Bunuh Diri Bisa Dicegah
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 10 Oktober 2023 juga mengusung tema ”Mental Health is a Universal Human Right”. Apa strategi Indonesia dalam pembangunan kesehatan mental, terutama dalam pencegahan bunuh diri ?
Masyarakat dikagetkan oleh meningkatnya angka kasus bunuh diri di Indonesia akhir-akhir ini. Peningkatan ini terjadi seiring dengan tren peningkatan angka kasus bunuh diri global.
Cara media memberitakan dan menyiarkan soal bunuh diri selama ini juga menjadi sorotan khusus, terutama dikaitkan dengan upaya global untuk mencegah terjadinya epidemi bunuh diri, atau kasus bunuh diri yang sifatnya copycat, yang dikenal dengan istilah efek Werther.
Secara historis, lonjakan kasus bunuh diri mulai dikaitkan dengan peran media sejak penerbitan buku The Sorrows of Young Werther karya Goethe tahun 1774.
Pada zaman itu tak ada bukti empiris atas epidemi bunuh diri tersebut. Namun, studi National Institute of Mental Health pada 2017 menunjukkan adanya peningkatan 28,9 persen bunuh diri di kalangan remaja usia 10-17 tahun di AS sejak penayangan serial 13 Reasons Why di Netflix yang menggambarkan tindakan bunuh diri dengan sangat gamblang.
Data ini juga memperkuat hipotesis bahwa remaja sangat rentan terhadap media. Romantisisasi bunuh diri pun harus diwaspadai agar tidak semakin meluas sebagai sebuah opsi solusi untuk mengakhiri hidup yang tidak sesuai dengan mimpi dan ekspektasi.
Kesadaran global akan urgensi pencegahan bunuh diri bukanlah hal baru. Periode 10 September sampai dengan 10 Oktober setiap tahun adalah momentum dunia sibuk melakukan berbagai upaya aksi membangkitkan kesadaran tentang pentingnya mengedepankan kesehatan jiwa.
Tanggal 10 September diperingati sebagai Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia dan 10 Oktober sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia.
Peningkatan angka kasus bunuh diri ini terjadi seiring dengan tren peningkatan angka kasus bunuh diri global.
Apa yang sudah dilakukan Indonesia? Banyak yang sudah dilakukan pemangku kepentingan dalam mencegah bunuh diri. Baik dari level masyarakat maupun pemerintah. Idealnya, semua upaya ini diintegrasikan menjadi sebuah strategi nasional pencegahan bunuh diri.
Keterbatasan data
Indonesia belum punya sistem pencatatan bunuh diri nasional (national suicide registry) sehingga tidak ada angka proksi yang cukup mendekati kondisi riil.
Berdasarkan WHO Global Health Estimates 2021, jumlah kasus bunuh diri di Indonesia pada tahun 2019 adalah 6.544. Age standardized suicide rates pada semua usia (per 100.000 penduduk) adalah 2,6 dan terkesan underreported.
Pada 2019, IMHE Global Burden of Disease juga mengeluarkan data angka kematian akibat bunuh diri sebesar 7.658 dan menjadi penyebab kematian ke-16 di Indonesia. Menurut data Kepolisian Negara RI (Polri), terjadi 826 kasus bunuh diri pada 2022 dan 613 pada 2021.
Jawa Tengah menjadi provinsi dengan kasus bunuh diri tertinggi, yaitu 232 kasus pada 2021 dan 380 kasus pada 2022. Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo melaporkan kejadian luar biasa bunuh diri dengan 30 kasus pada 2023 ini. Padahal, menurut laporan Polri, tahun 2021 tidak tercatat kasus bunuh diri dan pada tahun 2022 tercatat satu kasus di Gorontalo.
Salah satu penyebab sulitnya mengintegrasikan data bunuh diri ke dalam sistem pencatatan nasional adalah regulasi yang masih stigmatis dan penyangkalan (denial) terhadap data autopsi psikologis yang menunjukkan mayoritas kejadian bunuh diri erat kaitannya dengan gangguan jiwa seperti depresi.
