Tekanan Bermunculan pada Negara Penanda Tangan Perjanjian Abraham
Negara-negara penanda tangan Perjanjian Abraham, alas normalisasi hubungan dengan Israel, hadapi tekanan. Mereka diminta membatalkan perjanjian itu karena dianggap sebagai bentuk dukungan tindakan Israel ke Palestina.
RABBAT, KAMIS — Negara-negara penanda tangan Perjanjian Abraham yang menjadi alas normalisasi hubungan dengan Israel kini tengah menghadapi tekanan. Mereka didesak mengakhiri hubungan diplomatik dengan Israel. Tekanan itu menguat setelah serangan balasan atas Hamas di Jalur Gaza dinilai tidak proporsional dan melanggar hukum internasioal.
Baca juga: Normalisasi Arab-Israel untuk Siapa?
Tekanan itu datang dari warga di beberapa negara penanda tangan Perjanjian Abraham, Rabu (1/11/2023). Mereka turun ke jalan berunjuk rasa. Bahkan, di Bahrain, negara yang hampir tidak pernah mengizinkan protes, ratusan orang berdemonstrasi di depan Kedutaan Besar Israel di Manama.
Unjuk rasa di Manama adalah bagian dari puluhan ribu warga di banyak negara penanda tangan Perjanjian Abraham yang turun ke jalan selama beberapa hari terakhir. Mereka mendesak agar para pemimpin negara masing-masing bertindak tegas terhadap Israel. Di Mesir, yang telah memiliki hubungan diplomatik dengan Israel selama beberapa dekade, para pengunjuk rasa berunjuk rasa di kota-kota dan di universitas-universitas.
Sementara, di Rabbat dan sejumlah kota di Maroko, puluhan ribu warga turun ke jalan menyatakan dukungannya terhadap rakyat Palestina dan mengecam perilaku militer dan Pemerintah Israel. Pengunjuk rasa di Maroko dan Bahrain marah karena pemerintah mereka telah menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Kini, para aktivis menuntut pembatalan perjanjian itu.
Di Tunisia, sebuah komite parlemen pekan lalu mengajukan rancangan undang-undang yang akan mengkriminalisasi normalisasi hubungan dengan Israel.
Para penentang normalisasi hubungan menyebut protes dan aksi demonstrasi itu mempertegas bahwa sejatinya Perjanjian Abraham tidak banyak menggerakkan opini publik.
Baca juga: Abraham Accord dan Palestina
”Hamas bukanlah teroris. Ini adalah perlawanan terhadap penjajahan (yang dilakukan Israel terhadap Palestina). Bayangkan seseorang memasuki rumah Anda. Bagaimana Anda akan bersikap? Tersenyum atau memaksa mereka pergi?” kata Abouchitae Moussaif, Sekretaris Nasional Al Adl Wal Ihsane Maroko.
Perjanjian Abraham atau Abraham Accords ditandatangani pada pertengahan Agustus 2020 di Gedung Putih, Washington, Amerika Serikat. Negara pertama yang menandatangani perjanjian itu adalah Uni Emirat Arab dan Bahrain. Menyusul kemudian Maroko yang menyatakan persetujuannya untuk menormalisasi hubungan dengan Israel pada 10 Desember 2020.
Perjanjian Abraham yang disponsori oleh pemerintahan AS era Donald Trump dipandang sebagai simbol berakhirnya permusuhan Israel dengan negara-negara Arab, di sisi lain merupakan pengakuan negara-negara Arab terhadap keberadaan Israel sebagai sebuah negara. Perjanjian itu membuka jalan bagi kesepakatan perdagangan dan kerja sama militer antara Israel dengan negara penanda tangan, yakni UEA, Bahrain, Maroko, dan terakhir Sudan.
Penguasa ke empat negara penanda tangan perjanjian, dan AS serta Israel, menggambarkan hal ini sebagai langkah menuju Timur Tengah baru yang lebih aman, stabil, dan sejahtera. Hubungan yang lebih erat dipandang bisa mendorong perdamaian dan kemakmuran.
Bagi Maroko, normalisasi itu membuat Israel mengakui otonominya atas Sahara Barat yang disengketakan. Sementara bagi Sudan, perjanjian itu membuat Washington menghapus Sudan dari daftar negara sponsor terorisme dan dimulainya bantuan ekonomi dari negara berjuluk ”Paman Sam”.
