Politik Indonesia begitu brutal demi kekuasaan. Mengharapkan santo dalam banalitas perpolitikan Indonesia sangatlah naif.
Oleh
TULUS SUDARTO
·2 menit baca
Bahwa rasionalitas politik begitu brutal diterjang demi tampuk kekuasaan melalui penelikungan butir empiris, ada beberapa poin yang harus digali untuk dimengerti (understandable) meski sama sekali tidak bisa diterima (unacceptable).
Tulisan ini tidak hendak mendekonstruksi hilirisasi gagasan yang mengiringi dinamika konseptif politik akar rumput. Pun bukan sebentuk maniak kepada sosok Jokowi yang de facto telah mempertontonkan performa kepemimpinan yang berpihak pada kebaikan umum tanpa terjerat pada persoalan abadi mengenai korupsi di tingkat elite ataupun kepentingan politik di level birokrat.
Pada titik tertentu, tak seorang pun bisa berkelit dari labirin kekuasaan dalam cangkang oligarki. Jokowi bukanlah pengecualian. Mengharapkan seorang santo dalam banalitas perpolitikan Indonesia sangatlah naif, sama saja menantikan sosok Rambo ataupun maverik dalam romantika imajiner.
Pertanyaan sosiologis terbaik dari situasi mutakhir mengacu kepada quo vadis keindonesiaan. Seberapa parah hasrat pada kekuasaan menghancurkan demokrasi selinear dengan pertanyaan seberapa kuat demokrasi menyokong kemajuan Indonesia secara obyektif.
Gaya kalem dari dinasti Jokowi mencerminkan nilai terbaik dari karakter Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul Garuda im Aufwind: Das Moderne Indonesien (Bonn: 2015), Franz Magnis-Suseno menjelaskan bagaimana karakter Jawa mencerminkan karakter keindonesiaan bukan karena porsi kuantitatif etnis Jawa yang mencapai 46 persen dari jumlah total populasi demografis. Secara filosofis, keengganan untuk konflik terbuka yang mudharat kepada harmoni sosial mencirikan karakter Indonesia seutuhnya.
Kesediaan untuk mengalah dan mengurungkan kepentingan pribadi demi kebutuhan sosial bukanlah butir demokrasi dalam literatur Barat. Dari sinilah muncul pertanyaan yang terlihat tak masuk akal sekaligus antitesis, betapa Jokowi keukeuh bisa tetap berada dalam lingkaran kebijakan (decision making process) setelah masa jabatannya berakhir melalui kedua anaknya dan sekutu partai politik yang secara idealis bertentangan satu sama lain.
Dalam perspektif ini, istilah ”kemaruk” akan kekuasaan tidaklah tepat disematkan kepada Jokowi. Frase ini harus diikat oleh satu entitas yang sepadan, semisal seberapa korup Jokowi selama menjabat kepresidenan. Andaikan tingkat korup Jokowi bisa dibuktikan, paling tidak berapa banyak pejabat yang tiba-tiba kaya mendadak karena program Jokowi atau kedekatan dengan Jokowi, pastilah hal ini akan secara gamblang bisa ditelusur. Otomatis legitimasi masyarakat tidak akan berpihak kepada Jokowi. Antitesis paralel mengacu kepada kenyataan bahwa kekuasaan hanyalah satu-satunya opsi yang paling mungkin untuk mendorong kemajuan visioner Indonesia.
Dari segala sisi, tak ada satu pun yang ”benar” dan ”adil” dalam muslihat Jokowi menyodorkan kedua anaknya. Bahwa partai politik bukanlah institusi politik yang mendulang tingkat kepercayaan masyarakat (trust), fakta ini terpapar secara banal sebagai pengetahuan praktis yang begitu elementer.
Kemungkinan dari manuver licik Jokowi adalah seberapa kemajuan pembangunan Indonesia bisa dikawal pada tingkat optimal ketika sistem belum memperbolehkan sosok untuk bersikap transenden dari segala kepentingan primordial. Dalam kultur sirkular khas Indonesia, tidak akan terjadi fase di mana sistem lebih kuat daripada subyek (bdk. Tulus Sudarto, ”Politik Disrupsi”, Kompas: 3/5/2018). Tendensi subyektif atas obyektivasi institutional merupakan karakter filosofis masyarakat Indonesia.
Dalam perspektif sosiologis, sirkularitas kultur masyarakat Indonesia tidaklah begitu idealis melawan segala manuver politik separah apa pun. Saya tidak hendak melegitimasi siasat Jokowi, tetapi sekadar mengacu kepada level fleksibilitas ala masyarakat Indonesia yang di satu sisi tidak memiliki tampang demokrasi dalam arti sebenar-benarnya (at its purest).
Logika post-factum ini mengacu kepada seberapa liat taktik suatu pemerintahan lepas dari jeratan politik transaksional untuk lebih fokus pada kemaslahatan publik. Di titik ini, secara obyektif, hanya Jokowi yang punya nyali untuk berkelit dari cengkeraman gurita tersebut lewat karakter kejawaannya: tegas dalam prinsip, halus dalam cara (fortiter in re, suaviter in modo).
Secara tiba-tiba, konsep keculasan yang relatif bisa dipahami dalam traktat filosofi politik keindonesiaan mengacu kepada cerita legenda kancil nyolong timun. Demi tujuan tertentu yang terlihat lebih logis, satu cara culas ala kancil tampak lebih masuk akal dan bisa diterima tanpa harus dihantam secara frontal. Rasionalitas politik yang saat ini tidak sejalan dengan emosi kolektif secara diametral meletakkan prinsip minum malum pada ambang setuntas-tuntasnya.
Wallauhuallam.
Tulus Sudarto, Kandidat Doktor Universitas Salzburg, Austria