Menyiapkan varietas bibit padi unggul tahan kering ataupun tahan tergenang dapat menjadi solusi menjaga stabilitas produksi pangan nasional.
Oleh
YOESEP BUDIANTO, AGUSTINA PURWANTI
·4 menit baca
Pemerintah dan segenap pemangku kepentingan harus bersiasat menghadapi ancaman krisis iklim yang berimbas pada penurunan produksi padi. Menyiapkan varietas bibit unggul tahan kering ataupun tahan tergenang dapat menjadi solusi menjaga stabilitas produksi pangan ini. Selain itu, juga memperkuat ketahanan pangan dengan meningkatkan diversifikasi sumber karbohidrat selain padi.
Saat ini banyak lahan sawah yang mengalami kekeringan sehingga berpengaruh pada capaian produksi beras. Sumber-sumber utama air irigasi, seperti bendungan dan waduk, mendekati titik kritis sehingga musim tanam pertama diprediksi bakal mundur.
Hasil kajian Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebutkan, awal musim hujan hampir 64 persen wilayah Indonesia akan molor. Hanya sedikit wilayah yang mulai hujan pada Oktober ini. Mayoritas mulai hujan pada November dan Desember. Mundurnya musim tanam pertama ini dipengaruhi oleh El Nino yang menyebabkan kondisi iklim jauh lebih kering dari biasanya.
Kondisi lahan sawah yang lebih gersang cenderung akan berdampak pada penurunan produksi. Di sisi lainnya kebutuhan beras secara nasional terus meningkat setiap saat. Selama ini guna memenuhi stok dalam negeri yang kadang defisit, pemerintah kerap menambalnya dengan impor beras. Namun, dalam kondisi krisis iklim yang terjadi secara global, maka ancaman penurunan produksi pangan juga terjadi di negara lain.
Varietas padi unggul
Salah satu cara memperkuat kedaulatan pangan itu adalah melalui pemuliaan tanaman, yaitu varietas padi unggul. Varietas padi yang memiliki resistensi tinggi terhadap faktor penghambat pertumbuhan, seperti hama, kekeringan, dan banjir, adalah solusi untuk meningkatkan produksi guna mengamankan ketersediaan padi nasional.
Saat ini anomali cuaca dan iklim sangat berpengaruh terhadap keberhasilan tanam padi di Indonesia. Perubahan iklim menyebabkan fluktuasi curah hujan yang ekstrem. Ada bagian lahan yang akan surplus air hingga tergenang, sedangkan di lokasi lainnya ketersediaan air turun drastis hingga menyebabkan kekeringan.
Dengan beragamnya kondisi cuaca dan iklim di Indonesia, pemetaan karakteristik wilayah pertanian atau agroekologi menjadi penting. Direktur Serelia Kementerian Pertanian Ismail Wahab menyebutkan bahwa ada banyak jenis padi yang dibuat dengan mempertimbangkan kesesuaian agroekologinya.
”Sudah ada jenis padi atau varietas yang sesuai habitatnya. Jadi, untuk sawah ada jenisnya sendiri, seperti padi khusus lahan kering, padi khusus wilayah tegalan, padi wilayah rawa, atau padi untuk wilayah-wilayah dataran tinggi,” ujarnya, Rabu (4/10/2023).
Setiap varietas padi memiliki nama spesifik yang menjelaskan kondisi argoekologinya. Ismail Wahab menjelaskan, ada yang disebut varietas Inpari untuk sawah irigasi, varietas inpago atau padi gogo untuk lahan tadah hujan, varietas luhur untuk padi-padi di dataran tinggi, varietas rindang untuk padi yang ditanam di sela-sela karet atau kelapa sawit.
Salah satu varietas yang memiliki daya resistensi tertinggi adalah jenis amfibi. Varietas tersebut mampu bertahan di segala kondisi lahan dan berbagai macam penyakit tanaman, seperti hama wereng batang.
Berbagai jenis padi yang diciptakan dengan tingkat resistensi tinggi terhadap penyakit, kekeringan, ataupun banjir adalah bukti kemajuan penelitian bidang pemuliaan tanaman di Indonesia. Sayangnya, banyak dari varietas unggulan tersebut belum diproduksi massal oleh sektor industri.
