Relawan Tanpa Kerelaan
Relawan politik bukan parpol. Mereka bergantung pada klaim kedekatan personal dengan penguasa, dan klaim mesin politik yang dimiliki.
Kita tak bisa mungkiri, keberhasilan Joko Widodo (Jokowi) mendapatkan kursi kepemimpinan nasional pertama kali pada 2014 banyak didukung oleh kerja para relawan politik, baik yang terorganisasi maupun individual.
Dalam perjalanannya, ia terus merawat kelompok relawan pendukungnya untuk melakukan kerja-kerja politik. Ia bahkan menempatkan ketua umum Pro Jokowi (Projo), kelompok relawan terbesarnya, jadi bagian dari kabinet pemerintah.
Fenomena relawan politik memang tak unik milik Indonesia saja. Sosok yang populis dan menjanjikan perubahan pada politik kepartaian yang dirasa stagnan menjadi daya tarik tersendiri bagi gerakan relawan di iklim demokrasi.
Kita masih ingat pada 2017, bagaimana Emmanuel Macron muncul ke permukaan sebagai Presiden Perancis dengan mengandalkan relawan politik bernama En Marche!, yang dibentuk hanya satu tahun sebelum pemilu. Pada akhirnya, gerakan ini bermetamorfosa menjadi partai politik dan memenuhi parlemen Perancis.
Saat ini, partai yang berganti nama menjadi Partai Renaissance ini masih menjadi partai dengan perolehan kursi terbanyak di parlemen Perancis dengan memosisikan diri sebagai partai tengah.
Sosok yang populis dan menjanjikan perubahan pada politik kepartaian yang dirasa stagnan menjadi daya tarik tersendiri bagi gerakan relawan di iklim demokrasi.
Kedua presiden ini memang datang dari dua negara dengan kultur, sejarah, dan tingkat demokrasi yang berbeda. Namun, ada perbandingan menarik yang dimiliki Jokowi dan Macron dalam konteks hubungan dengan relawan. Keduanya sama-sama memanfaatkan jerih payah relawan untuk memberikan mereka kekuasaan, tetapi cara keduanya mengelola gerakan besar itu setelah terpilih sangat berbeda.
Faktor pembedanya sedikit banyak berhubungan dengan sejarah politik kedua tokoh dan faktor institusi politik.
Perbedaan pertama, meski dianggap sebagai pembaru politik di Indonesia, terutama dengan gaya blusukan yang menjadi trademark, Jokowi datang bukan sebagai orang luar partai, melainkan seorang kader. Berbeda dengan Macron, yang meski bagian dari kabinet pemerintahan Perancis sebelumnya, ia relatif ”orang luar” dari partai politik dominan di sana.
Faktor ini yang membuat Jokowi tetap identik dengan partainya, yakni PDI-P, sedangkan Macron memiliki insentif untuk membangun organisasi politiknya sendiri.
Transformasi relawan
Perbedaan kedua sangat berkaitan dengan yang pertama. Macron memilih melembagakan gerakan relawan politiknya menjadi parpol baru. Ini langkah rasional dan tepat, menimbang kebutuhannya untuk mengelola suara di parlemen untuk kepentingan politiknya. Momentum dukungan politik yang begitu besar—karena kekecewaan masyarakat atas partai-partai lama di Perancis—memberi kemudahan bagi partai Macron menjadi yang paling dominan dalam waktu singkat.
Melembagakan relawan menjadi partai baru bukan pilihan ideal bagi Jokowi maupun bagi gerakan itu sendiri. Satu alasan rasional, selain karena merupakan kader partai, Jokowi sudah memiliki dukungan parpol yang cukup di parlemen.
Suasana deklarasi relawan Amanat Indonesia (ANIES) di Gelora Bung Karno, Jakarta, yang memberikan dukungan kepada Anies Baswedan dalam pencalonan presiden 2024, Minggu (7/5/2023).
Tak ada insentif bagi Jokowi untuk memiliki partai sendiri, layaknya Macron. Selain itu, batas waktu kekuasaan juga menjadi disinsentif untuk melembagakan relawan menjadi partai baru. Jokowi sudah akan menghabiskan periode terakhirnya sebagai presiden sehingga tidak ada lagi insentif untuk terpilih kembali bagi dirinya. Hal yang ia butuhkan lebih pada memastikan pemerintahannya berjalan stabil hingga akhir periode.
Dan ini mendorongnya memelihara mesin politik yang bergerak fleksibel. Dengan kata lain, relawan bertransformasi menjadi broker politik.
Namun, ada satu hal yang luput dari cara pandang kita melihat relawan politik. Akses pada kekuasaan dan sumber daya menjadi insentif baru yang dibuka oleh Jokowi sendiri untuk kelompok relawan politik, tanpa mereka perlu berkontestasi secara elektoral layaknya parpol. Dengan kata lain, candu justru terus akan mendorong relawan politik terlibat aktif, dengan atau tanpa dorongan dari aktor utama yang menjadi cikal bakal gerakan itu lahir.
Situasi ini tercipta karena pilihan politik akomodatif yang dilakukan Jokowi sendiri. Akses yang dinikmati kelompok relawan politik pada kekuasaan jadi alasan cukup kuat bagi aktor-aktor nonpartai lain untuk terlibat lebih dalam di arena politik praktis, dengan harapan bisa mendapatkan dan memanfaatkan akses terus-menerus.
Alasan mengapa relawan politik Jokowi begitu mendapat perhatian tak lain karena kesulitan para elite maupun publik menerka arah politik Presiden.
Terlalu banyaknya partai yang tergabung di pemerintahan menciptakan kebingungan elite dengan begitu banyaknya klaim politik yang bisa dimainkan. Terlebih sebagai seorang presiden, Jokowi tentu perlu menempatkan diri secara proporsional bagi tiap kelompok dan golongan, termasuk partai.
Akses pada kekuasaan dan sumber daya menjadi insentif baru yang dibuka oleh Jokowi sendiri untuk kelompok relawan politik, tanpa mereka perlu berkontestasi secara elektoral layaknya parpol.
Pada titik itulah relawan politik menjual narasi sebagai kelompok yang memiliki legitimasi politik paling kuat untuk mengatasnamakan diri sebagai representasi Jokowi. Persoalannya kemudian ialah apakah pola ini akan bertahan lama dan sehat untuk demokrasi kita?
Saya rasa tidak. Alasan pertama, karena legitimasi relawan politik sangat bergantung pada popularitas Jokowi. Karena itu, ketika Jokowi tidak lagi relevan secara politik, daya tawar mereka pun akan hilang.
Ketika legitimasi itu hilang, praktis akses kepada kekuasaan pun akan tertutup dan seutuhnya kembali pada partai, kelompok bisnis, dan teknokrat. Relevansi mereka pun akan sangat bergantung pada apakah elite lain mau mengadopsi mereka.
Selain itu, para relawan yang menjual citra Jokowi justru akan menyeret Presiden ke kontroversi tak produktif. Gerakan relawan yang tak terkontrol akan membahayakan stabilitas pemerintahan dengan melukai citra pemerintahan itu sendiri.
Ketiga, pola yang ada sekarang bukan tidak mungkin akan melemahkan tujuan bersama untuk melembagakan politik di Indonesia. Akomodasi gerakan relawan yang berlebihan akan menciptakan disinsentif politik kepartaian. Untuk mendapatkan ceruk kekuasaan, orang akan mencari cara-cara non- parlemen dengan menjual klaim tanpa bertarung pada politik elektoral yang sehat.
Terakhir, bagaimanapun kelompok relawan politik bukanlah parpol. Selain bergantung pada klaim kedekatan personal dengan penguasa, mereka juga bergantung pada klaim mesin politik yang dimiliki. Persoalannya, keduanya sulit untuk kita terka maupun justifikasi.
Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan dalam acara pembukaan Rakernas VI Projo di Indonesia Arena, Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (14/10/2023).
Indahnya kekuasaan tak hanya menggiurkan mereka yang berada di atas, tetapi juga mereka yang menikmati dari pinggir-pinggir panggung. Ketika demokrasi membantu kita memastikan bahwa sang penguasa akan turun dari panggung, cepat atau lambat, tak ada yang bisa memastikan bahwa pendukungnya rela meninggalkan kenyamanannya.
Untuk itu, selagi bisa, para entrepreneur politik akan memanfaatkan legitimasi yang masih tersisa untuk mengamankan kenyamanan mereka.
Berikut sebuah penggalan pembicaraan dari dua tokoh favorit penulis dalam kisah fiksi the Game of Thrones.
Sambil mengangkat pialanya yang berisi anggur merah, Varys berkata kepada Tyrion Lannister, ”Kekuasaan berada pada tempat di mana kita percayai mereka ada. Seseorang yang sangat kecil dapat menghasilkan bayangan besar pada dinding.” Tyrion, si kerdil itu, terdiam dan memilih hanya meneguk anggur yang ada di pialanya.
Edbert Gani SuryahudayaPeneliti CSIS. Mahasiswa PhD di Political Science, University of Toronto, Kanada