Terima Kasih, Mahkamah
Terima kasih kepada MK karena MK telah membuka permasalahan dalam lembaganya. Seperti diungkapkan Wakil Ketua MK Saldi Isra yang menyatakan sungguh bingung mau mulai dari mana menyampaikan ”dissenting opinion”.
… Beri aku seribu orangtua nicsaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia… (Soekarno)
Kutipan Soekarno, proklamator negeri ini, tiba-tiba terngiang dalam benak saya dalam perjalanan balik dari Stasiun Tugu, Yogyakarta menuju Gambir, Jakarta, Minggu tengah malam. Akhir pekan lalu saya menepi ke Solo, Jawa Tengah, untuk acara reuni SMA dan menghadiri pernikahan rekan di Yogyakarta. Seperti biasa, dalam keluyuran ke daerah, saya selalu ngobrol dengan berbagai kalangan untuk merekam suasana kebatinan warga.
Solo memang sedang jadi magnet. Tema obrolan tak lepas dari peluang Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo, putra sulung Presiden Jokowi, untuk ikut serta dalam kontestasi Pemilu Presiden, 14 Februari 2024. Jalan melapangkan Gibran, berkontes dalam pemilu presiden, dikerjakan Mahkamah Konstitusi. Tentunya tidak hanya Gibran, tetapi juga kepala daerah lain yang punya peluang.
Baca juga: Mencari Batas Kebenaran Mahkamah Konstitusi
Paling tidak ada lima permohonan uji materi untuk melapangkan jalan Gibran dan kepala daerah lainnya. Ada yang mempersoalkan agar syarat usia capres-cawapres diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Ada yang meminta menambahkan, persyaratan berusia 40 tahun dan/atau berpengalaman sebagai kepala daerah. Syarat berpengalaman ini diajukan belakangan ketika syarat usia susah mencari argumentasi konstitusional.
Salah seorang pemohon untuk uji materi adalah Almas Tsaqibbirru Re, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta. Dalam permohonannya, Almas disebutkan bercita-cita menjadi presiden dan wakil presiden. Almas adalah pengagum Gibran. Dalam permohonannya ke MK disebutkan, ”… di dalam masa pemerintahan Gibran Rakabuming Raka tersebut, pertumbuhan ekonomi di Solo naik hingga angka 6,25 persen, yang mana saat awal ia menjabat sebagai wali kota, pertumbuhan ekonomi di Solo minus 1,74 persen.”
Saya tiba di Jakarta, Senin subuh. Mahkamah Konstitusi dijadwalkan akan memutuskan pada Senin 16 Oktober 2023, tiga hari jelang pendaftaran capres. Senin pagi, suasana menghibur. Satu per satu permohonan ditolak MK. Baru pada Senin sore, keguncangan politik terjadi. Permohonan Almas mengguncang dunia politik, sebagaimana pernah dikatakan Soekarno beberapa puluh tahun lalu.
Permohonan Almas dikabulkan ”peludah api”, meminjam istilah Satjipto Rahardjo. Putusan MK tidak bulat. Tiga hakim (Anwar Usman, Guntur Hamzah, dan Manahan Sitompul) berpendapat menerima permohonan Almas bahwa syarat capres 40 tahun dan atau pernah atau sedang menjabat kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilu. Dua hakim (Daniel Yusmic Pancastaki dan Enny Nurbaningsih) berpendapat syarat capres berusia 40 tahun dan atau pernah menjadi gubernur. Empat hakim (Saldi Isra, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo) menolak.
”Koalisi” dalam hakim MK berubah-ubah. Namun ”koalisi” Saldi, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, lebih sering berjalan seiring. Dulu pernah ada Aswanto. Namun, Aswanto di-recall Komisi III DPR dan digantikan Guntur Hamzah lewat proses yang secara hukum bermasalah. Dalam kasus permohonan soal pernah jadi kepala daerah, Guntur mengamini permohonan Almas.
Baca juga: Uji Materi Usia Capres-Cawapres dari Mahasiswa Gulirkan Bola Panas
Saya tidak tahu apakah Komisi III DPR kecewa dengan sikap Guntur? Karena Komisi III juga sebenarnya telah memberi karpet merah untuk Guntur. Apakah nanti Guntur juga akan di-recall DPR karena tidak nurut DPR? Seharusnya tidak terjadi karena putusan MK final dan mengikat dan hakim MK punya independensi. Tapi juga sebenarnya, akuntabilitas.
Manuver Almas luar biasa. Ketua umum partai politik yang sarat pengalaman harus duduk kembali menentukan sikap untuk menentukan siapa bakal cawapres Prabowo. Permohonan mahasiswa yang belum lulus dari Fakultas Hukum UNSA bisa membuat Wakil Ketua MK Saldi Isra secara terbuka menyatakan bingung dan sungguh bingung mau mulai dari mana menyampaikan dissenting opinion. Saldi sampai menggunakan teori diagram venn yang dikenal dalam dunia matematika untuk mempersoalkan sikap hakim MK yang berubah dalam hitungan hari. Saldi menutup dissenting-nya dengan kalimat, ”Saya sangat cemas dan khawatir Mahkamah sedang menjebak dirinya dalam pusaran politik dalam memutus political question yang pada akhirnya akan menentukan kepercayaan dan legitimasi pada Mahkamah sendiri.” Quo Vadis Mahkamah Konstitusi?
Sama halnya, Arief Hidayat yang mengungkapkan ”misteri” di balik putusan MK mulai saat pendaftaran permohonan, pencabutan gugatan, hingga memasukkan lagi gugatan. Semuanya bisa mulus. Menurut Arif, mendaftar, mencabut, dan mengajukan kembali menunjukkan pemohon tidak serius. Seharusnya MK mengabulkan permohonan penarikan permohonan.
Langkah hukum Almas mengalahkan langkah sahabat saya, Fadjroel Rachman, yang berulang kali mengajukan uji materi untuk hadirnya calon independen untuk pilpres. Semua tuntutan Fadjroel kandas di MK. Langkah Almas membukakan kesadaran warga negara untuk sadar akan hak konstitusionalnya untuk menggugat pasal dalam undang-undang yang dirasakan berlawanan dengan konstitusi.
Meski putusan MK dikecam, hakim dilaporkan ke Majelis Kehormatan yang sudah diamanatkan UU, tetapi belum diwujudkan MK. Saya berterima kasih kepada MK, khususnya hakim konstitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat. Kedua hakim itu telah membuka apa yang sebenarnya terjadi di dalam ruang gelap negosiasi di MK. Dan, dari mereka, publik bisa menangkap MK bukan lagi semata-mata sebagai the guardian of constitution, melainkan juga mengamankan kepentingan politik melalui jalur demokrasi konstitusional. Putusan ditetapkan dulu, argumentasi baru dicarikan. Ini model era autocratic legalism (Kim Lane) atau malah vetocracy sebagaimana dikatakan Francis Fukuyama yang bisa mengakibatkan pembusukan politik atau disfungsi politik. Pemilik veto seakan menentukan segalanya.
Baca juga: MK Didesak Bentuk Majelis Kehormatan dan Anwar Usman Diminta Mundur
Terima kasih kepada MK karena putusan MK telah membangunkan masyarakat sipil yang lama tertidur. Munculnya Deklarasi Juanda, munculnya berbagai petisi dari aktivis, akademisi, untuk mengawal demokrasi konstitusional. Masyararakat sipil dibutuhkan untuk mengimbangi tren penguatan koalisi bisnis dan politik. Masyarakat sipil dibutuhkan untuk mengimbangi narasi publik. Terima kasih kepada MK karena MK telah membuka permasalahan dalam lembaganya sehingga masyarakat sipil dan tentunya para capres bisa mengidentifikasi masalah yang ada dan ikut membenahinya.
Permasalahan di institusi hukum menjadi salah satu pekerjaan rumah yang harus dibereskan capres-cawapres, apakah itu Anies Baswedan, Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo, Mahfud MD, dan Prabowo Subianto.