Pangan beragam
Selain adaptasi dengan varietas unggul, langkah mengatasi ancaman produksi padi juga dapat dilakukan dengan diversifikasi pangan. Jenis pangan selain beras di Indonesia sebenarnya sangat beragam, ada ketela, ubi, jagung, sagu, sorgum, pisang, dan lainnya. Sayangnya, stok pangan tersebut belum terkontrol dan direncanakan secara matang, sebagaimana yang dilakukan terhadap komoditas beras.
Kepala Badan Pangan Nasional (NFA) Arief Prasetyo menyatakan bahwa diversifikasi penting untuk menjaga ketersediaan pangan Indonesia. ”Diversifikasi pangan menjadi cara untuk menjaga stok ketersediaan pangan kita. Namun, seberapa siap kita semua untuk beralih dari nasi. Pangan lokal itu sebenarnya kearifan lokal. Di Jawa Tengah ada pola makan nasi pakai jagung, makan tiwul, dan ubi kayu. Kalau di Maluku makan sagu. Rasanya enak semua,” ujar Arief.
Sebenarnya masyarakat telah memiliki pola konsumsi karbohidrat dari nonberas. Jajak pendapat Kompas pada 18-20 September 2023 menunjukkan 36,8 persen responden makan singkong untuk memenuhi kebutuhan karbohidratnya. Selain itu, ada 11,6 persen memilih ubi jalar, 5,5 persen makan jagung, 2,6 persen makan kentang, dan 1,8 persen makan sorgum.
Program diversifikasi pangan merujuk pada pola konsumsi pangan lokal yang didefinisikan sebagai makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012, pangan lokal menjadi simpul utama untuk menjamin ketersediaan pangan di tengah masyarakat.
Keseriusan mengembalikan hegemoni pangan lokal ditegaskan dalam Pasal 12 yang menugaskan pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab atas ketersediaan pangan di daerah dan pengembangan produksi pangan lokal di daerah.
Berdasarkan data NFA, sumber karbohidrat di Indonesia mencapai 77 jenis. Tujuh di antaranya sagu, talas, kentang, pisang, ubi jalar, jagung, dan ubi kayu. Kandungan bahan nonberas tersebut tak kalah bergizi sebab memiliki kadar serat tinggi, kaya vitamin dan mineral, sebagian bebas gluten, serta indeks glikemik penyebab diabetes rendah.
Potensi peralihan
Meskipun hampir 90 persen konsumsi pangan masyarakat Indonesia adalah nasi, konsumsi pangan nonberas mengalami kenaikan cukup tinggi selama lima tahun terakhir. Berdasarkan laporan Statistik Konsumsi Pangan 2022 dari Kementerian Pertanian, konsumsi nonberas naik sekitar 3,38 persen dan konsumsi beras naik 0,15 persen.
Jenis pangan nonberas yang paling banyak dikonsumsi adalah ubi kayu. Secara ketahanan tanaman, ubi kayu memiliki tingkat toleransi kekeringan yang tinggi. Artinya, tanaman ini mampu tumbuh di lahan minim air dan kurang subur. Komoditas lainnya adalah ubi jalar dan jagung.
Persoalannya saat ini terletak di produksi pangan nonberas yang minim. Kepala Pusat Studi Pengelolaan Sumber Daya Lahan UGM Profesor Junun Sartohadi menyebutkan bahwa peningkatan produksi pangan bisa dilakukan melalui skema rotasi tanaman.
Optimalisasi lahan-lahan yang belum digarap secara optimal juga menjadi opsi peningkatan produksi pangan nonberas. Guru Besar Bidang Ilmu Pengendalian Hayati Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Profesor Akhmad Rizali mengatakan bahwa ada banyak sekali lahan produktif yang dibiarkan saja, padahal memiliki potensi sangat besar untuk mendorong produksi pangan, khususnya nonberas.
Upaya pemenuhan pangan di tengah perubahan iklim tidak hanya dilakukan di Indonesia, tetapi semua negara. Tiga negara pengekspor beras terbesar di dunia, seperti India, Thailand, dan Vietnam, turut melakukan transformasi sistem pertanian, yaitu pengembangan varietas baru, rotasi tanam, dan peningkatan teknologi. (LITBANGKOMPAS)