat menjunjung tinggi asas nonkonflik kepentingan.
Pendaftaran capres-cawapres yang akan berlaga pada Pemilihan Umum 2024 telah ditutup, dengan pendaftaran terakhir dilakukan oleh pasangan calon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Telah cukup banyak tulisan yang menjelaskan bahwa pendaftaran terakhir tersebut terkait dengan ”jalan” yang dibuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal batas minimal usia capres-cawapres yang kini boleh diikuti oleh seseorang yang umurnya di bawah 40 tahun, tetapi pernah menjabat suatu jabatan yang diperoleh melalui pemilihan umum (putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023).
Dengan melihat konstelasi capres-cawapres yang telah terdaftar, salah satu calon itu menggunakan ”jalur” negative legislature yang dilakukan MK berdasarkan putusan tersebut di atas. Pernyataan itu disebabkan secara hukum calon tersebut tidak mungkin dapat maju jika tanpa ada putusan itu. Terdapat fakta bahwa putusan itu diambil dengan majelis yang dipimpin oleh Ketua MK, yang merupakan paman dari calon cawapres tersebut. Banyak pendapat mengatakan bahwa hal tersebut adalah tidak sesuai dengan etika kenegaraan. Penulis berpendapat berbeda meskipun sepakat pula bahwa hal tersebut adalah tidak bersesuaian dengan etika kenegaraan.
Penulis memahami konsep yang menyatakan bahwa pelanggaran etika belum tentu merupakan pelanggaran hukum. Namun, pelanggaran hukum mutatis mutandis merupakan pelanggaran etika. Tulisan ini berkutat kepada premis kedua tersebut.
Hubungan semenda
Merujuk kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 295 dan Pasal 296 mendefinisikan kekeluargaan semenda sebagai suatu pertalian keluarga akibat perkawinan, di mana cara penghitungan perderajatannya dihitung dengan cara yang sama dengan cara penghitungan derajat pada keluarga sedarah.
Dalam konteks jabatan hakim, konflik kepentingan merupakan salah satu asas prinsipiil dalam Asas Kekuasaan Kehakiman yang diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman. Dengan merujuk kepada Pasal 17 Ayat (3) yang menyatakan bahwa seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila pada dirinya terpenuhi syarat di antaranya terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga. In casu a quo, jika menggunakan penghitungan penderajatan, paman adalah keluarga semenda yang berada pada derajat ketiga dengan keponakannya. Kekuasaan kehakiman sendiri adalah suatu kekuasaan yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan MK (Pasal 18 UU Kekuasaan Kehakiman).
Dengan ketentuan demikian, maka terkait fakta konflik kepentingan yang terjadi dalam pengambilan putusan tersebut di atas, hal itu secara jelas tidak bersesuaian dengan asas nonkonflik kepentingan yang diatur dalam Asas Kekuasaan Kehakiman. Jika pun hendak berkelit bahwa hal tersebut semata pelanggaran etika, perlu dipahami pula bahwa konflik kepentingan bukan semata tentang sesuatu yang tidak dilarang, melainkan memiliki nilai filosofis agar pejabat publik secara etis memiliki standar dan obyektivitas yang tinggi pelaksanaan kewenangannya. In casu a quo, rasanya sulit untuk mengatakan bahwa standar dan obyektivitas yang tinggi tersebut telah terpenuhi.
Dalam konteks jabatan hakim, konflik kepentingan merupakan salah satu asas prinsipiil dalam Asas Kekuasaan Kehakiman yang diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
Secara konsep, etika merupakan nilai dasar hukum. Jika menggunakan pisau analisis teori Dworkin (2006), bahwa hukum adalah pranata yang bersifat interpretatif (Machteld Boot, 2001, ”every legal norm needs interpretation”), menempatkan poin terpentingnya pada nilai manusia (human values) yang berkesatuan dengan keadilan, moralitas, dan etika hukum. Dengan adanya ketentuan perihal konflik kepentingan tersebut di atas, tidak bisa tidak, asas nonkonflik kepentingan haruslah dilaksanakan.
Perlu pula diingat bahwa konflik kepentingan juga lekat dengan korupsi, atau setidaknya perilaku koruptif. Mengapa demikian? Karena konflik kepentingan akan mengganggu obyektivitas aparatur pemerintah dan dapat menjadi sarana tergadaikannya kepentingan publik (KPK, 2022).
Harapan dan ”bola” kini ada di Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk dapat melihat dan menilai perihal dugaan pelanggaran-pelanggaran tersebut, khususnya yang terkait dengan isu konflik kepentingan. Meskipun pada dasarnya, MKMK juga tidak terlepas dengan isu konflik kepentingan mengingat salah satu anggotanya tercatat pernah menyatakan dukungannya terhadap salah satu capres yang dapat dikatakan terdampak dari putusan MK a quo.
Penyalahgunaan instrumental
Penulis pada dasarnya mencoba tidak percaya bahwa teori penyalahgunaan instrumental terhadap mahkamah konstitusi di negara lain yang dikemukakan oleh Kovalcík (2022) juga sedang berlaku di Indonesia. Kovalcík menyatakan bahwa jika kelompok populis menguasai mahkamah konstitusi, sistem pemisahan kekuasaan akan berubah, di mana tidak bertindak sebagai penyeimbang terhadap mayoritas penguasa, tetapi sebagai alat bagi mayoritas penguasa untuk memajukan kepentingannya. Meskipun teori tersebut oleh Kovalcík tidak menjadikan Indonesia sebagai salah satu obyek risetnya, rasanya sulit untuk tidak menyatakan bahwa teori itu relevan dengan apa yang sedang terjadi di Indonesia.
Ilustrasi
Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah konsep Indonesia sebagai suatu negara hukum pun menjadi semakin terganggu. Secara statistik, hal tersebut cukup mudah diketahui dengan melihat indeks negara hukum Indonesia, yang sejak 2015 hingga 2022 hanya naik 0,01 poin sebagaimana dirilis World Justice Project (Kompas, 10/2022). Dengan demikian, masihkah dapat mengaku bahwa Indonesia bebas dari konflik kepentingan?
Baca juga : MKMK Diharapkan Keluarkan Putusan Tegas
Hendry Julian NoorDosen Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UGM