Protokol Kebangsaan Kaum Muda
Setelah era pandemi, kita melihat bagaimana negara merebut ruang publik, gerakan masyarakat sipil mengalami ”karantina”.
Generasi politik baru Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan, bahkan mungkin dalam ruang ”kuldesak”, jalan buntu politik yang membutuhkan navigasi dan terobosan cerdas untuk melaluinya.
Di satu sisi, mereka berhadapan dengan sistem politik yang penuh keriangan, memberikan ruang bebas dan menyajikan banyak instrumen untuk menampilkan eksistensi diri.
Namun, di sisi lain, kaum muda harus berhadapan dengan fakta bahwa arena politik masih merupakan proyeksi kaum elite yang membentuk cara produksi kekuasaan untuk sekadar menjaga kemapanan politik lama.
Demokrasi, pada akhirnya, hanya menjadi arena politik yang memberikan ruang bebas dari sisi ekspresi politik, tetapi diam-diam mengunci struktur kesempatan politik. Jargon-jargon tentang ”politik milenial” hanya berisi panggung bagi tampilnya kaum muda yang memiliki relasi meta-politik dengan kaum elite, seperti hubungan biologis dan kekerabatan.
Lembaga politik seperti partai yang diharapkan dapat menjadi pilar penting demokrasi hanya sekadar menjadi arena reproduksi politik kaum tua. Kaderisasi politik Indonesia hari ini sangat sarat dengan elemen reproduksi, di mana aktor politik lahir dan tumbuh dalam basis biologis ketimbang ideologis.
Demokrasi, pada akhirnya, hanya menjadi arena politik yang memberikan ruang bebas dari sisi ekspresi politik, tetapi diam-diam mengunci struktur kesempatan politik.
Kaum muda dan otoriterianisme elektoral
Ada cara pandang yang sedikit menyesatkan dalam melihat hadirnya rezim multipartai sebagai petunjuk demokrasi. Partai politik yang berkecambah sejak Indonesia memasuki demokrasi liberal dianggap menjadi ruang kanalisasi politik yang membuka jalan bagi kaum muda untuk memasuki dan mengisi instalasi politik di negeri ini.
Nyatanya, kehadiran rezim multipartai tidak dengan serta-merta membuat demokrasi menemukan jalan yang lebih substansial. Bahkan, dalam beberapa hal, rezim multipartai hari ini tidak menampilkan unsur distingtif dari rezim sebelumnya dilihat dari capaian kehidupan berbangsa dan bernegara.
Partai, kecuali saat musyawarah nasional (munas) dan musyawarah nasional luar biasa (munaslub), hampir tak punya gereget politik yang memadai dan cenderung menjadi properti para pemilik modal. Biaya politik bagi kaum muda untuk terlibat dalam kontestasi politik begitu mahal. Dari sini efek bawaan politik berbiaya tinggi mulai menyebar, yakni munculnya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Partai politik menjadi pembentuk cara produksi politik elektoral yang sialnya hanya mendorong politik Tanah Air pada kondisi yang dikenal dengan istilah otoritarianisme elektoral (electoral authoritarianism). Sebagaimana yang dijelaskan Andreas Schedler (2006), rezim otoritarianisme elektoral terbentuk dengan cara memainkan sedemikian rupa penyelenggaraan pemilu reguler dengan melibatkan banyak partai politik.
Masyarakat dibuat silau oleh ingar-bingar politik. Seolah-olah sedang berlangsung proses demokrasi yang merayakan kebebasan dan mengakomodasi partisipasi publik. Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah kepura-puraan demokrasi saat pemilu lebih merupakan instrumen untuk melakukan validasi oligarki kekuasaan.
Adalah benar bahwa partai politik bukan satu-satunya instrumen untuk menyalurkan kepentingan politik kaum muda. Namun, ketika oligarki elektoral membawa implikasi terhadap munculnya oligarki pembangunan, ruang-ruang kritis kaum muda dan blok sosial mana pun seolah menemui persoalan serius.
Pada masa Orde Baru, pembangunan berlangsung lewat cara yang monolitik. Negara bukan saja menjadi aktor dan eksekutor, melainkan juga menjadi juru tafsir tunggal pembangunan. Suara-suara kritis dan gugatan mengalami persekusi dan dianggap subversif.
Kebuntuan ruang ekspresi kaum muda
Kini, dalam ruang yang dibayangkan amat demokratis, pembangunan berubah menjadi oligarki pembangunan. Hal ini tidak terlepas dari formasi yang berkembang pada level kelompok-kelompok politik. Kekuasaan ditandai dengan tampilnya kelompok-kelompok politik yang berbagi posisi dan berbagi porsi. Pembangunan menjadi ajang pesta pora politik dan berbagi konsensi di antara kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam lingkaran konsentris oligarki kekuasaan.
Sementara itu, ruang-ruang politik yang tersedia bagi kaum muda di sektor gerakan sosial semakin mengalami reduksi ketika otoriterianisme elektoral yang ada membawa implikasi bagi beroperasinya oligarki pembangunan.
Ruang-ruang kritis kaum muda yang ingin menyuarakan berbagai problem, seperti isu korupsi, eksploitasi sumber daya alam, hak asasi manusia, dan problem struktural pembangunan lain, kerap mengalami kebuntuan.
Pembangunan menjadi ajang pesta pora politik dan berbagi konsensi di antara kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam lingkaran konsentris oligarki kekuasaan.
Setidaknya setelah era pandemi, kita melihat bagaimana negara merebut ruang publik atas nama menjaga keselamatan dan kesehatan serta gerakan masyarakat sipil mengalami ”karantina”.
Maka, kita menyaksikan, kaum muda yang tampil diajukan sebagai ”tokoh pembawa perubahan” atau sebutan ”tokoh milenial” sangat minim yang berasal dari ruang-ruang gerakan sosial.
Mereka yang kemudian mendapat validasi dan selebrasi dari media justru lebih banyak merupakan pelanjut trah, ahli waris takhta politik, dan generasi yang disiapkan sebagai jaring pengaman proyek blok oligarki.
Poros kebangsaan
Sebentar lagi negeri ini akan menghadapi ritual pemilu. Atmosfer kompetisi politik mulai memanas. Kasak-kusuk kaum elite dalam panggung politik semakin meniupkan aroma lama: politik akan membelah membentuk poros-poros politik yang saling menegasikan.
Kaum muda akan dimobilisasi dalam blok politik yang dibentuk kaum elite, bertengkar hebat dalam kerja manufaktur politik lewat kecanggihan dunia elektronik dan kecerdasan buatan. Ini sesungguhnya situasi yang sangat menyedihkan bagi kaum muda di mana mereka hanya menjadi kalangan terdepan dalam palagan konflik kepentingan para pemburu kekuasaan.
Penting untuk menyuarakan pentingnya mengajukan poros kebangsaan bagi kaum muda Indonesia hari ini.
Gema Sumpah Pemuda hampir seabad yang lalu membawa misi yang amat jelas: sebuah manifesto untuk membangun transendensi politik untuk mengatasi perbedaan. Para pemuda 1928 barangkali sudah sangat sadar bahwa modus aku-bangsa harus ditempatkan pada posisi tertinggi di atas aku-partai, aku-agama, aku-etnis, dan modus-modus eksistensi lain yang akan mendorong bangsa ini pada perpecahan.
Poros kebangsaan adalah warisan terbaik yang diwariskan oleh kaum muda 1928 yang nyatanya menjadi daya ledak politik karena 17 tahun setelah itu Indonesia mendapatkan kemerdekaan dan kedaulatannya sebagai bangsa.
Keberagaman haruslah diterima sebagai modal politik dan fakta. Fragmentasi politik yang memecah kaum muda akan menuntut ongkos sejarah teramat mahal. Kalangan elite yang kini menghuni jejaring oligarki politik dituntut untuk memberikan jalan bagi hadirnya poros kebangsaan agar kaum muda Indonesia tidak terseret dalam frustrasi politik yang panjang.
Baca juga : Pemilu di Antara Tantangan Etika, Oligarki, dan Dinasti Politik
Ade M WirasenjayaDosen HI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta