Noda Celup Kampanye di Kampus
Sebagai penjaga konstitusi, MK harus tajam, tak ragu meluruskan pembengkokan aturan UU yang bertentangan UUD NRI 1945.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memang telah menjadi solusi atas pelaksanaan Pemilu 2019, tetapi sekaligus menyimpan masalah. Masalah muncul karena undang-undang ini memiliki banyak kelemahan sebagai aturan berkepastian hukum, sebab telah lebih dari 35 kali diajukan untuk diuji materi (judicial review) sejak diluncurkan.
Sebagian besar hasil judicial review telah memoroti eksistensi pasal-pasal UU yang mengompilasi tiga perundang- undangan sebelumnya itu (UU No 42/2008, UU No 15/2011, dan UU No 8/012). Muaranya, problem ”kecepatan” pengesahan memengaruhi kualitas sinkronisasi norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK).
Pertama kali judicial review dan paling dikenal adalah ketika UU Pemilu itu mencabut ketentuan di UU Pemerintahan Aceh Pasal 57 dan 60 Ayat (1), (2), dan (4) melalui ketentuan Pasal 557 Ayat (1) dan Pasal 571. Saat itu pemohon dari Aceh menggugat dan MK mengabulkan sebagian melalui putusan No 61/PUU- XV/2017 dan No 66/PUU-XV/ 2017 sehingga terlihat ada banyak cucuran larva panas dari produk politik ini.
Masalah kini muncul sejak MK mengabulkan sebagian tuntutan pemohon judicial review Pasal 280 Ayat (1) Huruf h UU Pemilu melalui putusan No 65/PUU/XXI/2023. Putusan MK menyatakan perluasan norma melalui penjelasan pasal atas batang tubuh adalah kekeliruan konstitusional.
Akhirnya MK memutuskan frasa baru: ”menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”.
Putusan MK menyatakan perluasan norma melalui penjelasan pasal atas batang tubuh adalah kekeliruan konstitusional.
Artinya, perluasan penjelasan pada UU Pemilu itu dalam Lembaran Negara No 182/2017 bertentangan dengan ketentuan 186 poin b UU No 12/2011 tentang Pembentukan Perundang- undangan karena penjelasan UU ”tidak boleh memperluas, mempersempit, atau menambah pengertian norma yang ada di batang tubuh”.
Putusan MK tentu tak salah. Sebagai penjaga konstitusi, MK harus tajam dan tak ragu meluruskan pembengkokan aturan UU yang bertentangan dengan UUD NRI 1945. Namun, diterimanya gugatan itu membuka polemik bagi penyelenggara pemilu (KPU), dan bagaimana Bawaslu dalam pengawasannya.
Saat tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah bisa dipakai untuk kampanye, meski tanpa umbul-umbul partai dan dengan eufimisme pendidikan politik, apa bisa dipastikan pelanggaran etik pemilu tak terjadi?
Memang MK memberi pengecualian pada tempat ibadah. Tak ada toleransi tempat ibadah sebagai tempat kampanye! Agresivitas politik bisa mengapitalisasi pesan-pesan teologis menjadi sumbu politik partisan dan pragmatis. Dengan kesadaran publik yang masih lemah mengabsorbsi informasi, dogma agama bisa menjadi ruang cerai-berai untuk tujuan politik identitas.
Pemilu 2024 bisa mengulang praktik politisasi agama dan politik identitas Pemilu 2014 dan 2019, serta Pilkada DKI 2017.
Hati-hati perbaiki PKPU!
Namun, membuka ruang ”pendidikan politik” bagi institusi pendidikan tinggi dan fasilitas pemerintahan juga mengandung political hazards. Harus ada perhatian sungguh-sungguh untuk tak membiarkan sekolah menengah jadi target kampanye. Ada ancaman ketika keran kampanye dibuka, dan rektor atau kepala dinas tak cukup cermat menggunakan kuasanya. Akan ada ketergelinciran berupa perdagangan pengaruh, aborsi kebijakan, dan ”tribalisme politik” sang pemimpin.
Bola panas akhirnya ada di KPU. Peraturan KPU (PKPU) No 15/2023 tentang kampanye relatif solid dijadikan rambu melarang ”apa, siapa, dan di mana diharamkan” berkampanye meskipun sistem kognisi PKPU masih juga ambigu.
