Mengapa Turki Terlambat Bersikap Tegas dalam Perang Israel-Hamas?
Butuh tiga pekan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengumumkan sikap tegas negaranya dalam menyikapi perang Israel-Hamas.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN
·4 menit baca
Sejak perang Gaza meletus mulai 7 Oktober 2023, Turki merupakan salah satu negara yang paling disorot terkait sikap negara itu atas perang Hamas-Israel. Setelah Hamas mengobarkan Operasi Badai al-Aqsa dengan menyerang Israel selatan pada tanggal tersebut, sikap Turki tidak terlihat langsung terang benderang, bahkan cenderung terkesan samar-samar terkait perang Gaza.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pun sempat menjadi sasaran kritik. Ia dianggap kurang tegas dalam menyikapi isu perang Gaza. Erdogan sempat pula menawarkan menjadi mediator antara Hamas dan Israel untuk mengakhiri perang Gaza.
Padahal, Turki dikenal pendukung kuat kelompok Hamas secara politik ataupun diplomasi. Turki, selain Qatar, adalah tempat berlabuh dan berlindung para tokoh Hamas di pengasingan.
Sikap Turki yang kurang tegas dan bahkan cenderung kompromistis atas isu perang Gaza itu barangkali disebabkan semakin baiknya hubungan Turki-Israel akhir-akhir ini. Erdogan sempat bertemu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di sela sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, AS, September 2023.
Sebelumnya, pada Maret 2022, Presiden Israel Isaac Herzog berkunjung ke Turki. Kunjungan Herzog ke Turki itu merupakan lawatan presiden Israel pertama kali selama 15 tahun terakhir ini.
Baru setelah tiga pekan perang Gaza berkecamuk, pada 28 Oktober 2023, ada perubahan sikap Turki. Hari itu, Erdogan di depan ribuan massa pada acara bela Palestina di kota Istanbul menyampaikan orasi politik yang menegaskan sikap politik Turki atas perang Gaza saat ini.
Dalam orasinya, Erdogan menegaskan, setidaknya ada empat butir sikap politik Turki. Pertama, Erdogan menegaskan bahwa Hamas bukan organisasi teroris, tetapi gerakan perlawanan yang sah melawan penjajah Israel. Kedua, Israel adalah negara penjahat perang, dan Turki akan melakukan proses hukum di pentas internasional terhadap Israel terkait kejahatan perang yang dilakukan di Jalur Gaza.
Ketiga, Amerika Serikat dan Eropa turut bertanggung jawab atas aksi kejahatan perang yang terjadi di Jalur Gaza. Keempat, militer Turki bisa tampil di mana pun di kawasan Timur Tengah, seperti di Tripoli, Libya, dan Azerbaijan.
Erdogan menegaskan bahwa Hamas bukan organisasi teroris, tetapi gerakan perlawanan yang sah melawan penjajah Israel.
Ada beberapa faktor, mengapa Turki terlambat tiga pekan untuk mengambil sikap politik yang tegas dalam perang Gaza? Pertama, perang Gaza berkobar pada 7 Oktober 2023 dimulai dengan Operasi Badai al-Aqsa oleh Hamas tanpa koordinasi dengan pihak mana pun di kawasan Timur Tengah, termasuk Turki.
Turki pun segera menyadari bahwa dampak perang Gaza kali ini akan berbeda dari perang-perang Gaza sebelumnya. Maka, Turki butuh waktu untuk mempelajari situasi, baik dari segi ekonomi, politik, maupun militer.
Kedua, Turki butuh konsultasi dengan beberapa negara di kawasan sebelum mengumumkan sikap politiknya. Maka, Erdogan mengutus Menlu Turki Hakan Fidan ke beberapa negara untuk konsultasi.
Ketiga, Turki masih memandang ada dua opsi terkait konflik Palestina-Israel, yaitu perdamaian komprehensif historis atau perang regional. Namun, opsi perdamaian semakin kecil seiring tindakan Israel semakin nyata melakukan kejahatan perang, sementara AS semakin mendukung berlanjutnya perang di Jalur Gaza.
Keempat, Turki terkejut dengan terlibatnya AS begitu cepat dalam perang di Jalur Gaza dengan mengirim kapal induk dan sejumlah kapal perang ke Timur Tengah. Dukungan serupa diperlihatkan Eropa kepada Israel. Bahkan, Inggris memasok peluru dan kebutuhan militer lainnya kepada Israel untuk keperluan perang di Jalur Gaza. Turki melihat ada koalisi militer cukup luas untuk melawan Hamas di Jalur Gaza.
Kelima, Turki melihat mobilisasi militer Barat di Timur Tengah saat ini lebih besar daripada kapasitas perang Gaza di wilayah terbatas dengan kapasitas yang terbatas pula. Turki pun curiga, Barat memiliki agenda yang lebih besar dari sekadar isu Jalur Gaza, yakni Barat ingin merumuskan ulang peta Timur Tengah pascaperang Gaza. Turki khawatir, bagian dari agenda Barat adalah mengizinkan berdirinya negara Kurdi di Suriah utara.
Dari beberapa butir hasil evaluasi Turki tersebut adalah isu agenda besar Barat di Timur Tengah yang paling dicemaskan Turki adalah berdirinya negara Kurdi di Suriah utara.
Keenam, tekanan rakyat dan partai di Turki agar Erdogan mengambil sikap lebih tegas atas isu perang Gaza.
Dari beberapa butir hasil evaluasi Turki tersebut adalah isu agenda besar Barat di Timur Tengah yang paling dicemaskan Turki adalah berdirinya negara Kurdi di Suriah utara.
Ini lampu merah bagi Turki. Bagi Turki, berdirinya negara Kurdi di Suriah utara akan membangkitkan nasionalisme etnis Kurdi di Turki. Di negara itu, warga etnis Kurdi berjumlah sekitar 30 persen dari keseluruhan hampir 85 juta penduduk Turki.
Karena itu, Turki tidak mengizinkan ambruknya Hamas di Jalur Gaza. Bagi Turki, ambruknya Hamas di Jalur Gaza akan membuka jalan terwujudnya agenda besar Barat di Timur Tengah itu.
Di sini ada titik temu kepentingan Turki dan Iran, yakni sama-sama tidak mengizinkan ambruknya Hamas di Jalur Gaza. Itulah latar belakang di balik orasi Erdogan yang bersuara keras terhadap Israel di depan massa rakyatnya dalam acara bela Palestina di kota Istanbul pada 28 Oktober 2023.
Seperti telah disinggung, Erdogan terang-terangan menuduh Israel melakukan kejahatan perang di Jalur Gaza dan bertekad akan melakukan proses hukum untuk menyeret Israel sebagai penjahat perang.
Dalam konteks isu agenda besar Barat di Timur Tengah, Erdogan juga terang-terangan siap melakukan intervensi militer untuk mencegah terwujudnya agenda besar Barat yang merugikan dan mengancam keamanan nasional Turki. Turki juga akan menggunakan kartu truf Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dalam menghadapi AS dan Eropa sehingga AS dan Eropa berpikir ulang terkait agenda besar di Timur Tengah yang bisa merugikan Turki.
Seperti diketahui, Turki merupakan kekuatan militer terbesar kedua setelah AS dalam tubuh NATO. Selain itu, AS dan Barat juga sangat butuh Turki untuk menghadapi ancaman Rusia. Turki bisa mengancam akan keluar dari NATO untuk mencegah terwujudnya agenda besar Barat itu.