Ilusi Kedaulatan Pangan
Begitu besar dampak buruk kerawanan pangan dalam kehidupan masyarakat, sudah seharusnya pemerintah bersama para pengambil kebijakan publik berkomitmen serius mengembangkan sistem dan kebijakan kedaulatan pangan.
Ilustrasi
Presiden Joko Widodo mengingatkan kemungkinan akan terjadinya kerawanan pangan. Perubahan iklim dan fenomena El Nino menjadi tantangan nyata yang bisa menurunkan, bahkan menggagalkan, produksi tanaman pangan.
Sebelumnya, Kepala BMKG Dwikora Karnawati juga mengingatkan hal yang sama. Ditambah lagi krisis geopolitik dunia perang Rusia dengan Ukraina yang menghambat distribusi bahan pangan global. Indonesia sebagai negara yang belum berdaulat pangan terkena dampaknya.
Situasi ini diperburuk dengan kenyataan bahwa kebutuhan pangan Indonesia sangat tergantung pada pasar impor. Sementara laju pertambahan penduduk tidak diimbangi dengan kemampuan dalam negeri untuk menyediakan pangan yang cukup bagi warganya.
Enam dari sembilan bahan kebutuhan pokok harus dicukupi dari negara lain. Dalam 11 tahun terakhir, rakyat Indonesia telah menghabiskan sekitar Rp 1.272 triliun hanya untuk belanja beras, susu, bawang, garam, daging, dan gula dari pasar internasional. Ini ironis untuk Indonesia sebagai negara agraris.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan, angka kelaparan Indonesia tahun 2022 sebesar 5,9 persen atau sekitar 16,2 juta orang.
Krisis pangan ini sangat serius. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan, angka kelaparan Indonesia tahun 2022 sebesar 5,9 persen atau sekitar 16,2 juta orang. Kelaparan dan krisis pangan berdampak langsung pada status prevalensi tengkes (stunting) anak-anak usia di bawah lima tahun. Menurut Survei Status Gizi Nasional tahun 2022, angka tengkes Indonesia masih tinggi, yakni 21,6 persen. Angka ini tertinggi kedua setelah Timor Leste, dari sepuluh negara Asia Tenggara.
Kerawanan pangan tak hanya berdampak buruk pada kesehatan masyarakat, tetapi juga kualitas SDM dan berbagai segi kehidupan lainnya. Menurut World Population Review 2022, angka rata-rata kecerdasan (intelligence quotient/IQ) masyarakat Indonesia termasuk rendah dibandingkan negara-negara lain, yakni 78,49. Ini di bawah rata-rata IQ masyarakat dunia (82). Indonesia di posisi ke-130 dari 199 negara yang diuji dan urutan ke-10 dari 11 negara Asia Tenggara. Faktor asupan gizi dan status kesehatan, selain faktor-faktor lain, sangat besar pengaruhnya pada tinggi rendahnya angka kecerdasan seseorang.
Program kedaulatan pangan
Mengingat begitu besar dampak buruk kerawanan pangan dalam kehidupan masyarakat, sudah seharusnya pemerintah bersama para pengambil kebijakan publik berkomitmen serius mengembangkan sistem dan kebijakan kedaulatan pangan yang mendorong ekonomi yang ekologis dan berkeadilan.
Konsep kedaulatan pangan secara resmi sebenarnya telah menjadi tujuan dan pendekatan pembangunan pertanian di Indonesia sejak ditetapkannya UU Nomor 18 Tahun 2012. Pasal 2 menyebutkan prinsip dan asas penyelenggaraan pangan di Indonesia, yakni harus berdasarkan kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan, manfaat, pemerataan, keberlanjutan, dan keadilan.
Foto udara klaster hunian di tengah areal persawahan di Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (16/7/2020). Selama 2013-2019, luas baku sawah di Indonesia berkurang 285.000 hektar menjadi 7,465 juta hektar.
Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap sumber-sumber pangan dari luar. Ini juga dimaksudkan agar tidak lagi dijumpai persoalan-persoalan dasar tentang pangan, seperti gizi buruk, kelaparan, dan rawan pangan.
Dalam UU tersebut, konsep kedaulatan pangan selalu muncul bersama dengan kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Namun, tidak ada uraian yang memadai untuk menjelaskan kedaulatan pangan. Misalnya, bagaimana hubungan antara kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Maka, tidak mengherankan jika setelah 11 tahun diundangkan tak ada kemajuan berarti. Hingga sekarang kita masih tergantung bahan pangan impor.
Implementasi kedaulatan pangan
Dalam kampanye Pilpres 2014, Presiden Jokowi menawarkan sembilan agenda perubahan yang disebut sebagai Nawacita. Pada agenda nomor 7, ada lima program, yakni membangun kedaulatan pangan, energi, keuangan, mendirikan bank petani/nelayan dan UMKM, termasuk gudang dengan fasilitas pengolahan pascapanen di setiap sentra produksi petani/nelayan, dan mewujudkan penguatan teknologi melalui kebijakan penciptaan sistem inovasi nasional.
Untuk merealisasikan agenda ini, Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan program/proyek lumbung pangan (food estate). Kebijakan ini menjadi salah satu yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Konsep dasar program ini adalah untuk mengembangkan sistem pangan secara integratif dalam sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan di suatu kawasan (Tahlim Sudaryanto, ”FFTC Agriculture Platform Asian and Pacific Region”, 23/10/2020).
Pelaksanaan proyek ini tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia dan pelaksanaan proyek diserahkan kepada lintas kementerian yang meliputi Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian PUPR (Kompas.com, 18/8/2023).
Proyek ambisius lumbung pangan ( food estate) yang telah dan sedang dikerjakan pemerintah sekarang sama sekali tak menuju pada kedaulatan pangan.
Sayang, proyek lumbung pangan ini dinilai gagal untuk menciptakan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan. Greenpeace Indonesia, dalam laporan kajiannya, menyampaikan pesan peringatan keras kepada Presiden Jokowi bahwa proyek tersebut justru memperburuk krisis pangan dan lingkungan serta meminggirkan masyarakat adat yang kehilangan akses makanan lokal mereka.
Dari studi kasus yang dilakukan, disimpulkan bahwa proyek-proyek lumbung pangan yang dilakukan sejak zaman pemerintahan Presiden Soeharto hingga Presiden Jokowi telah gagal untuk mengembangkan ketahanan pangan atau kesejahteraan warga masyarakat adat (”Indonesia’s Food Estate Program Feeding the Climate Crisis”, Greenpeace Indonesia, 10 November 2022).
Tak kalah kerasnya, kritik juga dilontarkan Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto yang mengingatkan adanya penyalahgunaan proyek lumbung pangan. Proyek itu mangkrak dan diduga disalahgunakan. Proyek-proyek itu juga berimbas pada penebangan hutan yang menjadi kejahatan lingkungan.
Berkaca dari pengalaman ini, Hasto merekomendasikan kepada presiden terpilih mendatang untuk mengutamakan kepentingan masyarakat luas, bukan individu atau kelompok tertentu. Program sejenis harus bertujuan untuk menyejahterakan petani dan mendorong tercapainya kedaulatan pangan.
Foto udara areal persawahan yang dijadikan lumbung pangan di Desa Hewa, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (10/8/2023). Sebagian areal cetak sawah berhasil ditanami padi hingga panen, sementara sebagian lainnya gagal dan menyisakan rumput ilalang.
Proyek ambisius lumbung pangan (food estate) yang telah dan sedang dikerjakan pemerintah sekarang sama sekali tak menuju pada kedaulatan pangan. Proyek ini sebenarnya hanya menjawab tantangan jangka pendek untuk mengatasi kerawanan pangan. Namun sayang, target ini pun tidak berhasil. Pelaksanaan proyek diserahkan pada korporasi, dan masyarakat lokal jadi penonton.
Masyarakat lokal yang seharusnya menjadi aktor utama dan pemilik proyek justru tersingkir. Proyek ini jelas tidak berkelanjutan (sustainable), di samping juga tidak ramah lingkungan.
Perlu komitmen
Kedaulatan pangan bertujuan untuk memperkuat akses dan kontrol petani terhadap sumber daya pertanian. Hasil yang harus dicapai adalah mengangkat kesejahteraan petani kecil yang selama ini terpinggirkan. Pendekatannya menghargai budaya lokal sehingga petani dapat menanam varietasnya sendiri, dengan caranya sendiri, dan memasak berdasarkan selera sendiri karena menjunjung prinsip diversifikasi yang sesuai dengan budaya lokal.
Ada empat bidang prioritas dalam pengembangan kedaulatan pangan, yakni hak atas pangan, akses terhadap sumber-sumber daya produktif, mengembangkan produksi yang ramah lingkungan, serta perdagangan dan pasar lokal.
Kedaulatan pangan hanya bisa terjadi ketika petani dapat memiliki, menguasai, dan mengontrol alat-alat produksi pangan (tanah, benih, air, pupuk, pestisida, dan teknologi). Aspek kemandirian pangan, perlindungan kepada petani, dan ekosistem lokal sangat penting (”Kedaulatan Pangan sebagai Basis untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional”, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 3/8/2015).
Kedaulatan pangan hanya bisa terjadi ketika petani dapat memiliki, menguasai, dan mengontrol alat-alat produksi pangan (tanah, benih, air, pupuk, pestisida, dan teknologi).
Jika pemerintah punya komitmen kuat untuk mencapai kedaulatan pangan nasional, perlu didefinisikan dan disepakati ulang ideologi, konsep, dan implementasi kedaulatan pangan seperti dicita-citakan para pendiri bangsa.
Pertama, perlu kejelasan konsep kedaulatan pangan dan memastikan itu dipahami secara benar oleh perangkat pemerintah yang akan menerjemahkannya dalam program/proyek. Tanpa kejelasan konsep dan ideologi keberpihakan pada kedaulatan petani, bisa dipastikan program apa pun yang dibuat tak akan sampai pada tujuan kedaulatan pangan.
Konsep sistem pangan ini harus memasukkan aspek-aspek yang penting untuk menjawab tantangan sekarang dan jauh ke depan, antara lain aspek lingkungan, perubahan iklim, keadilan dalam akses pangan bagi semua warga negara, kesehatan dan keamanan pangan, pengembangan tanaman lokal yang ramah budaya lokal, dan keterlibatan masyarakat lokal.
Kedua, menegaskan komitmen pemerintah untuk menciptakan kedaulatan pangan agar dapat memastikan tercapainya kemandirian dan ketahanan pangan. Tanpa ada komitmen ideologi dan politik yang kuat untuk mencapai kedaulatan pangan, program-program yang dilakukan hanya akan mengulang kembali kegagalan lumbung pangan sejak era Soeharto hingga sekarang.
Ketiga, perubahan atau bahkan revolusi mental bagi para pejabat pemerintahan dan pihak-pihak yang bekerja sama. Jika pelaksanaan proyek masih berkutat pada self-interest (mementingkan diri sendiri atau sekelompok kecil orang), maka ideologi, konsep, dan program sebagus apa pun pasti akan hancur. Kebiasaan korupsi oknum-oknum pejabat publik kita sudah sangat memprihatinkan. Uang triliunan rupiah yang seharusnya untuk kepentingan kesejahteraan bersama ditilap beberapa gelintir individu dan kelompok tertentu saja.
Masalah kedaulatan pangan adalah agenda sangat penting untuk menjadi komitmen presiden yang baru dan wakil rakyat yang akan dipilih pada pemilu mendatang. Janganlah biarkan rakyat berjuang sendiri dan hanya dieksploitasi suara mereka ketika dibutuhkan untuk pemilu. Hari Pangan Sedunia menjadi momentum bagi bangsa ini untuk memikirkan secara serius kedaulatan pangan kita.
Baca juga : Bangun Jaring Pengaman Pangan
Adrianus Suyadi Direktur Lembaga Daya Dharma Jakarta & Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi-KAJ