Proto Dinasti
Dinasti politik sejatinya ”jago kandang”, berbasis teritorial kampung halaman, untuk memperbesar dan memperluas pengaruh di arena publik dan ranah ekonomi.
Keriuhan diskursus atas dominasi klan atau dinasti politik di Indonesia kembali marak menghiasi ruang publik. Kajian dan diskursus mengenai dinasti politik telah bermunculan dalam dua dekade terakhir. Terdapat beberapa kajian yang menggunakan pendekatan studi kasus yang menyoroti kiprah klan/dinasti politik di beberapa daerah.
Di antara tulisan tentang kiprah dinasti politik itu adalah di Banten (Rahman, 2008; Sutisna 2017; Efendi 2018; Sukri 2020), Sulawesi Selatan (Buehler dan Tan, 2007), Bangkalan (Rachman, 2015), dan Kota Bontang (Akbar dan Purnomo, 2019; Purwanti dan Alfirdaus, 2020).
Umumnya kajian tentang klan/dinasti politik di Indonesia menyoroti aspek mikropolitik dalam bingkai dinamika politik lokal dan masih terbatas kajian tentang perbandingan antarklan/dinasti politik secara nasional.
Kajian tentang klan politik dalam kancah perpolitikan umumnya menyoroti kemunculan keluarga-keluarga yang mendominasi perpolitikan, khususnya di tingkat daerah. Pada kontestasi pemilihan kepala daerah, anggota keluarga berupaya mendominasi arena politik lokal. Pertarungan antaranggota keluarga dari klan politik yang berbeda merupakan pemandangan jamak.
Lintasan pergerakan ”karier” dari klan politik di Indonesia umumnya mengikuti pergerakan ”saudara tua” di Filipina yang ”berkarier” dari daerah. Namun, kemunculan dinasti politik nasional saat ini justru mengikuti perkembangan ”saudara muda” di Kamboja.
Apakah klan politik telah menjelma menjadi dinasti politik?
Dinasti tetangga
Apakah klan politik telah menjelma menjadi dinasti politik? Kajian klan/dinasti politik di negara-negara tetangga menelaah perbandingan tentang pengaruh, kekuatan, dan basis kekuatan antardinasti politik.
Kajian yang dilakukan Daniel Arghiros (2001) tentang klan di Thailand, Kanchan Chandra dkk (2016) di India, Edward Schatz (2004) di Kazakhstan, Kathleen Collins (2006) dan Eric McGlinchey (2011) di Asia Tengah, dan ME McMillan (2013) di Timur Tengah menggambarkan kemunculan klan-klan politik tersebut.
Filipina adalah kiblat di Asia mengenai dinasti politik. Kehadiran dan pengaruh dari klan-klan politik ini telah mengakar dan beranak pinak semenjak parlemen pertama hadir di jazirah Filipina pada akhir abad ke-19.
Studi dinasti politik di Filipina oleh Alfred McCoy (1993), John Sidel (1999), dan Eric Guterrez (1992), memotret sepak terjang klan politik selama hingga satu abad. Waktu yang cukup panjang sehingga dapat menakar keberlangsungan dan mengukur kedalaman pengaruh, bahkan cengkeraman, dinasti politik ini terhadap politik lokal ataupun nasional.
Buku All in the Family suntingan Eric Guterrez dkk menelusuri kelahiran dan perkembangan klan politik sejak era penjajahan Spanyol hingga menjadi dinasti politik.
Sarjana lain, seperti Alfred McCoy dalam buku An Anarchy of Families: State and Family in the Philippines, menggambarkan penggunaan pasukan paramiliter oleh dinasti politik untuk mempertahankan dominasi di tingkat lokal.
Sekelompok jurnalis investigatif, seperti Sheila Coronel, Yvonne Chua dkk, merekam bagaimana keluarga berpengaruh (the wealthy and well-born) mendominasi Kongres Filipina secara kontinu selama beberapa generasi.
Ilustrasi
Sepak terjang dinasti politik di Filipina sudah berurat berakar dalam keseharian politik Filipina yang pada masa diktator Ferdinand Marcos sering disebut sebagai ”the Sickman of Asia” atau ”Orphans of the Pacific” lantaran kuatnya cengkeraman dinasti politik, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Potret terkini adalah pasangan Presiden Bongbong Marcos dan Wakil Presiden Sara Duterte. Mendengar nama keduanya saja kita sudah paham siapa mereka. Keduanya bukan sekadar anak presiden, melainkan juga penerus trah dinasti politik Marcos dan Duterte.
Bongbong meniti karier politik sebagai wakil gubernur di Ilonos Norte, kampung halaman Ferdinand Marcos. Kemudian jadi gubernur, lalu berpindah menjadi anggota DPR dan senator mewakili konstituensi yang sama. Posisi yang ia tinggalkan selalu diisi saudaranya, bahkan ibundanya, Imelda Marcos.
Sara Duterte juga memiliki karier politik tak kalah kinclong. Ia diperam sang ayah, Rodrigo Duterte, mulai dari menjadi wakil wali kota mendampingi sang ayah di Davao City, lantas menjadi wali kota menggantikan sang ayah, sebelum mentas di politik nasional sebagai wakil presiden merangkap menteri pendidikan. Karier yang sepertinya telah dipersiapkan sejak belia oleh sang ayah.
Fenomena dinasti yang belum banyak disorot adalah keluarga Hun di Kamboja. Perdana Menteri Hun Manet yang baru saja dilantik pada 22 Agustus 2023 adalah putra Hun Sen, Perdana Menteri Kamboja sejak 1985, hingga digantikan oleh putra pertamanya.
Hun Sen menjadi salah satu kepala pemerintahan terlama yang berkuasa di Asia semenjak Kamboja terbebas dari Khmer Merah melalui intervensi Vietnam.
Pendekatan efektif untuk menakar kekuatan suatu klan, apakah sudah mengkristal menjadi dinasti, adalah dengan mengobservasi pergerakan pada kontestasi elektoral.
Hun Sen berhasil mengonsolidasikan kekuatan politiknya tanpa tandingan melalui strategi kooptasi dan membubarkan partai-partai oposisi, mulai dari partai Royalis Funcipec, partai liberal Sam Rainsy Party (kemudian berubah nama menjadi Cambodian National Rescue Party), hingga yang terakhir Candle Light Party.
Hun Manet, jenderal bintang empat, juga diperam oleh sang ayah, mulai dari anggota pasukan kontraterorisme, komandan pasukan pengaman perdana menteri, hingga komandan Angkatan Bersenjata Kamboja. Saudara lain, yakni Hun Manith, adalah jenderal bintang tiga dan menjabat sebagai deputi komandan angkatan bersenjata.
Adik bungsu, Hun Many, saat ini menjabat sebagai menteri aparatur sipil negara sekaligus anggota parlemen dari Distrik Kampong Speu.
Ketiga anak Hun Sen ini menikah dengan putri-putri petinggi pemerintahan Kamboja yang juga orang dekat Hun Sen. Dinasti di Kamboja ini menempuh rute berbeda jika dibandingkan dengan Filipina, yang kekuasaan dinastinya dibangun dari pusat kekuasaan.
Dinasti Nusantara
Setelah mengambil pelajaran dari sepak terjang dinasti politik di negara tetangga, mari kita meneropong praktik di bumi Nusantara.
Pendekatan efektif untuk menakar kekuatan suatu klan, apakah sudah mengkristal menjadi dinasti, adalah dengan mengobservasi pergerakan pada kontestasi elektoral.
Pertarungan pemilu terdekat yang telah lalu adalah pemilihan kepala daerah pada 2020. Para kandidat yang dikategorikan sebagai anggota dari klan politik berpartisipasi pada pilkada ditelaah apakah mampu memenangi pertarungan elektoral atau sebaliknya.
Ilustrasi
Beberapa aspek, seperti (1) latar belakang pasangan calon (afiliasi dengan kelompok sosial kemasyarakatan, kekuatan finansial, luasnya jaringan, basis konstituensi); (2) relasi dengan pimpinan dari klan politik; (3) posisi publik dan durasi penguasaan institusi politik oleh klan tersebut; dan (4) kekuatan relatif dari kandidat atau pasangan calon lain, di antaranya, digunakan untuk menganalisis hasil dari kontestasi pilkada pada suatu daerah.