Ambiguitas terlihat ketika mendefinisikan kampanye. Pasal 5 PKPU No 2023 menjelaskannya dengan nuansa platonis bahwa ”kampanye adalah wujud pendidikan politik yang dilaksanakan secara bertanggung jawab” dan ”pendidikan politik untuk meningkatkan partisipasi pemilih pada pemilu”.
Masalah tak selesai pada penjelasan ideal-platonik, tetapi pada realitas rasional-empiris, bahwa kampanye cenderung menjadi sublimasi agregasi peserta pemilu untuk mendapatkan suara. Tak ada urusan parpol mendesain civic education jika gagal mengakumulasi suara, baik untuk citra partai maupun calon peserta pemilu.
Maka, tak heran, dengan tingkat pendidikan publik yang masih rendah, kampanye menjadi ruang hipnoterapi, agresi oral, retorika, provokasi, dan manipulasi kesadaran pemilih.
Kita tentu masih ingat dengan kampanye di Aceh era lalu, saat ada peserta pemilu yang menjanjikan ”Aceh akan setara dengan Singapura dan Arab Saudi”, atau menyelesaikan masalah irigasi dengan ”menyembur air memakai helikopter”. Sesuatu yang berlebihan!
Dengan kesadaran publik yang masih lemah mengabsorbsi informasi, dogma agama bisa menjadi ruang cerai-berai untuk tujuan politik identitas.
Kegamangan akan dihadapi baik oleh KPU maupun Bawaslu ketika membuat demarkasi kampanye atau bukan. Demarkasi konsepsionalnya tidak merujuk pada penjelasan etimologis/konseptual, tapi pada kronologi waktu yang berkaitan dengan tahapan pemilu. KPU dengan mudah bisa beralibi, jadwal kampanye adalah 28 November 2023-10 Februari 2024. Di luar itu adalah sosialisasi.
Padahal, jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kampanye adalah ”kegiatan yang dilaksanakan oleh partai politik atau calon untuk mendapatkan dukungan massa pemilih pada suatu pemungutan suara”. Bandingkan dengan penjelasan terminologi sosialisasi, yaitu ”proses belajar seseorang untuk mengenal atau menghayati kebudayaannya”.
Ada definisi lain tentang sosialisasi, yaitu ”memasyarakatkan sesuatu agar dikenal, dipahami, dan dihayati masyarakat”, yang tak cocok dengan perilaku peserta pemilu yang sudah memasang baliho dan spanduk dengan nomor urut dan tanda partai.
Kita bisa melihat bagaimana ”sosialisasi” Partai Demokrat bersama dengan Anies Baswedan berubah 180 derajat ketika takdir politik berubah. Mereka harus segera mengubah ”haluan sosialisasi” karena itu berpengaruh pada elektabilitas partai. Mereka pun mendekonstruksi diksi-diksi yang digunakan. Lalu masih adakah beda antara sosialisasi dan kampanye?
Pada situasi ini diharapkan kesadaran pimpinan perguruan tinggi dan pejabat pemerintahan untuk memberlakukan etik perizinan terhadap kampanye peserta pemilu pada institusinya.
Jika mengharapkan kehadiran capres/cawapres, anggota legislatif dan senat, serta kepala daerah, untuk menjelaskan visi misi dan kerangka pikirnya, maka tak perlu difasilitasi oleh kampus. Beragam media digital dan siber bisa menjelaskan siapa yang maju ke panggung depan demokrasi elektoral itu.
Pada 2004 penulis terlibat serial diskusi politik Sadar Pemilu di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Kegiatan itu bertujuan memberikan pencerahan kepada publik tentang visi pihak yang berkontestasi di pemilu. Beragam pembicara diundang, tetapi batasannya jelas: semua pembicara tak terdaftar sebagai peserta pemilu. Abdurrahman Wahid yang juga diundang saat itu bukan Ketua PKB, dan tak menyebut satu kalimat pun tentang PKB.
Persoalannya, kini jika kampus dengan selimut kebebasan akademik mengundang peserta pemilu untuk membesarkan kansnya untuk bisa terpilih, maka alih-alih menguji pemikiran kritis, kampus justru bisa terjebak pada labirin baru: menolak akal sehat dengan polusi narasi yang diciptakannya.
Seperti dikatakan Otto von Bismarck, kampanye menjadi jalan kebohongan. Kalaupun ada kebenaran, maka akan dijalankan dengan semangat perompak yang jahat.
Teuku Kemal FasyaKepala UPT Bahasa, Kehumasan, dan Penerbitan Universitas Malikusaleh