Di satu sisi, dengan telah diberlakukan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berdasar UU Nomor 24/2011 tentang BPJS, hak warga negara untuk dapat layanan kesehatan jiwa di fasilitas layanan kesehatan terjamin. Ini terbukti dari data Mental Health Atlas 2020 yang menunjukkan JKN telah mencapai indeks cakupan layanan kesehatan jiwa 59 persen, dengan tren terus meningkat.
Infografik : Munculnya Ide bunuh Diri
Di era JKN, semua biaya perawatan peserta yang terdaftar dalam program BPJS Kesehatan dibayar dalam sebuah sistem Indonesia Case Base Groups pada fasilitas kesehatan tingkat lanjut dan sistem kapitasi untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama. Namun, beberapa pelayanan kesehatan tak ditanggung BPJS Kesehatan, di antaranya gangguan kesehatan akibat menyakiti diri sendiri. Sangat mungkin rekam medis hanya mencatat kondisi medis penyerta akibat dampak bunuh diri itu sendiri, seperti adanya luka, problem pada lambung, atau akibat metode bunuh diri lainnya.
Regulasi nasional
Indonesia pernah punya UU Nomor 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa yang tak berlaku lagi dengan disahkannya UU Nomor 17/2023 tentang Kesehatan. UU Kesehatan Jiwa tak mengatur secara spesifik upaya pencegahan bunuh diri.
Bagian kesehatan jiwa dalam UU terbaru telah mengatur dalam Pasal 75 Ayat 1 bahwa upaya kesehatan jiwa diberikan secara proaktif, terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan sepanjang siklus kehidupan manusia bagi orang yang berisiko, orang dengan gangguan jiwa, dan masyarakat.
Secara khusus pada Ayat 2 dikatakan bahwa upaya kesehatan jiwa adalah termasuk upaya pencegahan bunuh diri melalui timbulnya faktor risiko bunuh diri, pencegahan timbulnya pemikiran tentang menyakiti diri sendiri, dan pencegahan percobaan bunuh diri.
Sejalan dengan ini, penulis telah mengembangkan instrumen deteksi dini faktor risiko ide bunuh diri remaja. Instrumen deteksi dini ini digunakan dalam Pedoman Pencegahan dan Penanganan Bunuh Diri Indonesia oleh Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan pada 2021.
Berbagai jurnal mempertegas bahwa dimensi seperti kesepian dan perasaan tidak ada harapan justru teramplifikasi pada masa pandemi.
Instrumen ini berupa 16 pernyataan dengan cut-off score yang terdiri atas empat dimensi faktor risiko, yaitu kesepian, perasaan tak ada harapan, keinginan jadi bagian dari kelompok bermakna, dan perasaan menjadi beban.
Pada saat uji coba prapandemi terhadap 910 pelajar SLTA/sederajat di DKI Jakarta, instrumen ini mendeteksi 13,8 persen responden dengan risiko tinggi. Berdasarkan analisis multivariabel dengan analisis regresi Poisson, pelajar yang terdeteksi bunuh diri tersebut memiliki risiko 5,39 kali lebih besar untuk mempunyai ide bunuh diri dibandingkan pelajar yang tak terdeteksi berisiko.
Berbagai jurnal mempertegas bahwa dimensi seperti kesepian dan perasaan tidak ada harapan justru teramplifikasi pada masa pandemi. Dengan adanya pandemi Covid-19, para pakar merekomendasikan upaya untuk mengurangi perilaku bunuh diri di negara-negara berkembang melalui rapid screening dan identifikasi ide bunuh diri.
Secara global, terdapat target 3.4 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) untuk mengurangi sepertiga kematian dini akibat penyakit tidak menular melalui pencegahan dan pengobatan serta meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mental. Target ini, termasuk mengurangi angka kematian akibat bunuh diri (indikator 3.4.2) pada 2030.
Mental Health Action Plan WHO South-East Asia Region 2023-2030 juga menetapkan target regional 3.2 agar tingkat bunuh diri berkurang 15 persen pada 2030, berdasar indikator tingkat kematian akibat bunuh diri (suicide mortality rate) per 100.000 populasi.
