Dinasti Politik dan Kultus Individu
Jika rakyat dan anggota kabinet sudah menganggap apa yang dikatakan Jokowi benar, di situlah terbentuk kultus individu.
Ketika putranya, Gibran Rakabuming Raka, diumumkan jadi calon wakil presiden dari Prabowo Subianto, bagaimana posisi Joko Widodo (Jokowi)?
Jokowi mengatakan, sebagai orangtua, dirinya mendoakan dan merestui anaknya. Namun, ia juga mendukung ketiga pasangan calon. Artinya, sebagai presiden, dirinya bersikap netral dan seharusnya demikian. Namun, pada 29 Mei 2023, di depan para pemimpin redaksi media massa nasional, Jokowi mengatakan dirinya akan cawe-cawe dalam Pemilu 2024.
Kalau pengertian cawe-cawe itu mengamankan pemilu agar berjalan lancar, tertib, dan damai, tentu bagus. Namun, jika cawe-cawe itu dimaknai membantu satu pasangan capres/cawapres melalui pengerahan segala sumber daya, itu sangat membahayakan demokrasi.
Cawe-cawe bisa bersifat negatif jika terkait dengan kultus individu. Kultus individu adalah menjadikan seseorang menjadi presiden seumur hidup. Wacana ”presiden tiga periode”, diikuti dengan ”menunda pemilu (selama mungkin), mengarah ke situ. Dengan kultus individu, seorang pemimpin dianggap selalu benar, tidak boleh dibantah, dan harus diikuti segala perintahnya.
Namun, jika cawe-cawe itu dimaknai membantu satu pasangan capres/cawapres melalui pengerahan segala sumber daya, itu sangat membahayakan demokrasi.
Kultus individu
Jokowi sudah memerintah hampir dua periode (sembilan tahun). Pada periode kedua, ia mengangkat lawan politiknya, Prabowo dan Sandiaga Uno, dalam kabinet sejak 2019. Akibatnya, kelompok oposisi menjadi sangat lemah. Tak ada lagi kritik keras dari parlemen, kecuali dari segelintir orang yang umumnya termasuk ”barisan sakit hati”, pejabat yang tak lagi terpakai. Sementara itu, Jokowi terus berkeliling Indonesia meresmikan infrastruktur yang selesai dibangun, seperti jalan tol.
Popularitas Jokowi sangat tinggi. Remaja dan anak kecil disediakan sepeda jika bisa menjawab teka-teki ”apa arti jauh di mata dekat di hati?”
Pada saat itulah terbentuk kultus individu. Semua pembantu Presiden akan mendengar dan melakukan apa yang diperintahkan Presiden. Terkesan rakyat akan mendukung bila Presiden Jokowi yang selesai masa jabatannya tahun 2024 diperpanjang jadi tiga periode. Celakanya, itu ditolak dengan tegas oleh Ketua Umum PDI Perjuangan (PDI-P).
Rakyat yang setiap hari menonton keberhasilan pembangunan infrastruktur oleh Presiden Jokowi semakin kagum dan akhirnya memuja sang Presiden. Jika rakyat dan anggota kabinet semuanya sudah menganggap apa yang dikatakan Jokowi benar, maka di situlah terbentuk kultus individu, pemujaan seseorang.
Golkar sudah memiliki calon wakil presiden, yaitu ketua umumnya, Airlangga Hartarto. PAN mencalonkan Erick Tohir, PBB memiliki Yusril Ihza Mahendra. Mengapa akhirnya mereka memilih Gibran? Penulis kira ini faktor kultus individu.
Ketua partai-partai itu mengatakan tegak lurus di bawah Presiden, bertindak sesuai arahan Presiden. Setelah memutuskan Gibran, Ketua Umum Golkar dan Ketua Umum Gerindra menghadap Presiden. Ini kultus individu terhadap Jokowi. Tentu dengan perhitungan bahwa para pemilih Jokowi yang berjumlah jutaan itu—termasuk para sukarelawan—juga akan mendengar suara dan perintah simbolis dari Jokowi.
Golkar sudah memiliki calon wakil presiden, yaitu ketua umumnya, Airlangga Hartarto. PAN mencalonkan Erick Tohir, PBB memiliki Yusril Ihza Mahendra. Mengapa akhirnya mereka memilih Gibran?
Sebetulnya sukarelawan merupakan organisasi sementara, dibentuk untuk keperluan tertentu dan bubar setelah tujuan tercapai. Secara logis, sukarelawan tidak ada lagi setelah Jokowi terpilih sebagai presiden (dua kali). Namun, ternyata, sukarelawan itu masih eksis dan terus dipelihara. Para pemimpinnya diganjar jabatan komisaris BUMN, bahkan menteri.
PDI-P, sebagai parpol besar, apakah menyadari tentang politik dinasti Jokowi? Pada level wali kota iya, tetapi tidak pada tingkat presiden. Menempatkan anak dan menantu Jokowi sebagai wali kota itu diakomodasi oleh PDI-P. Megawati Soekarnoputri sudah memberi rekomendasi (baca karpet merah) kepada keluarga Jokowi sebanyak tujuh kali.
Dua kali wali kota Solo, satu kali gubernur DKI, dan dua kali presiden RI kepada Jokowi. Selain itu, satu wali kota Solo kepada Gibran dan satu kali wali kota Medan kepada menantu Jokowi. Namun, merestui dan mendoakan anaknya menjadi calon (wakil) presiden, tidak terbayangkan oleh PDI-P.
Kenapa ini terjadi? Dugaan penulis, ini dimulai dari ulang tahun PDI-P tanggal 10 Januari 2023. Akhir Desember 2022, Ketua PDI-P Bambang Wuryanto mengatakan Stadion Utama Gelora Bung Karno tak boleh dipakai untuk acara HUT Partai Banteng oleh Menpora. Kenapa? Karena akan dipakai untuk pertandingan Piala Dunia U-20. Ini menimbulkan reaksi keras dari Megawati. Ketika HUT dipindahkan ke Expo Kemayoran, Ketua Umum PDI-P mengatakan, ”Pak Jokowi jangan mentang-mentang, ya.”
Kejengkelan ini diikuti pula oleh Gubernur Bali (Wayan Koster) dan Gubernur Jawa Tengah (Ganjar Pranowo) yang menolak kehadiran Israel pada Piala Dunia U-20. Akhirnya, laga sepak bola dunia itu tak jadi berlangsung di Indonesia.
Jokowi tentu tidak puas karena proyek andalannya, setelah Asian Games 2018, gagal.
Setelah kasus HUT PDI-P, Jokowi tampaknya tak ingin dicap sekadar sebagai ”petugas partai”, tetapi seorang presiden yang berkuasa penuh. Maka, muncul wacana ”presiden tiga periode” dan ”tunda pemilu” yang tak berhasil direalisasikan. Mei 2023, Jokowi mengatakan akan cawe-cawe dalam pemilu. Ia disinyalir berkepentingan agar program dan proyek yang sudah dibangunnya (seperti IKN Nusantara) dapat dilanjutkan oleh penggantinya.
Mengakhiri kultus individu
Kultus individu pernah terjadi pada masa lalu. Tap MPRS No 3/1963 menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Namun, ini hanya berlangsung selama dua tahun dengan meletusnya Gerakan 30 September 1965. Belakangan sebuah media memberitakan, Suhardiman mengakui bahwa tentara yang memprakarsai upaya tersebut untuk membendung golongan komunis. Jika diselenggarakan pemilu saat itu, PKI-lah yang akan menang.
Kultus individu dapat diakhiri bila dilakukan penyadaran publik. Seorang pemimpin seperti presiden, meski banyak prestasi dan jasa, juga manusia biasa yang tak luput dari kekeliruan. Itu sebabnya dilakukan pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua kali. Terjadi kultus individu bila rakyat memilih berdasarkan arahan atau petunjuk (simbolis) Presiden.
Seyogianya masyarakat diberi pemahaman untuk membaca rekam jejak capres (juga calon anggota parlemen). Dengan demikian dapat diketahui karier dan pengalaman seorang calon di dunia militer/sipil/swasta atau eksekutif/legislatif/yudikatif. Selain dari prestasi yang ditorehkan, dapat pula dilihat apakah yang bersangkutan pernah terlibat kasus korupsi atau pelanggaran HAM.
Baca juga : Penghapus Nilai Demokrasi Itu Bernama Dinasti Politik
Baca juga : Evolusi Dinasti Politik dan Pemilu 2024
Asvi Warman AdamProfesor Riset bidang Sejarah Sosial Politik BRIN