Pemilu dan Nalar Penyelenggaraan Negara
Presiden harus berani mengelola penyelenggaraan negara dengan nalar, bukan sekadar rasa baik-buruk atau salah-benar.
Pemilu 2024 makin dekat. Ketiga pasangan bakal calon presiden- wakil presiden sudah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kini, tinggal tunggu waktu: mana saja dari ketiga pasangan ini yang akan lolos berlaga memperebutkan suara.
Sebenarnya hajatan lima tahunan ini biasa saja di alam demokrasi —apalagi di negara maju yang sudah dewasa. Namun di negeri yang baru belajar berdemokrasi dengan politik yang tidak mudah diterka arahnya seperti Indonesia, pemilu selalu luar biasa karena dampaknya pada kehidupan bernegara tidak bisa diandaikan akan selalu baik-baik saja.
Pemilu mengawali proses pergantian kekuasaan dan administrasi pemerintahan. Bagi mereka yang memahami bagaimana pemerintah bekerja, pergantian itu punya konsekuensi yang tidak sederhana. Karena itu, babak baru kehidupan bernegara mesti bijak dikelola. Karena jika tidak, dampaknya bukan hanya bagi pemerintahan yang berganti, namun pertaruhan upaya menggapai cita-cita negeri.
Cita-cita dan tantangannya
Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), negeri ini menetapkan cita-cita dan mimpi: menjadi pemimpin dunia dengan ekonomi terbesar keempat atau kelima saat berusia seabad nanti. Ini ditegaskan dalam rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 (Bappenas, 2023).
Sejumlah indikator pun ditetapkan. Satu di antaranya adalah ekonomi yang ditargetkan tumbuh 6-7 persen per tahun, dari saat ini hingga 2045 nanti. Padahal selama ini, ekonomi kita hanya tumbuh di kisaran 5 persen. Oleh karena itu, hanya ada satu jurus untuk mencapai mimpi ini: memanfaatkan bonus demografi agar sungguh menjadi keuntungan –bukan bencana— demografi.
Bagi mereka yang memahami bagaimana pemerintah bekerja, pergantian itu punya konsekuensi yang tidak sederhana.
Bonus demografi adalah kondisi di mana jumlah penduduk berusia produktif lebih banyak dari yang berusia tidak produktif, dan mereka ini memang sungguh produktif. Saat itulah bonus demografi akan mewujud menjadi keuntungan (dividen) demografi.
Namun, jika penduduk berusia produktif yang jumlahnya lebih banyak dari mereka yang berusia non-produktif itu ternyata tidak produktif, bonus demografi itu akan menjadi malapetaka dan kutukan (curse) demografi.
Oleh karena itu, pemerintah mesti memastikan agar penduduk usia produktif kita sungguh produktif. Mereka harus sehat, cerdas-terdidik, dan bekerja, sehingga menghasilkan produktivitas. Mereka harus mengambil peran dalam pembangunan yang ditopang ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy) yang wujudnya ekonomi hijau, biru, dan baru (digital).
Dan satu lagi: Ini semua mesti cepat dikerjakan. Karena bonus demografi yang hanya datang sekali ini akan segera berakhir. Waktu kita tinggal 13-15 tahun lagi. Itu mengapa tidak boleh ada waktu terbuang. Karena setiap saat yang terlewat tanpa manfaat membuat kita lebih lambat menggapai cita-cita –khususnya dalam pemerintahan kita.
Saat ini, sumber daya dan energi birokrasi yang tersedot ke pemilu sudah terlalu besar. Padahal birokrasi amat berpengaruh pada kinerja pemerintahan dan jalannya kehidupan kenegaraan.
Ilustrasi
Dari seluruh anggota kabinet, 14 menteri tercatat punya afiliasi pada partai politik peserta pemilu, empat terdaftar sebagai anggota tim sukses (timses) atau pemenangan, dan dua menjadi capres dan cawapres. Jumlah ini belum termasuk menteri atau kepala badan/lembaga yang menjadi pendukung aktif pasangan calon, meski tidak resmi terdaftar sebagai anggota timses.
Hal ini perlu menjadi perhatian karena ia mengompromikan dan membahayakan kinerja pemerintahan. Ada beberapa hal yang mesti dicermati.
