Badai Al-Aqsa Terinspirasi Perang Arab-Israel 1973
Dalam serangan mendadak dan mengejutkan ke Israel selatan, 7 Oktober 2023, Hamas rupanya menjalankan seruan mendiang Presiden Mesir Anwar Sadat: ”Kenalilah musuhmu”. Hamas dan Mesir menjalankan taktik perang yang sama.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN
·4 menit baca
Keberhasilan operasi ”Badai Al-Aqsa” yang dilancarkan Hamas pada pukul 06.30 pagi hari Sabtu (7/10/2023) atas berbagai sasaran di wilayah Israel atau operasi lintas perbatasan Jalur Gaza merupakan duplikat keberhasilan serangan bersama Mesir-Suriah atas sasaran Israel di Gurun Sinai dan Dataran Tinggi Golan pada 6 Oktober 1973. Hamas dipastikan telah belajar cukup lama secara detail dan rahasia tentang faktor-faktor di balik keberhasilan serangan bersama oleh Mesir-Suriah pada Perang Arab-Israel tahun 1973 itu.
Hamas rupanya menjalankan secara bijak seruan mendiang Presiden Mesir Anwar Sadat bahwa ”kenalilah musuhmu”. Seruan ini dikumandangkan Sadat pasca-kekalahan Arab pada perang tahun 1967.
Sejak itu, beberapa perguruan tinggi di Mesir membuka jurusan bahasa Ibrani untuk lebih mengenal budaya dan karakter orang Yahudi. Hasil Mesir belajar lebih mendalam tentang siapa Yahudi itu membuahkan keberhasilan dengan memukul mundur pasukan Israel di Gurun Sinai pada 6 Oktober 1973.
Pasukan Mesir saat itu berhasil menyeberang Terusan Suez dan menjebol pertahanan Israel di deretan Benteng Bar Lev di tepi Terusan Suez. Padahal, Uni Soviet saat itu menyampaikan kepada Mesir bahwa untuk menghancurkan Benteng Bar Lev butuh bom atom. Tetapi, pasukan Mesir secara menakjubkan berhasil menghancurkan Benteng Bar Lev, yang menurut kalkulasi Uni Soviet, mustahil bisa dilakukan Mesir.
Lima puluh tahun kemudian, persisnya 7 Oktober 2023, Hamas mengulang keberhasilan Mesir dan Suriah tahun 1973 dengan membuat Israel sempat kocar-kacir karena tidak siap menghadapi serangan dadakan Hamas lewat darat, udara, dan laut dari Jalur Gaza.
Pemilihan waktu operasi ”Badai Al-Aqsa” pun sudah jelas terinspirasi Perang Arab-Israel tahun 1973. Hamas memilih pagi tanggal 7 Oktober untuk serangan mereka, yang bertepatan dengan peringatan 50 tahun Perang Arab-Israel tahun 1973.
Hamas memilih hari Sabtu, yakni hari libur Yahudi, untuk menyerang Israel. Perang Arab-Israel pada 6 Oktober 1973 juga dilancarkan pada hari libur Yahudi, yakni Yom Kippur (Hari Pengampunan). Kultur orang Yahudi pada saat hari libur mereka adalah sangat menghormati hari libur dengan istirahat dan ibadah. Pada saat hari libur itu, orang Yahudi sering lengah karena terlalu menikmati hari libur mereka yang dianggap sebagai hari yang sakral.
Maka, pada Perang Yom Kippur, 6 Oktober 1973, dan Perang Sabbath, 7 Oktober 2023, memperlihatkan hasil yang sama di pihak Israel, yakni Israel kocar-kacir. Militer Israel tidak siap menghadapi serangan dadakan musuh pada hari libur mereka.
Bisa dikata, Mesir dan Hamas menjalankan taktik perang yang sama pada tahun 1973 dan 2023, yakni melancarkan serangan dadakan secara kuat dan serempak dari darat, laut, dan udara. Israel yang sedang berleha-leha dengan hari liburnya segera kalang kabut menghadapi serangan Mesir pada 6 Oktober 1973 dan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Mesir dan Hamas menjalankan taktik perang yang sama pada tahun 1973 dan 2023, yakni melancarkan serangan dadakan secara kuat dan serempak dari darat, laut, dan udara.
Pada serangan hari pertama, 6 Oktober 1973, pasukan Mesir berhasil menawan ratusan anggota pasukan Israel. Pada serangan hari pertama 7 Oktober 2023, pejuang Hamas menawan warga sipil dan serdadu Israel hingga lebih dari 100 tawanan.
Hamas sampai saat ini belum menyampaikan jumlah tawanan Israel yang mereka sandera. Namun, yang pasti, jumlah tawanan Israel yang ditangkap Hamas saat ini adalah yang terbesar sejak perang tahun 1973.
Israel mengakui, jumlah korban tewas dari pihak Israel mencapai 1.200 korban tewas dan lebih dari 2.500 orang luka-luka. Ini jumlah korban terbesar di pihak Israel sejak perang tahun 1973.
Hampir dipastikan jumlah tawanan serta korban tewas dan luka-luka dari pihak Israel jatuh pada hari pertama dan kedua operasi ”Badai Al-Aqsa”, yaitu hari Sabtu dan Minggu (7-8/10/2023), yakni saat militer Israel belum siap.
Pada Perang Yom Kippur, 6 Oktober 1973, pasukan Mesir secara mengejutkan berhasil menyeberang Terusan Suez dalam waktu singkat. Pada Perang Sabbath, 7 Oktober 2023, gerilyawan Hamas secara mengejutkan berhasil melintas perbatasan Jalur Gaza menuju wilayah Israel dan sempat menduduki beberapa permukiman Yahudi dan kamp militer Israel.
Permukiman Yahudi Be’eri, Ra’im, dan Zikim sempat diduduki anggota Hamas sebelum mereka mundur lagi ke Jalur Gaza. Apa yang dicapai Hamas dalam operasi ”Badai Al-Aqsa” dengan melancarkan serangan sampai ke dalam wilayah Israel merupakan yang pertama kali dalam perang Arab-Israel sejak perang tahun 1948.
Semua perang Arab-Israel, seperti perang 1956, 1967, dan 1973, terjadi di wilayah Arab, seperti di Gurun Sinai Mesir dan Dataran Tinggi Golan Suriah. Perang Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pimpinan Yasser Arafat pada tahun 1982 terjadi di Lebanon, khususnya kota Beirut.
Hamas dalam operasi ”Badai Al-Aqsa” bisa menggiring perang dengan Israel untuk pertama kalinya sejak tahun 1948 di wilayah Israel.
Keberhasilan Hamas memanfaatkan hari libur Yahudi itu memunculkan pengakuan dan kritikan dari berbagai pihak, termasuk dari Israel, tentang kegagalan besar intelijen Israel mendeteksi persiapan Hamas yang cukup lama untuk operasi ”Badai Al-Aqsa”.
Kisah kegagalan intelijen Israel juga terjadi pada 50 tahun lalu, yakni ketika Perang Yom Kippur 1973. Seperti saat ini, kala itu Israel gagal mendeteksi serangan mendadak Mesir dan Suriah.
Penasihat Keamanan Nasional Israel periode 2011-2013 dan mantan penasihat keamanan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Yaakov Amidror, mengatakan bahwa keberhasilan ”Badai Al-Aqsa” merupakan kegagalan besar dinas intelijen Israel.
Dalam konteks politik, keberhasilan Hamas akan semakin sempurna jika ”Badai Al-Aqsa” bisa diberdayakan untuk menggerakkan menuju solusi politik Palestina yang sudah hampir 10 tahun macet total dalam proses politik Palestina. Seperti halnya Presiden Mesir Anwar Sadat yang berhasil menjadikan perang 1973 sebagai amunisi politik menuju tercapainya kesepakatan damai Israel-Mesir di Camp David tahun 1979.