Politik Bahasa
Keputusan para pemuda itu untuk ”menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” merupakan penegasan bahwa bahasa merupakan bagian penting dari politik perlawanan.
Pada tahun 1921, seorang filsuf Austria, Ludwig Wittgenstein (1889-1951), menulis sebuah kalimat deklaratif dalam bukunya, Logisch-Philosophische Abhandlung:
”Die Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meiner Welt”. Artinya: ”batas bahasaku adalah batas duniaku”. Pernyataan Wittgenstein ini menegaskan betapa pentingnya peran bahasa dalam upaya manusia memahami dunia.
Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada 28 Oktober 1928, sekelompok pemuda di Batavia menyatakan satu sumpah yang antara lain menyatakan ”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Sumpah itu kemudian dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda dan tanggal 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Politik bahasa kita
Penulis tidak tahu pasti apakah para pemuda yang menjadi panitia Kongres Pemuda tahun 1928 itu membaca buku Wittgenstein atau tidak. Akan tetapi, melihat semangat dan isi sumpah yang mereka ucapkan, penulis berpandangan bahwa mereka sudah memiliki kesadaran yang sama dengan Wittgenstein akan pentingnya bahasa sebagai medium memahami dunia.
Bahasa yang kita punya akan menentukan bagaimana pemahaman kita akan dunia.
Terlepas dari konteks sejarahnya yang penuh paradoks karena ternyata para pemuda peserta kongres itu kebanyakan berpikir dan berbicara dalam bahasa Belanda, bahkan nama resmi kongres itu juga berbahasa Belanda (Indonesische Jeugdcongres), apa yang mereka lakukan pada waktu itu tetaplah penting untuk dikenang sebagai satu tonggak perjuangan nasional kita.
Keputusan para pemuda itu untuk ”menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” merupakan penegasan bahwa bahasa merupakan bagian penting dari politik perlawanan.
Keputusan para pemuda itu untuk ”menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” merupakan penegasan bahwa bahasa merupakan bagian penting dari politik perlawanan. Bahasa memiliki kekuatannya sendiri. Ia tidak hanya memiliki fungsi deskripsi dan ekspresi, tetapi juga memiliki fungsi indoktrinasi yang dapat memengaruhi bagaimana seseorang memandang dirinya dan dunianya.
Itulah alasan kenapa kemudian kita mengenal yang namanya ’politik bahasa’. Bahasa tidak hadir dalam konteks yang netral dari politik. Bahkan, bahasa itu sendiri bisa sangat politis. Hal ini ditunjukkan dengan sangat baik oleh George Orwell dalam novelnya yang bercorak distopian, Nineteen Eighty-Four (1949).
Novel tersebut menceritakan sebuah rezim totaliter di negara super bernama Oseania. Untuk mengontrol pikiran penduduknya, rezim diktator pimpinan Big Brother ini mengembangkan sebuah bahasa baru yang disebut ”Newspeak”.
Bahasa baru ini memiliki kosakata yang sangat sederhana dan terbatas. Tujuannya tentu membatasi kebebasan penduduknya dalam mengekspresikan pikiran mereka. Orang- orang yang anti terhadap rezim diktator itu pun jadi kehilangan bahasa untuk mengungkapkan kritiknya.
Kata ’bebas’, misalnya, tetap ada dalam kosakata Newspeak.
Akan tetapi, ia hanya memiliki arti ’tiadanya sesuatu’. Misalnya, ”makanan ini bebas dari kuman” atau ”udara bebas dari polusi”. Kata ’bebas’ tidak memiliki arti tidak adanya paksaan dan batasan seperti dalam ’kehendak bebas’ atau ’kebebasan berbicara dan berpendapat’.
.
Dengan demikian, penduduk Oseania pun tidak mengenal konsep kebebasan. Melalui Newspeak inilah rezim diktator Big Brother di Oseania ampuh dalam membungkam kritik.
Sekelompok pemuda yang berkongres di Batavia pada 1928 menyadari betul aspek politis dari bahasa. Meskipun mereka sendiri kala itu lebih sering berpikir dan bertutur dalam bahasa Belanda, melalui Kongres Pemuda II itu mereka sudah membayangkan adanya bahasa bersama yang bukan bahasa Belanda, yaitu bahasa Indonesia.
Mereka sadar betul bahwa jika bangsa Indonesia tetap menggunakan bahasa Belanda, maka kita akan berpikir dalam alam berpikir kolonial.
Untuk terbebas dari alam pikir kolonial, maka Sumpah Pemuda memproyeksikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Namun, apakah masalahnya lalu selesai ?
Ternyata tidak. Peneguhan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional ternyata menyisakan masalah politis antara pusat dan daerah. Sebelum bahasa Indonesia diratifikasi sebagai bahasa nasional, rakyat Indonesia sudah hidup dengan bahasa daerah masing-masing.
Posisi bahasa daerah
Berdasarkan laporan Badan Bahasa pada 2011, di Indonesia ini setidaknya ada 514 bahasa daerah. Ini menunjukkan Indonesia memiliki sumber daya bahasa yang sangat kaya untuk memahami, menggambarkan, dan menjelaskan dunia. Akan tetapi, sayangnya, laporan Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa ada tren di kalangan generasi muda untuk semakin meninggalkan bahasa daerah.
Semakin muda, semakin berkurang yang bisa berbahasa daerah. Yang bisa berbahasa daerah dari generasi boomer masih lebih dari 80 persen. Namun, di kalangan generasi Z, yang masih menggunakan bahasa daerah dalam percakapan dengan kerabat atau tetangga mereka hanya 69,9 persen. Bahkan, di generasi setelahnya, hanya tersisa 61,7 persen.
Untuk terbebas dari alam pikir kolonial, maka Sumpah Pemuda memproyeksikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Kita sering melihat anak- anak kecil di daerah yang tidak pernah diajak berbicara menggunakan bahasa daerah oleh orangtuanya. Banyak orangtua masa kini lebih suka mengajarkan bahasa Indonesia pada anak-anaknya, tanpa sedikit pun mengenalkan bahasa daerahnya. Ini menjadi alarm bagi punahnya bahasa daerah yang merupakan kekayaan bangsa.
Dan jangan lupa bahwa fenomena ini tak terjadi secara natural. Fenomena berkembang dan punahnya bahasa bisa juga dipengaruhi oleh faktor- faktor yang bersifat politis seperti yang digambarkan Orwell.
Dalam konteks berkurangnya penutur bahasa daerah di Indonesia, bisa jadi yang menjadi faktor utamanya adalah politik kebudayaan yang dihegemoni oleh kebudayaan nasional dan bahkan kebudayaan luar.
Selama beberapa tahun terakhir ini, tontonan banyak keluarga di daerah adalah sinetron yang menampilkan sosok-sosok yang fasih berbahasa Indonesia. Oleh karena itu, tertanam dalam pikiran mereka bahwa syarat menjadi keluarga keren dan tampak terdidik adalah menggunakan bahasa Indonesia.
Ini ditambah lagi dengan masuknya banyak budaya pop dari luar seperti lagu dan film Korea, sehingga banyak anak muda saat ini mulai gandrung dengan bahasa Korea. Tidak sulit saat ini untuk menemukan anak muda yang lebih mengerti bahasa Korea daripada bahasa daerahnya sendiri. Ini merupakan fenomena politik kebudayaan yang berimplikasi pada bertambah dan berkurangnya penutur sebuah bahasa.
Jika kita meyakini, sebagaimana Wittgenstein, bahwa batas bahasa adalah batas dunia, maka bahasa yang digunakan oleh satu generasi akan menentukan bagaimana mereka memahami dan mengalami dunianya. Mengabaikan dan meninggalkan bahasa daerah berarti meninggalkan cara memahami dan mengalami dunia yang sudah diwariskan oleh leluhur kita.
Ilustrasi
Karena itu, menurut penulis, penting sekali untuk menguatkan posisi bahasa daerah dalam bahasa Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan meratifikasi kosakata bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia. Ketika ada hal yang tidak ditemukan bahasa Indonesianya, maka sebaiknya kita coba untuk menggalinya dari kosakata bahasa daerah.
Kata download dan upload, misalnya, susah ditemukan padanannya dalam kosakata bahasa Indonesia yang sudah ada.
Namun, kita memiliki kosakata bahasa Jawa yang memiliki arti kurang lebih sama, yaitu ’unduh’ dan ’unggah’. Dengan demikian, maka kata ’unduh’ dan ’unggah’ pun diratifikasi sebagai bagian dari kosakata bahasa Indonesia yang baku untuk mewakili download’ dan upload.
Usaha semacam itu merupakan hal yang perlu terus dilakukan karena, selain memperkaya bahasa Indonesia, juga menambah sumber pemahaman kita akan dunia. Memperkaya bahasa, mengikuti Wittgenstein, berarti memperluas cakrawala dunia.
Baca juga : Menjaga Bahasa, Menjaga Bangsa Indonesia
Siti MurtiningsihDekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada