Bahasa berperan penting membangun rasa kebangsaan karena tiap bangsa membutuhkan bahasa standar untuk berkomunikasi. Kini muncul tantangan kesetaraan dalam bahasa Indonesia.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sudah hampir satu abad Sumpah Pemuda digelorakan, kini mulai muncul pertanyaan mengenai kesetaraan masyarakat yang direpresentasikan melalui penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ketimpangan sosial dan ekonomi menyebabkan pula ketidaksetaraan dalam penggunaan bahasa di berbagai kelas masyarakat.
Tanpa upaya segenap elemen bangsa mempersempit ketimpangan itu, gejolak sosial yang mengoyak persatuan dan kesatuan berpotensi mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sembilan puluh empat tahun silam, para pendiri bangsa memilih bahasa Indonesia sebagai salah satu dari tiga unsur pemersatu yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda, 1928. Bahasa merupakan faktor penting membangun rasa kebangsaan karena setiap bangsa membutuhkan bahasa yang standar dan formal dalam berkomunikasi. Perjalanan sejarah pun menunjukkan, bahasa merupakan unsur yang paling berhasil dalam mempersatukan masyarakat.
”Bahasa itulah yang paling mempersatukan kita karena semua orang Indonesia bisa berbahasa Indonesia. Generasi tua yang tidak bisa berbahasa Indonesia sudah hampir hilang,” kata peneliti utama Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional, Thung Ju Lan, yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (27/10/2022).
Ia melanjutkan, pendiri bangsa sangat jeli membaca kebutuhan masyarakat. Itu terlihat dari pemilihan bahasa persatuan yang berasal bahasa Melayu Pasar yang sudah berkembang dalam pergaulan sejumlah kalangan kala itu. Jika dibandingkan bahasa daerah lain, Melayu Pasar merepresentasikan kesetaraan masyarakat karena tak memiliki tingkatan yang membedakan penggunaannya di kelas sosial mana pun. Namun, kesetaraan itu kini dipertanyakan. Sekalipun mayoritas warga bisa menggunakan bahasa nasional itu, tetapi tingkat pemahaman terhadap konsep-konsep yang ada di bahasa Indonesia belum merata.
”Ada kelompok masyarakat yang hanya mengenal konsep lima angka, tidak mengenal konsep kanan dan kiri. Ada juga yang belum mengerti apa itu pegunungan dan pantai, karena di daerah mereka hanya menyebut tempat itu dengan istilah atas dan bawah,” ujar Thung mencontohkan.
Ketimpangan pemahaman dalam berbahasa, diperparah dengan banyaknya penggunaan istilah asing oleh para penyelenggara negara untuk keperluan publik. Misalnya, penggunaan istilah omnibus law untuk metode penggabungan sejumlah undang-undang (UU) ke dalam satu UU. Begitu juga ketentuan ambang batas pencalonan presiden dalam UU Pemilu, yang kerap disosialisasikan dengan istilah presidential threshold. Berbagai istilah asing yang tak dimengerti publik itu bisa cenderung membuat mereka abai atas sebuah kebijakan, dan berpotensi mendiamkannya saja meski itu merugikan.
Menurut Thung, ketidaksetaraan dalam pemahaman berbahasa itu merepresentasikan ketimpangan kondisi sosial ekonomi warga. Hal itu menjadi penyebab terus terjadinya gejolak sosial di beberapa daerah yang dapat mengoyak rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
”Para elite yang membiarkan ketimpangan berbahasa itu yang menyebabkan kita tidak bisa menghilangkan feodalisme, tetap ada kelas yang di atas kelas lainnya,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia mengingatkan negara perlu meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Apalagi, bahasa Indonesia adalah bahasa yang melampaui konsep-konsep yang ada dalam bahasa daerah. Dengan begitu, pemahaman masyarakat bisa lebih luas, taraf hidupnya akan meningkat. ”Pemahaman bahasa Indonesia itu harus ditingkatkan karena di situlah kita bisa memahami kehidupan kita sebagai bangsa,” ujar Thung.
Pengajar Departemen Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman, sepakat, Sumpah Pemuda yang menyepakati menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan mengandung semangat hidup bersama sebagai satu bangsa. Keinginan itu diikat nilai keadilan sosial yang ternyata belum terwujud karena ada stratifikasi sosial dalam bahasa. Namun, bahasa Indonesia yang semestinya jadi pemersatu kini justru tak bisa jadi jembatan antarkelas masyarakat.
”Kalangan kelas atas, menengah, dan bawah tidak memiliki pola komunikasi bahasa yang bisa melintasi segregasi sosial. Ini tanda simbolik terjadinya ketimpangan sosial dalam proses komunikasi,” katanya.
Menurut dia, hal ini menjadi peringatan bagi perjalanan kehidupan berbangsa. ”Mau tidak mau kita harus menuntut pemerintah dan elemen kebangsaan lain untuk menyelesaikan persoalan ketimpangan sosial, sehingga, kita sebagai elemen bangsa dari berbagai kelas sosial, tetap merasa memiliki bangsa Indonesia,” ujarnya.
Sejarah panjang
Sekalipun diikrarkan pada momentum Kongres Pemuda II di Jakarta, 28 Oktober 1928, tiga poin ikrar Sumpah Pemuda telah dirumuskan dua tahun sebelumnya, yakni pada Kongres Pemuda I yang juga diselenggarakan di Jakarta, 30 April-2 Mei 1926. Kongres yang diketuai Mohammad Tabrani, seorang wartawan itu, semula menargetkan pengambilan keputusan kesepakatan ikrar satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Di antara para pemuda, tak ada perdebatan ihwal satu nusa dan satu bangsa, yakni Indonesia.
Namun, lain halnya ketika memutuskan soal bahasa. Beda pandangan mulai terjadi saat M Yamin menyampaikan pidato berjudul ”Kemungkinan Perkembangan Bahasa-bahasa dan Kesusasteraan Indonesia di Masa Mendatang”. Yamin berpandangan, ada dua bahasa yang paling berpeluang dijadikan bahasa persatuan Indonesia, yakni Jawa dan Melayu.
”Mengingat pada saat itu bahasa Melayu sudah menjadi bahasa pergaulan (lingua franca), Muhammad Yamin berkesimpulan bahwa peluang bahasa Melayu untuk menjadi bahasa persatuan lebih besar daripada bahasa Jawa,” tulis Momon Abdul Rahman dkk dalam buku Sumpah Pemuda Latar Belakang Sejarah dan Pengaruhnya bagi Pergerakan Nasional.
Gagasan yang semula hendak dijadikan dasar pengambilan keputusan kongres itu ditentang Tabrani. Menurut Tabrani, jika nusa dan bangsa yang disepakati adalah Indonesia, bahasa yang dipilih semestinya bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu. Ketidaksepahaman berujung kebuntuan yang membuat Kongres Pemuda I berakhir tanpa keputusan.
Namun, kebuntuan tak menghentikan perdebatan pemuda soal cara mempersatukan bangsa. Pendirian organisasi justru kian masif, begitu pula penyelenggaraan rapat-rapat, dan pembudayaan bahasa persatuan.
”Puncaknya ketika Kongres Pemuda II berlangsung, usul yang disampaikan langsung disepakati, bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia,” kata Staf Edukasi Museum Sumpah Pemuda, Jakarta, Bakhti Ari Budiansyah.