Pemimpin Republik
Fungsi utama pemimpin republik memastikan terselenggaranya keadilan. Untuk sementara melepaskan diri dari urusan bisnis dan harta keluarga.
”Politik itu bukan semata-mata teknik berkolaborasi untuk berkuasa atau taktik untuk merebut hati rakyat sebagai pemilik kedaulatan, tetapi politik juga etika untuk mengabdi bagi kemanusiaan dan persaudaraan.”
Demikian prinsip etika politik Johannes Leimena (1905-1977) yang ternukil dalam kata pengantar untuk buku filsuf Inggris Bertrand Russell (Kekuasaan, 2019: xxviii). Bagi salah satu pendiri Republik Indonesia ini, politik adalah sebuah jalan pengabdian.
Yang disebut-sebut sebagai hiruk-pikuk dan kegembiraan politik menyongsong pemilu tahun depan jangan-jangan menyembunyikan pembusukan proses demokrasi, sebab segala cara sedang dipakai hanya untuk memenangi hati rakyat demi bisa berkuasa. Dan, 20 abad silam, Cicero (106-43 SM) dalam De Republica menyebut jika sampai Republik Romawi (Res publica Romana) roboh, itu akan menjadi sebuah tragedi besar.
Republik Romawi
Dari vilanya di Cumae (19 kilometer barat Napoli), sang mantan konsul itu bersurat kepada Quintus. Ditemani pemandangan indah di pesisir selatan Italia, ia memberi tahu adiknya bahwa ia sedang berusaha menyelesaikan sebuah risalah politik yang dulu pernah ia sebut. Topiknya cukup berat dan penulisannya ternyata melelahkan, tetapi layak dikerjakan. Seandainya ia gagal menulisnya, tulisan itu akan dibuangnya ke laut.
De Republica ditulis menjelang tamatnya riwayat Republik Romawi (509-27 SM), bentuk lanjutan Kerajaan Romawi. Konsul semasa republik merupakan jabatan politik tertinggi. Setiap tahun dua konsul dipilih untuk jabatan setahun, satu sama lain memiliki hak veto atas keputusan konsul pasangannya.
Faktor eksternal perang saudara memang mengakhiri riwayat republik, tetapi faktor internalnya adalah soal moral, yakni robohnya etika bernegara.
Faktor eksternal perang saudara memang mengakhiri riwayat republik, tetapi faktor internalnya adalah soal moral, yakni robohnya etika bernegara. Dalam seabad terakhir usianya, republik hanya tinggal nama dan sudah hilang substansinya. Para jenderal sibuk menumpuk kekayaan; loyalitas prajurit dibeli dengan tanah dan harta (Russell, Kekuasaan).
Biasanya definisi modern untuk negara adalah jika keempat elemen berikut terpenuhi. Ada wilayah teritorialnya, rakyatnya, pemerintahannya yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain.
Namun, semua itu baru luaran suatu negara, belum jati dirinya (cita-cita bernegara). Dalam pemahaman Cicero, negara adalah sekumpulan manusia dan komunitas yang satu sama lain terhubung oleh keadilan.
Negara ada untuk membahagiakan rakyat, agar makmur dan menjadi bangsa berkarakter. Kehidupan berbangsa yang baik itu mustahil tanpa negara yang tertata baik dan itu berkah terbesar bagi rakyat. Tujuan membahagiakan rakyat itu akan gagal terutama oleh korupsi dalam dua bidang. Pertama, korupsi dalam pemilihan pemimpin republik (sehingga yang terpilih bukan negarawan). Kedua, korupsi dalam putusan pengadilan (sehingga keadilan dibelokkan).
Cicero pun heran mengapa orang hanya dihukum dalam perkara suap, sementara para ahli hukum dan politisi yang fasih bicara juga mengorupsi pemilihan dan putusan pengadilan, tetapi mereka mendapat tepuk tangan pujian. Padahal, korupsi mereka itu lebih berbahaya. Orang jujur tidak bisa ditaklukkan oleh suap, tetapi oleh kefasihan bicara dan argumentasi.
Supriyanto
Dalam dua bab terakhir dari keenam bab De Republica, Cicero berbicara tentang sifat organisasi politik, keadilan di masyarakat, dan kualitas sejati seorang negarawan (statesman). Fungsi utama pemimpin republik adalah memastikan terselenggaranya keadilan, pemerintahan yang berbasis keadilan. Untuk itu, sang pemimpin untuk sementara waktu harus melepaskan diri dari urusan bisnis dan harta keluarga. Ia juga harus paham hukum, tapi secukupnya saja, tanpa jadi seorang ahli, untuk menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara keadilan.
Republik Indonesia
Para pendiri republik kita tergolong terpelajar, kaum yang sudah adil dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 77). Mereka terdidik dalam literasi demokrasi yang berkembang di Barat. Dengan sadar, mereka mencantumkan kata ”adil” lima kali hanya dalam empat alinea singkat Pembukaan UUD 1945. Preambul itu biasanya dipahami sebagai maklumat dasar pembentukan Republik Indonesia (staatsidee).
Alasan deklarasi kemerdekaan adalah penjajahan ”tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” (Alinea I). Republik pun akan disusun di atas prinsip ”kemanusiaan yang adil dan beradab ... keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (Alinea IV). Republik ke dalam harus ”adil dan makmur” (Alinea II), ke luar ”ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan ... keadilan sosial” (Alinea IV).
Karena itu, Pasal 1 UUD 1945 mendefinisikan republik sebagai ”negara hukum” (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machsstaat). Alih-alih hukum kolonial yang memihak penguasa, yang dimaksud adalah ”hukum yang demokratis” (Pasal 28), karena ”kedaulatan berada di tangan rakyat” (Pasal 1).
Hukum harus ”demokratis”, menghormati aspirasi rakyat, tidak mencederai rasa keadilan masyarakat, sehingga akhirnya memuliakan rakyat.
Ke luar berhadapan dengan negara lain, diksinya adalah kedaulatan negara (Pasal 30). Ke dalam berhadapan dengan rakyat sendiri, diksi negara adalah kedaulatan rakyat (Alinea IV & Pasal 1). Jika dihadapi dengan diksi kedaulatan negara, rakyat akan selalu kalah, tidak hanya oleh sepatu lars dan laras senjata, tetapi juga oleh hukum yang dibuat dan ditafsir sesuai kehendak penguasa.
Fungsi utama pemimpin republik adalah memastikan terselenggaranya keadilan, pemerintahan yang berbasis keadilan. Untuk itu, sang pemimpin untuk sementara waktu harus melepaskan diri dari urusan bisnis dan harta keluarga.
Kepemimpinan Republik
Adil itu jati diri Republik. Alih-alih mencegah pragmatisme bernegara dalam legislasi (undang-undang sapu jagat), yang menyimpan api ketidakadilan dalam sekam, Mahkamah Konstitusi kita terbawa permainan politik kekuasaan, memasuki domain legal pembentuk UU, jauh dari rasa keadilan masyarakat. Lembaga eksekutif dan legislatif menitipkan hakim konstitusi untuk membela produk legislasi mereka.
Indonesia harus adil tidak hanya dalam hukum, tetapi juga dalam praktik bernegara. Kenyataannya, Republik masih jauh dari hukum yang berkeadilan. Penyebabnya adalah ekonomi sebagai panglima dan pragmatisme bernegara. Perilaku koruptif elite politik di lingkaran kekuasaan pun lebih merajalela seiring merosotnya marwah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Semua pemimpin Republik hendak menyejahterakan rakyat. Jalan kesejahteraan pasca-Soekarno adalah investasi asing yang kini semakin dibuka seluas- luasnya. Negara melakukan pembangunan dengan pendekatan father knows best. Rakyat yang terdampak pembangunan dengan jalan investasi berhadapan dengan kekuatan besar yang tak bisa dilawan, siap merelokasi atau menggeser mereka demi hukum.
Di banyak pusat pertambangan dengan investasi padat modal dan berteknologi tinggi, janji kesejahteraan bagi warga lokal di sekitar akhirnya cuma mimpi kendati pendapatan asli daerah meningkat. Warga lokal tak (diper)siap(kan) mengakses lapangan kerja yang tersedia, ditambah dengan investasi padat modal dan berteknologi tinggi. Malangnya, mereka telanjur meninggalkan mata pencarian tradisional (berkebun, melaut) karena iming-iming janji kesejahteraan.
Rezim investasi menyebabkan konflik lahan berkelanjutan sampai sekarang. Tahun lalu saja ada 212 kasus. Dua hari sekali terjadi konflik agraria. Yang terakhir mengemuka secara nasional adalah Rempang dan Seruyan. Rakyat sudah hidup tenteram menyatu dengan tanah warisan leluhur, bahkan sebelum Republik ada. Tiba-tiba mereka berurusan dengan negara yang selama ini hadir secara minimalis, tetapi kini menilai tanah mereka secara ekonomis.
Ilustrasi
Rakyat yang tergilas pembangunan pun dicekam ketakutan, bak hidup dalam republic of fear, meminjam istilah dari Kanan Makiya (1998), akademisi keturunan Irak. Alih-alih keadilan dan kesejahteraan, rasa takut menyebar. Ini bukan wajah Republik yang kedaulatannya berada di tangan rakyat. Alih-alih bersama rakyat, negara membangun bersama investor dengan rakyat sebagai penerima kompensasi atau ganti rugi/untung. Pemerintah kita miskin inovasi pembangunan dan hanya menjadi agen kapitalis (domestik, asing).
Jepang adalah sebuah contoh negara maju yang mampu memelihara dan memberdayakan tradisi sehingga menjadi sebuah daya tarik wisata mancanegara. Nakamura Tokichi, di Uji, Kyoto, asalnya hanya sebuah kedai teh pada 1854, tetap sederhana sampai sekarang. Namun, orang rela antre lebih dari satu jam hanya untuk duduk menikmati berbagai produk jajanan dari bahan matcha (teh hijau), selain pohon pinus berusia 200 tahun di tamannya.
Kesederhanaan dan tradisi melaut warga Rempang seyogianya diberdayakan pemerintah dengan sedikit sentuhan teknologi modern, menaikkan tingkat penghidupan mereka. Pulau itu menjadi sebuah destinasi wisata untuk memperlihatkan kepada dunia bagaimana tradisi melaut bisa bertahan lebih dari satu abad, bahkan inovatif. Setelah itu, bangunlah pulau itu bersama warga lokal, tidak membiarkan mereka tersisih atau jadi penonton.
Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta