Perkawinan anak menghancurkan masa depan anak dan menghadirkan kekerasan berlapis saat menjalani perkawinan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Kasus suami membakar istri yang terjadi di Kelurahan Sei Bilah, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara, pada awal Oktober 2023, menjadi alarm dan pembelajaran berharga bagi masyarakat di Tanah Air. Pasalnya, ANH (15) yang menjadi korban dan B (17), terduga pelaku, keduanya merupakan anak-anak yang menjadi korban perkawinan anak.
Ketidaksiapan mereka membangun rumah tangga, menjadi suami istri dan orangtua dalam usia yang masih anak-anak, memicu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan berlapis. Pada usia yang masih sangat belia, korban ANH yang merupakan anak yatim piatu dinikahkan dengan B melalui perkawinan siri. Dari perkawinan tersebut, mereka memiliki anak yang kini berusia tiga bulan.
Tindak pidana dalam bentuk KDRT diduga dilakukan B karena dipicu rasa cemburu dengan korban yang diduga menjalin hubungan asmara dengan laki-laki lain. Sebelum peristiwa tersebut terjadi, keduanya telah berpisah selama seminggu.
Kekerasan yang dilakukan B berawal ketika dia menemui ANH di rumah E (teman korban), Kamis (5/10/2023). Keduanya terlibat pertengkaran. B kemudian menyuruh anak E membeli bensin, lalu menyiramnya ke tubuh ANH. Setelah itu, B melemparkan rokok ke arah tubuh ANH sehingga menyulut api yang membakar beberapa bagian tubuh ANH.
Akibat peristiwa tersebut, ANH mengalami luka bakar di bagian wajah, telinga, leher, hingga ke bagian dada dan kedua tangan, serta paha sebelah kiri. Seusai melakukan aksi, B melarikan diri. Adapun korban ditolong E dan warga sekitar dengan membawa dia ke puskesmas terdekat.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa pasangan suami istri berusia anak-anak ini menjadi pelajaran berharga. Ketidaksiapan keduanya menjalankan peran sebagai suami istri dan orangtua memicu timbulnya konflik di antara mereka.
”Perkawinan anak, apa pun itu, adalah sebuah kekerasan karena di usia anak di bawah 20 tahun. Mestinya anak belum mempunyai tanggung jawab untuk membangun keluarga, merawat anak, belum lagi urusan seksual,” ujar Ika Putri Dewi, psikolog dari Yayasan Pulih, Senin (16/10/2023).
Bahkan, kematangan seksual, menurut Ika, tidak sekadar berarti anak-anak sudah siap melakukan aktivitas seksual, termasuk menghadapi risiko seperti hamil, mempunyai anak, dan menjadi orangtua.
Maka, ketika seorang anak dipaksa memasuki jenjang perkawinan, itu merupakan pelanggaran hak anak dan menghambat proses tumbuh kembangnya. Saat menikah, mereka akan kehilangan hak sebagai anak dan dipaksa bertanggung jawab sebagai suami dan istri serta orangtua.
Dalam memasuki kehidupan perkawinan, orang yang matang atau dewasa saja membutuhkan adaptasi ketika menikah, apalagi masih anak-anak.
Apa yang terjadi dengan ANH dan B menunjukkan ketidaksiapan mereka menjalani kehidupan perkawinan sehingga mereka rentan mengalami tantangan dan berbagai risiko. Termasuk rentan menjadi korban kekerasan, khususnya perempuan.
”Dalam memasuki kehidupan perkawinan, orang yang matang atau dewasa saja membutuhkan adaptasi ketika menikah, apalagi masih anak-anak. Ini tentu menjadi sumber stres yang sangat kuat dan bisa mengganggu kesehatan mental. Dan, kalau stres tidak terkelola, secara modalitas, mereka belum siap menjadi ayah dan ibu,” kata Ika.
Layanan pemulihan
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar menegaskan, pemerintah memberikan perhatian khusus atas kasus tersebut karena baik korban maupun terduga pelaku sama-sama masih berusia anak.
Hingga Senin (16/10/2023), Kementerian PPPA terus berkoordinasi dengan Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPPA) Kabupaten Langkat untuk menangani kasus tersebut.
”Saat ini langkah yang harus dilakukan adalah memastikan korban dan anak korban mendapatkan layanan yang dibutuhkan. Hasil koordinasi kami dengan tim dari UPTD PPPA Kabupaten Langkat, diketahui korban masih dalam perawatan intensif dan anak korban yang masih bayi berada dalam pengasuhan keluarga atau kerabat korban,” ujar Nahar.
Kasus tersebut, menurut Nahar, saat ini sedang ditangani Kepolisian Resor (Polres) Kabupaten Langkat. Adapun korban, selain mendapat perawatan intensif di RSU Adam Malik Medan, juga akan diberikan pendampingan psikologis setelah luka fisiknya pulih.
Terkait dengan proses hukum terhadap B, Kementerian PPPA berharap B segera ditangkap dan diproses hukum. Namun, karena B masih berusia anak, kepolisian diminta menerapkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dalam kasus tersebut.
Meskipun keduanya sudah menikah, Nahar menegaskan, baik korban maupun terduga pelaku masih dikategorikan anak sehingga peraturan yang digunakan sesuai dengan aturan yang mengatur secara khusus mengenai anak.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 tahun dan juga anak dalam kandungan, tanpa kecuali apakah sudah kawin atau belum.
Risiko berlapis
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah menegaskan, kasus yang menimpa ANH menunjukkan kerentanan dan risiko yang berlapis bagi pasangan yang menikah di usia anak.
”Karena situasi dan kondisi psikologi yang sangat berat yang tidak mampu mereka hadapi menyebabkan terjadinya KDRT dan berbagai kekerasan yang berujung pada tindakan fatal. Itu sesuatu yang sangat mudah terjadi pada anak-anak yang di usia seperti itu,” kata Ai Maryati.
Atas kasus tersebut, KPAI mengapresiasi gerak cepat yang dilakukan UPTD PPA Kabupaten Langkat. Selanjutnya KPAI juga akan melakukan pengawasan kasus tersebut, termasuk terhadap anak dari pasangan tersebut yang masih berusia balita agar mendapat perlindungan optimal.
Untuk proses hukum terhadap terduga pelaku, Ai Maryati menegaskan, KPAI sepakat karena usianya di bawah 18 tahun, maka tetap berlaku Sistem Peradilan Pidana Anak. Di sisi lain, KPAI mengimbau semua pihak untuk belajar dari kasus tersebut. Sebagai anak, mereka mengalami risiko berlapis, ketika dinikahkan di usia anak, dan tidak dicatatkan karena perkawinan siri.
”Kasus ini harus menjadi pembelajaran penting bahwa perkawinan anak kerap melahirkan situasi kekerasan dan kerentanannya berkali lipat bagi anak-anak yang menjalankan biduk rumah tangga,” tegas Ai Maryati.