Kita perlu menjauhkan ruang-ruang sosial tertentu dari rambahan polarisasi politik, seperti ruang pendidikan dan rumah ibadah. Sebab, ruang-ruang ini menjalankan fungsi perlindungan bagi semua pihak.
Oleh
ULIL ABSHAR-ABDALLA
·3 menit baca
Sebagai bangsa, saya kira, kita sudah berada pada titik tak bisa mundur lagi dalam beberapa hal. Salah satunya, dan inilah yang paling penting, ialah kita tidak bisa mundur lagi ke sistem otoriter seperti dalam rezim lalu. Kita sudah berada pada tahap yang agaknya susah lagi dibalikkan: tahap demokrasi. Kita, dengan agak bangga, sudah bisa mengatakan bahwa demokrasi sudah menjadi semacam the only game in town di negeri ini.
Tentu saja tendensi-tendensi otoriter bisa saja muncul dalam sistem demokratis, dan oleh karena itu sejumlah pengamat berbicara tentang adanya kemunduran demokrasi (democratic backsliding) di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Meski demikian, satu hal telah pasti bahwa lembaga-lembaga demokrasi telah cukup kokoh bercokol di negeri ini. Hal itu di antaranya pemilu bebas, sistem multipartai, pers yang cukup bebas, masyarakat sipil yang cukup kuat, dan sebagainya.
Hanya saja, ini tidak berarti bahwa segalanya telah menjadi indah. Bahkan, dalam sebuah demokrasi pun agaknya tidak kita jumpai semacam ”surga politik” yang sempurna. Ada banyak hal menggelisahkan di sana, salah satunya ialah ancaman polarisasi sosial. Tampaknya ada dilema yang endemik dalam demokrasi, yaitu tegangan yang ”mencemaskan” antara kebutuhan untuk menjamin kebebasan (freedom) di satu pihak dan menjaga keamanan serta ketenteraman (stability) di pihak lain. Dua hal ini saling dan selalu bersitegang. Menjaga keseimbangan dalam tegangan ini kerap kali tidak mudah. Dibutuhkan semacam political dexterity, keterampilan politik dari semua pihak, terutama penguasa, untuk menjaga keseimbangan itu.
Dengan segala variasinya, ada hal yang intrinsik dalam sebuah sistem demokratis di mana pun, yaitu adanya ruang yang relatif terbuka bagi semua kelompok dan golongan untuk mengemukakan aspirasi dan kepentingannya. Meskipun dengan derajat yang berbeda-beda, ada level kebebasan yang jauh lebih besar dalam sistem demokratis dibandingkan dalam sistem yang sepenuhnya otoriter. Kebebasan inilah yang memungkinkan semua suara bisa mendapatkan tempat.
Namun, keterbukaan ini juga menghadapkan kita pada pedang bermata dua: di satu pihak ia memungkinkan semua aspirasi bisa muncul ke permukaan, tetapi di pihak lain ada pula potensi antagonisme antar pelbagai kelompok dan golongan yang membawa pelbagai aspirasi itu. Kerumitan menjadi bertambah-tambah ketika kita masukkan sejumlah faktor lain: misalnya maraknya identitas-identitas partikular dan sektarian yang biasanya cenderung memecah-belah atau adanya perkembangan teknologi komunikasi baru seperti media sosial.
Dengan kata lain, ancaman polarisasi, bahkan antagonisme sosial, akan selalu kita hadapi dalam sebuah demokrasi. Itulah sebabnya, kita selalu butuh kekuatan-kekuatan sosial, termasuk sosok-sosok panutan dalam masyarakat yang bisa menjalankan fungsi pengimbang. Jika demokrasi mengandung potensi intrinsik untuk mencerai-beraikan kohesi sosial, harus ada pula kekuatan lain di tengah-tengah masyarakat yang mampu menangkal tendensi polarizing itu. Dengan kata lain, kita butuh kekuatan-kekuatan sosial dan tokoh-tokoh yang bisa memperkokoh solidaritas sosial, solidarity makers.
Itulah sebabnya saya, misalnya, amat senang saat melihat seorang kiai, ulama, pendeta, cendekiawan, atau sosok-sosok lain yang tidak tergoda untuk ikut dalam ”politik dukung-mendukung” atau menjadi bagian dari kekuatan politik tertentu. Ini tidak berarti bahwa seorang tokoh tidak boleh memberikan dukungan kepada atau menjadi bagian dari kekuatan politik tertentu. Tidak sama sekali. Mendukung salah satu kekuatan politik adalah bagian kebebasan yang dimiliki oleh seorang warga negara, termasuk seorang tokoh.
Namun, harus ada pula sosok atau kekuatan sosial yang berdiri tegak di atas semua kekuatan politik dalam posisi yang relatif netral. Sosok semacam ini dibutuhkan agar di tengah-tengah masyarakat tetap ada pihak yang menjalankan fungsi ”lem” yang bisa merekatkan pihak-pihak yang telah ”dicerai-beraikan” oleh kekuatan-kekuatan disruptif dalam demokrasi.
Sementara itu, kita juga perlu menjauhkan sebisa mungkin ruang-ruang sosial tertentu dari rambahan polarisasi politik ini, misalnya ruang pendidikan dan rumah-rumah ibadah. Ruang-ruang ini menjalankan fungsi sebagai sanctuary atau perlindungan kepada semua pihak dan golongan, dan karena itu tidak boleh dikapling oleh kekuatan politik tertentu.
Kekuatan dan sosok yang mampu menjalankan fungsi pengimbang inilah yang ingin saya sebut sebagai ”pemimpin jangkar”. Di dalam demokrasi, kita tidak cukup hanya berbicara tentang kebebasan, tetapi juga mengupayakan adanya sosok-sosok jangkar yang bisa mengimbangi kecenderungan polarisasi yang intrinsik dalam setiap demokrasi.