Pemilihan kepala daerah pada tahun 2020 meliputi 270 daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Jumlah ini sekitar setengah dari total jumlah pemerintahan daerah di Indonesia.
Lokasinya juga tersebar merata dari bagian barat hingga timur sehingga dapat memberikan ilustrasi secara nasional mengenai dominasi klan politik pada arena politik lokal.
Tiga terbanyak dari latar belakang calon kepala daerah adalah bupati, anggota DPRD kabupaten/kota, dan pengusaha. Sementara itu, latar belakang calon wakil kepala daerah berasal dari aparatur sipil negara (ASN), pengusaha, dan anggota DPRD kabupaten/kota.
Sebanyak 27 persen calon kepala daerah dan 38 persen calon wakil kepala daerah tidak terafiliasi atau bukan kader partai politik. Hal ini menunjukkan bahwa para calon ini diusung disebabkan figur atau nama dari klan politiknya.
Telaah hasil pilkada serentak 2020 menemukan 220 kandidat memiliki relasi dengan politikus atau pejabat publik, baik yang sedang maupun yang pernah menjabat. Kandidat klan politik bukan petahana sebanyak 171 orang, dengan 97 mengalami kekalahan, 73 memenangi kontestasi, dan satu didiskualifikasi.
Sebaliknya, 49 kandidat merupakan petahana dan terdapat 14 orang yang kalah, satu orang didiskualifikasi, dan 34 kandidat menang pilkada. Adapun 54 kandidat kalah dari pesaing yang merupakan anggota klan politik lain.
Telaah hasil pilkada serentak 2020 menemukan 220 kandidat memiliki relasi dengan politikus atau pejabat publik, baik yang sedang maupun yang pernah menjabat.
Mayoritas kandidat yang berasal dari klan politik pada Pilkada 2020, umur kekuasaan kerabatnya baru selama satu hingga dua periode. Hanya 8,45 persen kandidat yang dinastinya sudah berkuasa selama lebih dari dua periode.
Selain itu, terdapat 12 klan politik yang mengusung calon untuk bertarung di lebih dari satu daerah, memperebutkan 19 jabatan kepala daerah, dan 13 kandidat di antaranya menang pilkada.
Ilustrasi di atas menunjukkan, klan politik Nusantara masih berada pada tahap proto dinasti atau embrio dinasti. Baru segelintir dari klan yang telah mengakar di teritorinya dan bertransformasi menjadi dinasti politik. Karena itu, belum mencapai tahapan sesuai dengan terminologi John Sidel sebagai local strongmen.
Penetrasi dan penguasaan daerah belumlah sedalam saudara tuanya di Filipina karena umumnya klan politik Nusantara masih bertumpu pada kekuasaan formal yang dimiliki dan belum memiliki kecukupan basis ekonomi untuk membiayai operasi politik mereka. Pun mereka menghadapi rintangan untuk memperluas ekspansi kewilayahan justru dari sesama klan politik lain, bahkan oligarki ekonomi yang memiliki hasrat dan syahwat politik serupa.
Menghadang proto dinasti
Berkaca pada kontestasi Pilkada 2020, klan politik di Indonesia masih berada pada tahap proto dinasti atau embrio dinasti. Embrio dinasti ini perlu diantisipasi serta dimitigasi agar tidak menancapkan kukunya pada kehidupan bernegara. Kehadiran dinasti politik menurut kajian di negara-negara lain jelas akan mendistorsi proses politik dan menghambat demokratisasi. Filipina dan Kamboja adalah contoh nyata.
Dinasti politik sejatinya adalah ”jago kandang”, yang basis teritorialnya berupa kampung halaman, yang menjadi fondasi untuk memperbesar dan memperluas pengaruh di arena publik dan ranah ekonomi.
Sebelum dinasti politik mampu melestarikan klannya dan membajak demokrasi, kita masih memiliki peluang untuk membendung kristalisasi klan politik menjadi dinasti politik, tentu saja dengan tidak memberikan mandat politis pada perhelatan pemilu.
Baca juga : Penghapus Nilai Demokrasi Itu Bernama Dinasti Politik
Luky DjaniDosen Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta