Hadiah Bulan Oktober
Di tengah tensi politik yang mulai memanas, tanpa banyak disorot lampu kamera, sastra seolah membasuh segalanya.
Di tengah tensi politik yang mulai memanas, tanpa banyak disorot lampu kamera, sastra seolah membasuh segalanya. Puluhan perhelatan sastra secara hampir serentak bermunculan di berbagai tempat di Tanah Air. Kota-kota yang selama ini luput dari pantauan, seperti Jambi, Balige, Singaraja, Banjarmasin, Tanjung Pinang, dan Banjarbaru, menggelar festival sastra. Bahkan, festival itu berupa rangkaian aktivitas literasi yang bisa berlangsung di berbagai titik. Tentu, belum terhitung perhelatan sastra yang digelar para mahasiswa di berbagai kampus.
Saya ingat lagi kata-kata Presiden Amerika Serikat John F Kennedy (1961-1963), ”Ketika kekuasaan mengantar manusia pada kesombongan, puisi mengingatkan akan keterbatasannya. Ketika kekuasaan mempersempit area pemikiran manusia, puisi mengingatkannya akan kekayaan dan keragaman eksistensi. Ketika kekuasaan itu korup, puisi membersihkannya.”
Pernyataan ini seperti menemukan konteksnya, hari ini, di Indonesia. Kekuasaan hari-hari ini tidak sekadar menjadi buruan para politisi, tetapi telah memicu berbagai kegaduhan. Secara kasat mata, kekuasaan telah ”mengantarkan” para politisi dan birokrat ke gerbang kompetisi yang tak bisa dinalar. Pada sisi lain, kekuasaan telah mencuatkan ”rasa lapar”: rasa lapar terhadap kursi empuk kekuasaan itu sendiri, serta rasa lapar terhadap harta benda.
Ingat-ingat saja, bagaimana kekuasaan itu membuat Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate (2019-2023) ”mabuk” oleh kekuasaan. Skandal korupsi yang tengah bergulir di pengadilan ini telah merugikan negara lebih dari Rp 8 triliun! Tak hanya Johnny, skandal BTS (base transceiver station) 4G ini telah menyeret pula banyak pejabat dan pengusaha. Mereka secara bersama-sama telah menggunakan kekuasaan sebagai kendaraan ”bancakan” uang negara.
Belum pula vonis jatuh, muncul kehebohan baru. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (2019-2023) ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tuduhan melakukan jual beli jabatan dan gratifikasi. Ia dan sejumlah pejabat lainnya diduga menerima uang sebesar Rp 13,9 miliar. Selain itu, saat penggeledahan oleh KPK, di rumah jabatan SYL juga ditemukan uang cash sejumlah Rp 30 miliar plus 12 pucuk senjata api! Kasus ini lebih heboh dari kasus Johnny karena melilit pula Ketua KPK Firli Bahuri yang diduga melakukan pemerasan terhadap SYL.
Permainan kekuasaan tak berhenti di situ. Kesombongan itu menjalar sampai ke jalur konstitusi. Kesehatan nalar para pelaku konstitusi kita diragukan setelah putusan ”kontroversial” dari Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam perkara Nomo 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dikabulkan MK, Senin (16/10/2023). Putusan itu menyebutkan, capres-cawapres yang pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai DPR/DPD, gubernur, maupun wali kota, dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun.
Banyak pihak menilai putusan ini seolah memberi karpet merah kepada putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, yang berusia 36 tahun, untuk menjadi bakal calon wakil presiden dari Prabowo Subianto. Secara kasat mata, apa pun dalilnya, bahwa putusan ini bisa menguntungkan para pemimpin yang berusia di bawah 40 tahun, tetap saja terasa tidak adil. Gibran mendapatkan dua privilege: pertama karena dia seorang putra presiden yang sedang berkuasa, dan kedua, Ketua MK Anwar Usman tak lain adalah pamannya sendiri.
Apakah para pemimpin lain yang berusia di bawah 40 tahun, hari ini mendapatkan privilege semacam ini? Jawabannya, sudah pasti ”tidak”, dan itu artinya ada rasa keadilan yang tercederai. The show must go on! Tak perduli tentang kehebohan, apalagi sekadar menimbang kesantunan, anak muda yang belum genap tiga tahun menjadi wali kota Solo itu kini mendampingi bakal capres Prabowo Subianto, yang dalam dua periode pilpres menjadi ”seteru” Presiden Joko Widodo. Drama ini seperti adagium, ”tak ada musuh abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi”. Apalagi, kepentingan yang abadi itu, kecuali bagi-bagi ”kue” kekuasaan.
Kennedy tak main-main, pada masanyalah puisi benar-benar memperoleh tempat ”berlindung” yang abadi.
Kennedy tak main-main, pada masanyalah puisi benar-benar memperoleh tempat ”berlindung” yang abadi. Ketika pelantikannya, ia mengundang penyair senior Robert Frost yang telah membantunya selama kampanye menjadi presiden. Kennedy minta agar Frost membaca puisi berjudul ”The Gift Outright”, tetapi diam-diam Frost menyiapkan puisi berjudul ”Dedication”.
Tanah itu adalah milik kami sebelum kami menjadi miliknya/ Dia adalah tanah kami selama lebih dari seratus tahun/ Sebelum kita menjadi bangsanya. Dia milik kita/ Di Massachusetts, di Virginia/ Tapi kami adalah milik Inggris, masih kolonial/ Memiliki apa yang masih belum kita miliki/ Dimiliki oleh apa yang sekarang tidak lagi kita miliki/ Sesuatu yang kami sembunyikan membuat kami lemah/ Sampai kita mengetahui bahwa itu adalah diri kita sendiri/ Kami menahan diri dari tanah tempat tinggal kami/ Dan segera menemukan keselamatan dalam penyerahan diri/ Seperti kita, kita memberikan diri kita sendiri secara langsung/ (Akta pemberiannya adalah banyak perbuatan perang)/ Ke daratan yang samar-samar mengarah ke barat/ Namun masih belum bertingkat, tanpa seni, tanpa perbaikan/ Seperti dia dulu, dia akan menjadi seperti apa// (Hadiah Langsung, Robert Frost)
Baca juga: Epilog: dalam cengkeraman dinasti politik
Sejak Frost membaca puisi dalam inaugurasi pelantikan presiden, sampai hari ini pembacaan puisi menjadi tradisi dalam setiap pelantikan presiden dari Partai Demokrat. Puisi menempati tempat terhormat karena diperlakukan sebagai ”kemewahan” yang bisa direngkuh para politisi pada puncak pencapaian sebuah kekuasaan. Tradisi semacam ini barangkali masih jauh anganan para penyair di Tanah Air. Mereka lebih sering secara mandiri bergerak sendiri-sendiri untuk mencintai sastra dan puisi pada khususnya.
Setidaknya dalam bulan Oktober saya menghadiri tiga perhelatan sastra. Pertama Batanghari Literary and Cultural Festival (Balculfest) yang dihelat awal Oktober di Jambi. Para seniman lokal memanggil para penulis dari seluruh Jambi untuk berkompetisi menjadi peserta, terutama penulisan cerpen yang saya ampu. Sebelum masuk kelas 15 peserta harus mengikuti serangkaian observasi di Candi Muaro Jambi.
”Mereka bahkan harus menginap di sekitar Candi Muaro Jambi. Ini jadi semacam residensi,” kata Nafri Dwi Boy, panitia Balculfest Jambi. Hasil karya mereka nanti akan disatukan dalam sebuah buku bersama.
Balai Bahasa Kalimantan Selatan tak kalah gesit. Mereka mengundang 40 guru SD, SMP, dan pegiat literasi untuk berlatih menulis esai. Karya-karya mereka juga akan dibukukan. Ketua Panitia Bimbingan Teknis Penulisan Esai Balai Bahasa Kalsel Luthfi Baihaqi mengatakan, para guru perlu ”dibebaskan” dari cara menulis esai yang formal dan kaku. ”Mereka perlu kritis terhadap berbagai persoalan di sekitar keseharian mereka,” katanya.
Aruh Sastra Kalimantan Selatan di Banjarmasin, 25-29 Oktober, bahkan mengundang ratusan penyair dari seluruh Kalimantan Selatan untuk bersama-sama merayakan ”kebebasan” sastra. Mereka menerbitkan antologi puisi berjudul Percakapan di Dasar Sungai. Jelas, judul ini mengandung daya kritis terhadap kondisi terkini dari puluhan sungai di Kalimantan Selatan yang dalam sedang dalam keadaan tak baik-baik saja.
Kritiskus Arif B Prasetyo yang diundang untuk membedah buku ini mengatakan, buku antologi itu telah melahirkan ”puisi-puisi hijau”, puisi yang memiliki daya kritis terhadap kondisi lingkungan. ”Pendekatan ekokritik memperlihatkan puisi-puisi hijau di Kalimantan Selatan berangkat dari kondisi sesungguhnya yang terjadi pada sungai-sungai mereka,” ujar Arif.
Lalu tak bisa dilupakan harian Kompas sendiri merasa perlu menggelar Festival Kata pada 25-27 Oktober 2023 di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Malam Anugerah Cerpen Kompas 2022 menjadi puncak dari serangkaian acara literasi yang diisi para pegiat literasi dari berbagai kota.
Puluhan kegiatan literasi berbasis sastra dan bahasa yang digelar di berbagai kota itu seakan menjadi hadiah istimewa bagi negeri ini. Di tengah saling telikung para politisi untuk merebut kekuasaan serta ”atraksi kemaha-kuasaan” penguasa dalam mempermainkan konstitusi, sastra bekerja atas dorongan hati nurani. Mereka mencipta, membukukan, dan bahkan membacakan karya-karya itu tampa pamrih. Jika pun keindahan itu mencuat dari karya-karya itu, dia tidak semata untuk tujuan menghibur. Tetapi bukankah, sebagaimana ditegaskan berulang kali oleh pendiri Kompas, Jakob Oetama, menghibur yang papa dan sekaligus mengingatkan yang kaya, sebuah tugas mulia?
Lebih dari pada itu, sastra lebih banyak memberi ketimbang meminta, apalagi meminta-minta. Ia menabur nilai-nilai kemanusiaan agar manusia eling akan perikemanusiaan. Ia membenih kesantunan dan nilai-nilai moral agar manusia ngeh pada tugas hidupnya. Sastra juga mengajak manusia untuk menghargai dan memberi keteladanan agar ia dihormati oleh sesamanya. Tak kurang dari itu, sastra mengembangkan daya nalar agar manusia tak semena-mena melipat-lipat logika. Namun, pada akhirnya sastra akan mengantarkan manusia memperoleh ”pencerahan”, agar ia menjadi manusia yang ”paripurna”.
Politik kita hari ini justru bergerak sebaliknya. Ia lebih banyak meminta ketimbang memberi. Bahwa sudah pada galibnya menjadi tugas seorang penguasa untuk membawa rakyatnya ke gerbang kemakmuran. Jika pada akhirnya itu tercapai kelak, bukan sesuatu yang istimewa, karena sejak awal itulah yang menjadi amanah seorang politisi yang berkuasa. Kalau kemudian pada saat ia mengantarkan rakyatnya ke gerbang kemakmuran, dibarengi oleh hati yang tulus dan bersih, patutlah ia disebut pemimpin sejati.
Apa itu pemimpin sejati?
Sastra klasik mengajarkan, ia harus bersikap seperti matahari. Semua orang, secara adil dan merata mendapatkan sinar kehidupan. Selain itu, seorang pemimpin juga bersikap seperti udara, yang bisa dirasakan kehadirannya secara nyata, bukan simbolik. Ia juga harus berlaku seperti bumi, yang memberikan segalanya, termasuk hidup seluruh keluarganya. Seorang pemimpin juga harus rendah hati seperti air. Ia menerima segala saran dan masukan yang berguna bagi rakyatnya.
Belakangan ini, hadiah yang demikian istimewa dari sastra ini dilihat sebelah mata pun tidak. Para pemimpin kita sedang sibuk ”memasarkan” diri di hadapan rakyat. Bahkan, ada di antaranya meminta mandat untuk berkuasa! Karena, menurutnya, itulah hakikat dari demokrasi: menjalankan mandat yang diberikan oleh rakyat. Lalu rakyat akan kehilangan hak dan mandatnya karena telah diserahkan kepada penguasa.
Puisi bagi penguasa sejenis ini barangkali tak lebih dari deretan kata-kata ”bombas” yang tak berguna. Ia hanyalah hasil kerja penyair ngelindur di tengah gegap-gempita pesta demokrasi. Tentu saja politik menjadi instrumen penting dalam pelaksanaan demokrasi. Dan, demokrasi menjadi ciri utama dari negara-negara modern.
Sebagai penutup saya coba kutipkan penggalan sajak ”Maskumambang” dari WS Rendra berikut ini:
…Karena politik tidak punya kepala.
Tidak punya telinga. Tidak punya hati.
Politik hanya mengenal kalah dan menang.
Kawan dan lawan.
Peradaban yang dangkal.
Meskipun hidup berbangsa perlu politik,
tetapi politik tidak boleh menjamah
ruang iman dan akal
di dalam daulat manusia!
Namun daulat manusia
dalam kewajaran hidup bersama di dunia,
harus menjaga daulat hukum alam,
daulat hukum masyarakat,
dan daulat hukum akal sehat…
Barangkali tak cuma kepala, telinga, dan hati yang kini tak dimiliki oleh para politisi kita hari ini, tetapi lebih-lebih adalah harga diri. Jangan kata kemuliaan akhlak, kesantunan pun hanya sebatas gesture di hadapan publik, selebihnya adalah hitung-hitungan menang dan kalah: kita yang berkuasa atau dia yang lebur jadi debu.
Maka dari itu, Ernest Hemingway pernah berkata, ”Satu-satunya tulisan sejati yang muncul selama perang adalah puisi!” Selebihnya adalah kata-kata bombas dan perbuatan banal, yang makin mendangkalkan logika, karena melecehkan penalaran publik.