Isi Perjanjian Abraham sendiri sebenarnya simpang siur, terutama apakah perjanjian itu akan mendorong terwujudnya perdamaian di Palestina atau hanya memberikan keuntungan bagi negara penanda tangan semata. Apalagi, ada perbedaan terjemahan teks perjanjian versi bahasa Arab dan Inggris, terutama soal pembangunan permukiman warga Yahudi di daerah pendudukan Tepi Barat.
Baca juga: Koridor Ekonomi Baru Merayu Riyadh
Dalam pandangan Pemerintah UEA, perjanjian normalisasi hubungan dengan Israel membuat pemerintahan Perdana Menteri Netanyahu menghentikan rencana pencaplokan atau aneksasi wilayah Tepi Barat yang semula rencananya dilaksanakan awal Juli 2020. Pandangan ini didasari pada isi komunike bersama tiga pihak, AS-Israel-UEA, versi bahasa Arab yang berbunyi: perjanjian telah menyebabkan rencana Israel untuk mencaplok tanah Palestina dihentikan.
Namun, dalam komunike versi bahasa Inggris, normalisasi hanya membuat Pemerintah Israel menangguhkan rencana pencaplokan wilayah Tepi Barat Palestina dan bukan menghentikan sama sekali.
Seorang pejabat UEA menyatakan, perbedaan tersebut hanyalah masalah terjemahan. Namun, dalam pandangan Palestina, terjemahan itu mengandung implikasi politik yang berbeda dan menipu.
Hanan Ashrawi, seorang pejabat senior PLO, mengklaim itu tidak jujur. ”Terjemahan dalam bahasa Arab adalah cara menyesatkan opini publik Arab dengan mengatakan mereka telah berhasil menghentikan aneksasi, padahal sebenarnya mereka menangguhkannya,” katanya saat itu (Kompas.id, 16 September 2020).
Baca juga: Uni Emirat Arab Bermain di Dua Kaki antara Iran dan Israel
Sejauh ini tidak dijelaskan isi perjanjian yang ditandatangani beberapa negara lainnya, termasuk Maroko, Bahrain, hingga Sudan. Zakaria Aboudahab, profesor Hubungan Internasional di Universite Mohammed V di Rabat, tidak yakin protes itu akan membuat pemerintah berbalik haluan, membatalkan perjanjian.
”Maroko tahu betul bahwa ketika kemarahan rakyat mencapai proporsi seperti itu dan orang-orang mengungkapkan ketidakadilan dan sebagainya, negara tersebut harus mendengarkan rakyatnya,” katanya. Bahrain sendiri melarang adanya aksi turun ke jalan sejak tahun 2011 ketika ribuan orang turun ke jalan karena didorong oleh protes pro-demokrasi di Mesir, Suriah, Tunisia, dan Yaman, sebagai bagian dari Musim Semi Arab. Namun, dalam beberapa pekan terakhir, demonstrasi kembali diperbolehkan.
”Sekarang masyarakat mengambil risiko untuk turun ke jalan dan berpartisipasi. Pemerintah ingin meredakan kemarahan masyarakat dengan mengizinkan mereka berkumpul,” kata Jawad Fairooz, mantan pemimpin Partai Al Wefaq yang dilarang di Bahrain dan tinggal di pengasingan di London.
Saat perang semakin intensif di Gaza, sejumlah pemimpin negara Arab mengkritik tajam atas serangan balasan Israel yang dinilai tidak pandang bulu. Pada 25 Oktober lalu, Bahrain, Oman dan Mesir bersama UEA, Yordania, Arab Saudi, Qatar dan Kuwait mengelurkan kecaman atas tindakan militer Israel karena membunuh warga sipil di Gaza. Mereka, dalam pernyataannya menyebut bela diri tidak membenarkan pelanggaran hukum internasional, dan dengan sengaja mengabaikan hak-hak rakyat Palestina yang sah.
Mereka juga mengutuk ultimatum yang dikeluarkan militer Israel yang memaksa jutaan warga Gaza utara meninggalkan tempat tinggalnya dan menuding Israel menerapkan hukuman kolektif terhadap warga Palestina.
Pemimpin Bahrain, Raja Hamad bin Isa al-Khalifa, dikutip dari laman Arab News, dilaporkan telah bertemu dengan pemimpin Yordania, Raja Abdullah, Rabu (1/11/2023). Dalam pertemua itu mereka menggarisbawahi pentingnya perlindungan warga sipil dan segera membangun koridor kemanusiaan, terutama untuk mengirim bantuan medis ke Gaza. (AP)