Banyak pihak berkepentingan dengan Laut China Selatan. Konflik bersenjata di laut itu akan memukul semua anggota ASEAN.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Salah satu ”titik panas” di muka bumi saat ini ialah Laut China Selatan. Konflik bersenjata dapat terjadi sewaktu-waktu di wilayah perairan tersebut.
Beberapa hari lalu terjadi insiden antara kapal China dan Filipina. Kapal penjaga pantai China serta kapal milisi maritim negara itu bertabrakan dengan kapal penjaga pantai Filipina dan kapal militer pemasok logistik.
Kejadiannya berlangsung di Beting Ayungin atau Karang Second Thomas, dekat Kepulauan Spratly, Laut China Selatan. China mengklaim serempetan berlangsung saat kapalnya berusaha menghalangi kapal Filipina yang tengah mengirim pasokan ke kapal Filipina lainnya di lokasi sengketa. Menurut Beijing, kapalnya telah bertindak sesuai dengan hukum.
Sebaliknya, Manila mengecam keras blokade yang dilakukan oleh kapal China. Manuver kapal China ini dinilai ”berbahaya, tak bertanggung jawab, dan ilegal”, serta sekaligus melanggar hak, kedaulatan, dan yurisdiksi Filipina.
Filipina memiliki pos di karang-karang di Laut China Selatan karena mengklaimnya sebagai wilayahnya. Di sisi lain, China juga mengklaim karang-karang itu sebagai teritorialnya. Insiden yang melibatkan kapal China dan Filipina sudah berkali-kali terjadi, seiring peningkatan ketegangan di antara keduanya di Laut China Selatan.
Laut China Selatan sangat krusial. Bagi China, laut ini menjadi jalur suplai 80 persen impor minyak dan gasnya. Konsekuensinya, Beijing harus memastikan perairan Laut China Selatan tetap aman sebagai jalur pengiriman minyak dan gas dari Timur Tengah serta Afrika.
Bagi dunia, Laut China Selatan juga sangat penting. Diperkirakan nilai perdagangan yang melewati area laut itu mencapai lebih dari 3,4 triliun dollar Amerika Serikat setahun. Jumlah ini setara dengan lebih dari seperlima nilai perdagangan global.
Dengan menggunakan argumen sejarah, China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan yang memiliki luas 3,5 juta kilometer persegi sebagai teritorialnya. Selain Filipina, negara Asia Tenggara yang memiliki sengketa perairan Laut China Selatan dengan China ialah Malaysia, Vietnam, dan Brunei.
Sikap Filipina berubah lebih keras kepada China setelah Presiden Ferdinand Marcos Jr berkuasa. Manila kini juga lebih mendekat ke Amerika Serikat. Filipina terang-terangan memperlihatkan kerja sama pertahanannya dengan AS.
Saling kecam antara Beijing dan Manila akibat manuver kapal kedua negara di Laut China Selatan menunjukkan potensi besar perairan itu untuk memicu konflik yang lebih luas. Situasi kian terasa kurang menggembirakan karena upaya ASEAN dan China membangun koridor bersama untuk mencegah konflik di Laut China Selatan tak kunjung rampung.
Banyak pihak sangat berkepentingan dengan Laut China Selatan. Negara-negara Asia Tenggara juga sangat bergantung pada wilayah perairan itu. Konflik bersenjata yang pecah di Laut China Selatan akan memukul semua anggota ASEAN.