Jokowi dan Politik Cawapres
Presiden Joko Widodo mendapat tiga keuntungan dengan menjadikan Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden.
Presiden Joko Widodo mendapat tiga keuntungan dengan menjadikan Gibran Rakabuming Raka, anak sulungnya, sebagai calon wakil presiden, mendampingi calon presiden dari Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Subianto.
Keuntungan pertama adalah rusaknya basis suara Prabowo dari kalangan pemilih fanatik ”yang penting bukan Jokowi”. Dua kali pertarungan Jokowi dan Prabowo di pilpres berlangsung keras hingga membentuk nuansa polarisasi di masyarakat Indonesia.
Nuansa itu tak bisa dikatakan sudah hilang atau memudar sama sekali dengan terjadinya rekonsiliasi kedua rival itu tatkala Prabowo bersedia menjadi Menteri Pertahanan di periode kedua pemerintahan Jokowi. Kelompok pemilih akan gamang dengan kehadiran Gibran sebagai representasi politik Jokowi.
Pada dua kali pilpres, Prabowo konsisten memersonifikasi diri sebagai nasionalis. Meski demikian, pemilihnya bukan hanya dari kalangan masyarakat yang beraspirasi nasional. Prabowo menampilkan diri sebagai seorang nasional yang menghormati ulama. Percampuran nasionalisme dan agama pun terjadi hingga meruncing dalam penciptaan frasa ”Partai Allah” dan ”Partai Setan” di masa Pilres 2019.
Di antara dua pasangan tersisa, percampuran aspirasi ini hanya dapat ditemui pada pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Oleh karena itu, pasangan ini berpeluang besar dapat limpahan kalangan pemilih ini. Poin inilah yang menjadi keuntungan bagi Jokowi.
Sebagaimana diketahui, ketika partai politik belum mengumumkan bakal capres yang diusungnya, Jokowi mempromosikan Ganjar Pranowo dalam penyebutan simbolis calon berambut putih. Ada unsur Jokowi dalam politik pencapresan Ganjar.
Kalaupun akhirnya pasangan Prabowo-Gibran kalah dalam kontestasi, Gibran tetap sudah naik tingkat dalam mendaki karier politik.
Naik tingkat
Keuntungan ketiga adalah memberi Gibran tempat dalam sirkulasi politik elite nasional, tidak hanya berada di tingkat lokal. Kalaupun akhirnya pasangan Prabowo-Gibran kalah dalam kontestasi, Gibran tetap sudah naik tingkat dalam mendaki karier politik.
Dia bisa mengonversi modal politik yang diperoleh dari kontestasi nasional ini untuk karier politik pemilihan kepala daerah gubernur ataupun menteri.
Terlebih jika pasangan ini memenangi pilpres nanti. Dengan mempertimbangkan usia Prabowo yang tak lagi muda, Gibran berpotensi mendapat banyak porsi tugas mewakili di acara politik tingkat nasional maupun internasional. Ini akan meningkatkan nilai tawarnya di bursa elite nasional di kontestasi selanjutnya.
Keuntungan ini sinambung dengan pencawapresan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) di kubu Anies Baswedan yang disebut Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ada campur tangan menteri dan ”Pak Lurah”.
Pencawapresan Cak Imin sudah dapat diprediksi akan memunculkan polemik di tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Pertama, karena Anies kurang diterima di kalangan NU setelah pada Pemilihan Gubernur DKI 2017 ia dianggap lebih lekat dengan kelompok konservatif.
Kedua, adanya kontroversi perebutan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang belum memudar hingga kini.
Pencawapresan Cak Imin dengan sendirinya membelah suara NU dan Jawa Timur ditambah dengan pencawapresan Mahfud MD. Kehadiran Mahfud MD memperbesar kemungkinan suara kelompok yang tak menerima Anies dan Cak Imin akan teralihkan kepada Ganjar Pranowo meski kelompok suara ini pun tak sepenuhnya menerima Mahfud MD.
Ilustrasi
Mahfud MD yang berasal dari Jawa Timur adalah orang NU meski bukan dari kalangan kiai atau Gus. Pada 2018, tokoh NU Said Aqil Siroj bahkan menyebut Mahfud MD bukan kader NU. Meski demikian, paling tidak Mahfud MD pernah menjadi orang kepercayaan Gus Dur saat Gus Dur menjadi presiden.
Narasi Gusdurian masih menjadi bagian penting untuk bisa menarik legitimasi ”menjadi NU tulen”. Sebagaimana juga Yahya Cholil Staquf yang menyebut visinya menjadi Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) adalah untuk menghidupkan Gus Dur.
Kultivikasi penerusan warisan pemikiran Gus Dur—terutama dalam hal toleransi beragama—masih memiliki daya pikat bagi pemilih.
Jokowi pada dua kali kontestasi pilpres memenangi daerah mayoritas non-Muslim karena didukung oleh kalangan Islam moderat yang menawarkan solusi toleransi agama dan janji menangani ekstremisme agama.
Politik tiga kaki
Pada Pilpres 2019, SBY mempraktikkan politik dua kaki. Partai Demokrat secara resmi mengusung pasangan Prabowo-Sandiaga Uno. Namun, SBY juga membiarkan elite Partai Demokrat mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Wakil Sekjen Partai Demokrat, Andi Arief, kala itu menyebut politik dua kaki ini atas perintah SBY dan sudah dapat restu dari Prabowo.
Seolah belajar dari pendahulunya itu, Jokowi kini terkesan mempraktikkan politik tiga kaki. Pada Juni lalu, Jokowi menyebut dirinya cawe-cawe atau ikut andil dalam proses politik Pilpres 2024.
Terlepas dari dipakai atau tidak data intelijen tersebut oleh Jokowi, kontestasi politik pasangan capres-cawapres di pilpres kali ini memiliki jaringan dengan Jokowi.
Bahkan, pada September, Jokowi membuat pernyataan yang cukup kontroversial bahwa dirinya memegang data intelijen soal arah dukungan partai politik. Pernyataan ini dikritisi banyak pengamat yang khawatir data intelijen tersebut rentan disalahgunakan untuk mengontrol proses politik yang berlangsung.
Terlepas dari dipakai atau tidak data intelijen tersebut oleh Jokowi, kontestasi politik pasangan capres-cawapres di pilpres kali ini memiliki jaringan dengan Jokowi.
Prabowo mendekatkan personanya sebagai penerus Jokowi bersama anak Jokowi sendiri. Ganjar dipromosikan oleh Jokowi, dan Jokowi pun masih menjadi kader PDI Perjuangan meski anak pertamanya menjadi cawapres dari capres Gerindra dan anak keduanya menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia.
Baca juga : Dialektika Berpolitik
Ubaidillah Peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya