Perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan terhadap anak. Praktik ini bisa menjerumuskan anak ke masalah lebih kompleks.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Alih-alih jalan keluar mengatasi masalah ekonomi dan sosial, perkawinan anak justru menjerumuskan anak-anak ke permasalahan lebih kompleks.
Kasus B (17) membakar istrinya, ANH (15), di Sei Bilah, Sumatera Utara, awal Oktober 2023, menjadi pembelajaran bagi kita. Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) rentan terjadi pada mereka yang menikah di usia anak karena belum siap membangun rumah tangga, belum matang secara emosi. Komnas Perempuan (2021) mencatat enam bahaya perkawinan anak. Selain kekerasan dan perceraian: anak perempuan yang menikah lebih rentan mengalami KDRT dan perceraian; mereka juga empat kali lebih rentan tidak dapat menyelesaikan pendidikan.
Dari aspek kesehatan, perkawinan usia anak memicu kematian ibu, baik akibat melahirkan maupun risiko tinggi kanker serviks, memicu angka kematian bayi, dan meningkatkan risiko tengkes. Kerugian ekonomi akibat perkawinan anak diperkirakan mencapai 1,7 persen dari PDB. Penyebabnya, kesempatan anak berpartisipasi dalam bidang sosial dan ekonomi terhambat.
Perkawinan anak di Indonesia termasuk tinggi, berdasarkan data Unicef (2022), menempati peringkat ke-8 di dunia dan ke-2 di ASEAN. Data Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia yang dipublikasikan pada 2020 menyebutkan, 1.220.900 anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun.
Data BPS menunjukkan, proporsi perempuan berumur 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun pada 2022 mencapai 8,06 persen. Pemerintah menargetkan, angka itu turun menjadi 6,94 persen pada 2030. Paling tidak, tiga tahun terakhir, proporsi itu menurun, 10,35 persen pada 2020 dan 9,23 persen pada 2021, tetapi tergolong lambat.
Amendemen Undang-Undang Perkawinan yang menaikkan batas minimal usia menikah menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan belum signifikan mencegah perkawinan anak. Data pengadilan agama menunjukkan, permohonan dispensasi perkawinan anak (Pasal 7 UU Perkawinan) tinggi, mencapai 65.000 pengajuan pada 2021 dan 55.000 pada 2022.
Masih banyak orangtua mengizinkan bahkan mendorong anak yang belum berusia 19 tahun untuk menikah. Pertimbangan meringankan beban ekonomi keluarga dan menghindari pergaulan bebas atau karena anak sudah hamil menjadi alasan orangtua menikahkan anak mereka yang belum genap 19 tahun. Padahal, menikah bukan solusi untuk mengatasi permasalahan itu. Banyak orangtua, bahkan masyarakat umum, tak menyadari perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan terhadap anak dan praktik sangat berbahaya bagi anak dan generasi selanjutnya.
Maka, memberikan pemahaman kepada orangtua mengenai bahaya dan dampak perkawinan anak perlu diprioritaskan. Anak-anak pun harus diberi pemahaman serupa. Upaya ini perlu dilakukan secara sistemik dan terpadu, melibatkan pemangku kepentingan ekonomi, sosial, kesehatan, dan pendidikan.