Pertama, meski menurut aturan para menteri ini cukup cuti saat berkampanye, tapi akal sehat kita tahu bahwa potensi konflik kepentingan tak terhindarkan jika mereka tetap memimpin birokrasi. Tanpa harus berprasangka buruk, sulit membayangkan fasilitas negara tak dimanfaatkan –sengaja atau tidak— saat para pejabat negara ini bertindak sebagai kader partai atau timses.
Bahkan Presiden sendiri melakukan konsolidasi relawan di Istana Negara. Apakah hal yang sama tidak akan terjadi pada para menterinya?
Kedua, bukan itu saja masalahnya. Saat para menteri ini, atau bahkan Presiden sendiri, mesti absen dari tugas pokoknya, tanggung jawab pengelolaan kebijakan dan program pembangunan yang dipimpinnya dibebankan sepenuhnya secara domino pada birokrasi yang minim kendali.
Mereka yang paham birokrasi tahu bahwa support system utama sekaligus tangan kanan menteri adalah para pejabat eselon I (sekretaris jenderal/sekjen, sekretaris utama/sestama, deputi, direktur jenderal/dirjen, staf ahli, staf khusus) yang kinerjanya mengandalkan eselon II-nya.
Bukan rahasia, bahwa saat menteri —apalagi Presiden sendiri— berpolitik, para pejabat ini akan ikut terlibat, mau atau tidak, suka atau tidak. Akibatnya dalam banyak hal, eksekusi program pembangunan negeri ini terkompromi atau setidaknya bermasalah karena fokus pimpinannya terbelah.
Bukan rahasia, bahwa saat menteri —apalagi Presiden sendiri— berpolitik, para pejabat ini akan ikut terlibat, mau atau tidak, suka atau tidak.
Ketiga, ini adalah tahun terakhir pemerintahan Jokowi. Meski semua capres saat ini mengaku –atau mengaku-aku— sebagai penerus Jokowi, tetaplah proses exit dan transisi harus dijalankan dengan rapi. Harus dilakukan stock opname, yakni pencatatan seluruh kinerja pemerintahan saat ini.
Satu, mendata semua capaian pembangunan sejak 2014 yang sudah amat banyak diraih, baik secara fisik –seperti infrastruktur jalan, jembatan, bendungan, pelabuhan, bandara, inisiasi Ibu Kota Negara (IKN), dan lain-lain— maupun non fisik seperti berbagai kebijakan dan regulasi terobosan terkait perlindungan sosial, reformasi birokrasi, digitalisasi, dan lain sebagainya.
Dua, karena tiada gading yang tak retak, secara jujur dan terbuka mencatat hal-hal dalam pembangunan selama ini yang masih butuh perhatian dan harus diperbaiki oleh pemerintahan berikutnya ke depan.
Tiga, meski Bappenas saat ini sedang menyiapkan rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, birokrasi tiap kementerian/lembaga tetap perlu secara khusus menyiapkan rencana strategis ke depan dari perspektif mereka sendiri.
Karena pemerintahan baru akan mengusung prioritas baru dengan agenda baru, maka rancangan RPJMN-pun akan disesuaikan sejalan dengan visi-politik pasangan calon pemenang pemilu.
Ketiga hal di atas membutuhkan pemerintahan yang berdaya dan berkinerja –yang saat ini berada dalam risiko karena para menterinya sedang dan saling berlaga memperebutkan suara.
-
Jika kita jujur memotret posisi politik para menteri tersebut, bukan tidak mungkin justru malah ada potensi konflik di antara mereka sendiri karena perbedaan pilihan dan arah dukungan.
Meski ini wajar dalam sebuah kontestasi kuasa, namun ketika korbannya adalah kepentingan penyelenggaraan negara, perkara ini mesti dikelola. Karena jika tidak, akan timbul persoalan yang jauh lebih besar ke depan.
Ini situasi yang pelik karena Presiden sendiri terlibat konflik kepentingan mengingat anaknya berlaga sebagai salah satu bakal cawapres. Tetapi hemat saya, justru dalam keterbatasan ini, Presiden harus berani mengambil langkah mengelola penyelenggaraan negara –dengan nalar, bukan sekadar rasa baik-buruk atau salah-benar.
Nalar penyelenggaraan negara
Saat banyak pihak mempertanyakan berbagai langkah politik Presiden akhir-akhir ini, dengan rendah hati saya ajukan beberapa masukan agar nalar pemerintahan dipertahankan dan publik memberikan dukungan. Karena amat sayang jika seluruh kerja keras Presiden Jokowi selama sembilan tahun ini dinihilkan dan malah harus diakhiri dengan pertanyaan atau gugatan karena dianggap gagal mengelola penyelenggaraan negara saat pergantian kuasa.
Pertama, meski tidak diharuskan oleh aturan, menteri-menteri atau kepala-kepala lembaga yang terlibat di dalam Pemilu 2024 –baik anggota parpol, calon legislatif, apalagi calon presiden dan wakil presiden—sebaiknya mengundurkan diri atau setidak-tidaknya menon-aktifkan diri. Jika perlu, Presiden sendiri yang menon-aktifkan mereka.
Ini langkah aktif dan mendasar untuk menghindarkan diri dari konflik kepentingan dan penggunaan fasilitas negara —mulai dari mobil hingga rumah dinas— untuk urusan non-kenegaraan.
Kedua, Presiden menunjuk pengganti sementara (ad interim) para menteri atau kepala lembaga tersebut yang memenuhi tiga syarat: profesional, tidak punya konflik kepentingan bisnis ataupun politis, dan tidak terlibat aktif dalam tim sukses Pemilu 2024. Mereka bisa dipilih dari birokrasi, atau dari non-birokrasi. Mesti disadari dan diakui, netralitas itu ilusi. Namun independensi bisa dan harus menjadi kondisi.
Karena amat sayang jika seluruh kerja keras Presiden Jokowi selama sembilan tahun ini dinihilkan dan malah harus diakhiri dengan pertanyaan atau gugatan karena dianggap gagal mengelola penyelenggaraan negara saat pergantian kuasa.
Ketiga, para menteri dan kepala ad interim ini diberi Presiden tugas kunci seperti dirujuk di atas: mencatat cermat baik capaian maupun kekurangan program pembangunan, menuntaskan rencana kerja yang tersisa, dan menyiapkan rencana strategis ke depan –termasuk transisi pemerintahan—dari perspektif kementerian dan lembaga yang dipimpinnya. Ini penting karena masa depan pemerintahan itu dirancang dan direncanakan, bukan diperkirakan apalagi diramalkan.
Di tengah persoalan etika dan kepantasan publik yang mendera pemerintah, termasuk pribadi Presiden sendiri, menjalankan langkah-langkah tersebut mungkin tidak mudah karena punya dimensi ganda: teknokratik dan politik.
Secara teknokratik, langkah-langkah ini akan memperbaiki kinerja pemerintah yang saat ini tercoreng berbagai kasus yang berakar dari konflik kepentingan para penyelenggara negara.
Secara politik, menyatakan niat dan menunjukkan nalar yang jernih menjalankan pemerintahan dalam situasi pergantian kekuasaan yang sering amat dinamis dan tak menentu.
Namun semua ini mesti cepat dieksekusi agar pemerintahan Jokowi tidak makin tenggelam dalam keterpurukan tuduhan jeratan gurita konflik kepentingan dan ketidakmampuan mentransisikan pemerintahan.
Penentu
Tahun 2024 menjadi penentu penting ke mana negeri ini akan berjalan. Pemerintahan Jokowi satu dekade ini akan berakhir dan pemerintahan baru akan mengambil alih. Di akhir masa kerjanya, setiap pemerintahan punya tanggung jawab untuk memastikan apa yang telah dikerjakannya diteruskan, dan kekurangannya diperbaiki oleh penerusnya.
Semua pemerintahan menginginkan ini terjadi dengan aman (safe) dan mulus (soft). Itu mengapa akhir sebuah pemerintahan diidealisasikan dalam dua ungkapan: safe exit dan soft landing.
Ilustrasi
Meski ada keraguan, safe exit dan soft landing ini bisa diusahakan oleh Jokowi dengan menunjukkan bahwa di tengah situasinya yang amat sulit dan rumit ia tetap mencoba dan berusaha membatasi konflik kepentingan para pejabatnya sebisa mungkin.
Meski juga tak akan seratus persen berhasil, tetapi langkah ini mengirimkan pesan yang kuat bahwa di tengah situasi yang dirasakan banyak pegiat demokrasi sudah demikian menyesakkan, masih ada harapan akan perbaikan.
Ini semua bukan semata urusan memperbaiki citra, namun upaya lebih mendasar untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan negara. Jokowi memulai pemerintahannya dengan mandat penuh dari rakyat, maka ia juga harus mengakhirinya dan mewariskannya kepada siapa pun penerusnya dengan penuh martabat.
Yanuar NugrohoPengajar STF Driyarkara Jakarta, Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura, Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI 2015-2019