Dialektika Berpolitik
Kesadaran dan tanggung jawab para elite negeri terhadap pentingnya nilai dan atau moralitas kekuasaan telah hilang.
Praksis perpolitikan saat ini dihebohkan dengan tiga isu utama. Pertama, respons atas terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai putusan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum soal batasan usia minimal capres-cawapres, dianggap bertentangan dengan UU NRI 1945. Kedua, hadirnya Gibran sebagai cawapres yang mendampingi Prabowo yang berasal dari kubu partai yang berbeda. Ketiga, retaknya hubungan di lingkup internal PDI-P.
Panggung depan (front stage) politik praktis senantiasa diwarnai dengan dinamika dan suhu politik yang panas, kontrovesial, dan vulgar. Sungguh, politik yang penuh dengan intrik, taktik, dan teramat instan.
Dialektika politik
Politik identik dengan kontestasi dan perebutan kekuasaan, yang di dalamnya penuh dengan harapan dan kepentingan untuk berkuasa dan atau dikuasai. Sehingga, konflik internal dan eksternal partai politik tak bisa dihindari, alih-allih dalam situasi multipartai.
Dalam berpolitik, lawan dan atau kawan semakin ambigu dan bias, yang abadi adalah kepentingan dalam relasi kuasa. Karena, kekuasaan akan memberi dampak luar biasa dan menjadi zona nyaman untuk melakukan berbagai tindakan politik sesuai harapan dan kebutuhan, termasuk menihilkan arti demokrasi dan kekuasaan sesuai selera para para elite partai.
Baca juga: Kekuasaan dan Politik di Indonesia
Bagi sebagian orang, politik itu teramat menyedihkan, khususnya yang menjadi ”korban” atau gagal dalam kontestasi, tetapi bisa ”membahagiakan” bagi yang berhasil memenangi kontestasi. Kendatipun itu diperoleh dengan berbagai ”cara”, termasuk pelanggaran hukum dan etika moralitas. Alih-alih di era kapitalisasi dan atau komodifikasi politik saat ini, politik ibarat transaksi jual beli barang dan jasa.
Kondisi ini ibarat gayung bersambut di era kebebasan pascareformasi 1998 yang telah memberi ruang rangsang (stimuli) bagi tumbuhnya berbagai ekspresi, opini, kepentingan, aspirasi, dan pemikiran tentang isu-isu politik, demokrasi, dan wacana lain dalam relasi warga-negara. Munculnya tuntutan akan perubahan sistemik tak selalu sejalan dengan tumbuhnya kesadaran, tanggung jawab, serta rasionalitas warga dan elitenya.
Indikasi tumbuhnya fenomena dinasti dan oligarki politik saat ini tidak hanya membenamkan dan atau mematikan demokrasi, juga semakin mendorong maraknya praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Politik praktis yang dijalankan para elite partai berjalan mulus tanpa kontrol yang memadai dari warga negara dan atau tokoh-tokoh informal dalam masyarakat.
Kondisi ini diingatkan oleh Hegel, jika dialektika kekuasaan (tesis) tanpa kontrol yang memadai (antitesis), maka akan terjadi proses mutualisme (sintesis) yang tidak seimbang, dan gilirannya, kekuasaan para elite berjalan sangat dominan dan atau otoriter. Pendulum demokrasi yang sejatinya memberi akses yang mudah untuk terwujudnya masyarakat sipil yang adil, sejahtera, dan damai semakin sulit terwujud. Negara memosisikan diri menjadi negara terbelakang dalam berbagai hal secara terus-menerus.
Perlu menjadi catatan bersama bahwa tumbuh suburnya jumlah parpol ataupun organisasi masyarakat/LSM sebagai salah satu wujud kebebasan dan hak asasi manusia sering kali dihadapkan pada kenyataan akan tumbuhnya berbagai ”kejahatan” politik dan atau pelanggaran hukum, termasuk etika berpolitik. Ironisnya, para elite akan menciptakan pelbagai kondisi bagi warganya untuk selalu tergantung pada ”kebaikan” para elitenya. Dan warga pun merasa ”nyaman” dan ”manja” dan tak perlu bersusah payah (bekerja keras) untuk meraih harapan dan atau kebutuhannya.
Sikap dan perilaku instan para elite dan warganya menjadi gaya berpolitik yang makin masif. Alih-alih atas nama fasilitas atau privilese orangtua, kerabat, dan atau keluarganya.
Pendulum demokrasi yang sejatinya memberi akses yang mudah untuk terwujudnya masyarakat sipil yang adil, sejahtera, dan damai semakin sulit terwujud.
Berbicara etika politik selalu berkaitan dengan filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia, atau cabang filsafat yang membahas prinsip-prinsip moralitas politik. Dengan kata lain, etika politik merupakan prinsip moral tentang baik-buruk dalam tindakan atau perilaku dalam berpolitik.
Etika politik juga dapat diartikan sebagai tata susila (kesusilaan), tata sopan santun (kesopanan) dalam pergaulan politik. Fungsi etika politik adalah dalam masyarakat, terbatas pada penyediaan kerangka teoretis atau konseptual untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab, jadi tidak berdasarkan emosi, prasangka, dan apriori, melainkan secara rasional, obyektif, dan argumentatif.
Dalam praktiknya, ”etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Untuk itu, etika politik berusaha membantu masyarakat untuk mewujudkan ideologi negara (khususnya Pancasila) yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata” (Suseno, 1991).
Anomali etika berpolitik terjadi di mana situasi sosial politik (para elite birokrasi dan politisi sebagai pengelola dan pemegang amanah rakyat) tak lagi memiliki wibawa, tanggung jawab sosial dan moral, serta nihilnya kepercayaan dalam kehidupan sosial politik. Bahkan, yang mengemuka adalah sikap dan tindakan politik yang masih emosional dan transaksional (Pemilu Legislatif 2014 ternyata tak lebih baik dari pemilu sebelumnya, bahkan transaksi politik lebih menguat daripada etika dan nurani serta akal sehat).
Pengawalan roh reformasi menjadi satu realitas anomali (kegagalan, penyimpangan) yang sulit dipahami secara ilmiah dan nurani. Maka, menurut filsuf Thomas Kuhn, diperlukan revolusi pemikiran ilmiah karena terlalu banyak fakta yang dihadapi tak memadai lagi dengan paradigma ilmu apa pun secara aktual, faktual, dan logis.
Persoalan besar yang telah menyeret negeri ini ke dalam situasi krisis multidimensi yang berkepanjangan adalah hilangnya kesadaran dan tanggung jawab para elite negeri (birokrat dan politisi) terhadap pentingnya nilai dan atau moralitas kekuasaan. Nilai-nilai seperti kesederhanaan, kejujuran, ketekunan, kerja keras, serta berbagai nilai positif lain semakin terdistorsi dan tak lagi menjadi unggulan keteladanan sosial, hukum dan moral, bahkan sering kali terpinggirkan dan dicemoohkan.
Baca juga: Nepotisme Bisa Membuat Ambyar
Musuh terbesar politik adalah nihilisme atau absennya fondasi. Politik sejak zaman Yunani Kuno selalu ditegakkan di atas sebongkah fondasi yang solid dan kokoh, apakah itu etika-moralitas, rasionalitas, individualisme, atau Tuhan. Aristoteles memandang politik sebagai asosiasi atau komunitas manusia yang bertujuan untuk mewujudkan kebaikan bersama (Adian, 2010). Para pemodal hidup dari kerja keras kaum lemah (proletar) yang terus menghasilkan nilai lebih (untung) bagi mereka. Politik yang diposisikan sebagai watch dog hak milik pribadi para pemodal adalah akar dari segala kejahatan. Politik berubah wujud menjadi komodifikasi yang tercerabut dari etika atau moralitas kuasa karena kapitalis tak lagi memberi ruang untuk etika atau moralitas.
Berbeda dengan keyakinan Marx, Habermas, dan Rawls tidak percaya pada revolusi kelas. Mereka lebih percaya pada demokrasi sebagai prosedur yang tak berpihak dalam merealisasikan kekuasaan yang sahih atau keadilan bagi semua. Politik adalah konsensus para aktor atau subyek yang rasional dan komunikatif dalam mewujudkan keputusan politik yang berkorelasi dengan kepentingan semua orang.
Paul Ricoeur (1965) dalam karyanya, Political Paradox , mengungkapkan bahwa politik tidak pernah bebas dari fondasi nilai-nilai (ekonomi, moralitas proletar, kehendak umum, atau kebaikan tertinggi, atau ideologi). Kegagalan memahami filsafat politik dalam membedakan antara politik (la polituque) dan political (le politique). Praksis politik terpecah antara political (rasionalitas) dan politik (kejahatan).
Politik menjadi political ketika dipahami sebagai polity atau negara yang diatur konstitusi yang menjamin kesatuan geografis, mencerahkan, menyejahterakan dari dan antargenerasi. Namun, di sisi lain, politik bisa dipahami sebagai kejahatan ketika semata-mata mengejar kepentingan parsial atau partisan baik secara institusional maupun non-institusional. Politik menjadi strategi untuk menghabisi ”musuh” demi kepentingan partisan satu kelompok (Adian, 2010).
Pentingnya perubahan
Kebebasan atas nama reformasi dan atau demokrasi sejatinya identik dengan tanggung jawab akan berbagai perubahan yang bernaung atas nama penegakkan hukum dan etika politik yang memadai, akuntabel, dan transparan. Tanpa ketaatan akan payung hukum, perubahan akan menjadi bumerang yang nihil makna dan jauh dari martabat sebagai negara berdaulat.
”Biarlah” lembaga legilatif dan eksekutif minim kepercayaaan warga karena ulahnya sendiri, tetapi berilah ”harapan” warga untuk hadirnya lembaga hukum (yudikatif) yang berwibaya, obyektif, dan memiliki martabat untuk manjalankan transisi demokrasi. Saat ini, anekdot MK menjadi ”Mahkamah Keluarga” merupakan jargon yang sungguh memprihatinkan dan teramat menyedihkan. Alih-alih lembaga hukum lainnya yang ”bukan wakil Tuhan”.
Reformasi tak lagi sekadar muatan perubahan yang lebih baik, tetapi juga menjadi momentum penting dalam upaya membongkar berbagai praktik KKN. Krisis multidimensi ditampilkan para politisi dan elite birokrasi pada lembaga-lembaga negara, seakan menjadi wacana tak berkesudahan dari realitas politik dan hukum.
Ruang-ruang publik yang seharusnya menyajikan kedamaian dan kerukunan kini menjadi ruang konflik dan kontestasi para elite dan warganya. Para elite tampil sebagai aktor utama untuk ”memainkan” perannya dan sekaligus menciptkan masalah di dalamnya, alih-alih di tahun politik menjelang Pemilu dan Pilpres 2024.
Baca juga: Pemilu 2024 dan Pendewasaan Demokrasi
Minimnya kesadaran akan penegakan hukum dan etika serta moralitas kekuasaan telah memosisikan hakikat demokrasi yang terdistorsi dan teralienasi dalam tataran praksis kenegaraan. Kapitalisasi hukum dan poitik sebagai ajang bisnis semakin menjauhkan makna demokrasi itu sendiri. Ranah birokrasi dan politik praktis menjadi domain pertunjukan yang sentralistik, pragmatis, dan sekaligus ”grey area” yang sulit diprediksi akal dan nurani yang sehat.
Euforia kebebasan berubah menjadi pentas kontestasi yang tak elok dicermati. Kebebasan individu telah tergerus oleh hasrat kuasa yang lebih dominan dengan menghalalkan segala cara. Narasi demokrasi telah bergerak ke arah perayaan kebebasan individu yang menumbuhkan watak ”individualisme”: egoisme, selfishness, narsisisme, dan hedonisme.
Elite-elite politik cenderung mengembangkan ”etika individualis”, di mana pandangan individu menjadi ukuran segala kebenaran, kebaikan, dan keutamaan (virtue). Akibatnya, ukuran nilai, kebenaran, moral, dan keutamaan kolektif yang berasal dari adat, mitos, tradisi, bahkan agama terpinggirkan. Demokrasi juga bergerak ke arah ”penampilan luar” (surface), dengan mengabaikan substansi atau esensi sehingga spirit demokrasi lebih diperlihatkan melalui ”pertunjukan demokrasi” (democratic performance) melalui aneka event.
Menurut Piliang (2010), politik tanpa refleksi dan kini didominasi pertunjukan yang lebih artifisial dan banal menyebabkan dominannya peran ”permainan bahasa” dalam merumuskan ”kebenaran”, melalui aneka trik, manipulasi, dan tipuan tanda. Dalam dominasi pertunjukan, maka ”modal sosial” lebih dirayakan ketimbang modal intelektual; modal ekonomi ketimbang modal kultural. Pertunjukan (penampilan, gaya bicara, retorika) menjadi keutamaan politik ketimbang pikiran, kecerdasan, dan karya.
Suwandi Sumartias,Guru Besar Komunikasi Politik dan Perburuhan Fikom Universitas Padjadjaran