Secara logika, Indonesia tentu kesulitan menghitung pencapaian target-target tersebut karena belum mempunyai data bunuh diri nasional yang adekuat sebagai data acuan awal.
Dengan keterbatasan Indonesia, peran Indonesia tetap dinilai strategis bagi kesehatan jiwa anak dan remaja di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah sehingga penulis juga diminta menjadi Komite Pengarah dalam Inisiatif Global ”Advancement of Child and Adolescent Mental Health Services in Low-and-Middle Income Countries”.
Inisiatif ini dipayungi oleh Presiden World Psychiatric Association dan Asia Federation of Psychiatric Associations.
Tujuan inisiatif global ini adalah peningkatan kapasitas, advokasi, mengurangi stigma, meningkatkan status pendidikan dan penelitian kesehatan jiwa pada anak dan remaja. Kondisi kesehatan jiwa memengaruhi satu dari tujuh remaja secara global dengan gangguan depresi sebagai penyebab utama gangguan dan disabilitas remaja.
Jejaring pengampuan
Rumah Sakit Jiwa dr H Marzoeki Mahdi, Bogor, ditunjuk melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 741/2022 sebagai Pusat Kesehatan Jiwa Nasional.
Tugasnya, memberikan pelayanan kesehatan jiwa secara komprehensif (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), yang terintegrasi dengan layanan di komunitas, layanan spesialis dan subspesialis psikiatri lengkap, dan layanan nonpsikiatri sebagai pendukung layanan kesehatan jiwa. Selain itu, melakukan pengampuan jejaring rujukan kesehatan jiwa dan sebagai rumah sakit rujukan nasional di bidang kesehatan jiwa.
Kondisi kesehatan jiwa memengaruhi satu dari tujuh remaja secara global dengan gangguan depresi sebagai penyebab utama gangguan dan disabilitas remaja.
Penunjukan sebagai pusat kemudian dilengkapi lagi dengan penunjukan sebagai koordinator nasional pengampuan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1495/2023 tentang Rumah Sakit Jejaring Pengampuan Pelayanan Kesehatan Jiwa. Di dalam jejaring ini terdapat 269 rumah sakit (RS) jiwa dan RS umum yang harus mencapai standardisasi minimal layanan kesehatan jiwa, yaitu pada komponen sarana-prasarana, alat kesehatan, SDM, dan layanan.
Dengan mempertimbangkan level kompleksitas RS, terdapat 21 RS dalam strata paripurna, 29 dalam strata utama, dan 219 dalam strata madya. Pemenuhan target pengampuan nasional adalah pada tahun 2027. Jejaring ini menjadi pintu masuk untuk dilakukan sosialisasi berbagai model baru layanan, termasuk jika dikembangkan strategi nasional pencegahan bunuh diri.
Tugas RS pengampu juga melakukan pembinaan dan pengembangan serta memberikan masukan dan rekomendasi kepada RS yang diampu.
Selain menandatangani nota kesepahaman (MOU) dengan kepala daerah dari 38 provinsi dan melakukan visitasi ke seluruh wilayah Indonesia, proses pengampuan sangat dinamis mengikuti kekhususan setiap provinsi.
Visitasi di Gorontalo, misalnya, juga disertai pengarahan jajaran dinas kesehatan terkait pencegahan bunuh diri melalui diskusi kelompok terarah (FGD) luring, workshop virtual deteksi dini dan intervensi dini, dan penelitian bersama kasus bunuh diri di Gorontalo sekaligus agenda deteksi dini dan pelatihan keterampilan hidup di sekolah-sekolah.
Ilustrasi
Reformasi layanan kesehatan jiwa
World Mental Health Report 2022 dengan tema ”Transforming Mental Health for All” menitikberatkan reorganisasi dari layanan kesehatan jiwa sebagai jantung reformasi.
Diharapkan lokus pelayanan untuk kondisi kesehatan jiwa berat dapat bergeser dari RS jiwa ke layanan kesehatan jiwa komunitas dengan menutup layanan psikiatrik jangka panjang di RS jiwa begitu layanan kesehatan jiwa komunitas sudah adekuat sebagai alternatif. Layanan kesehatan jiwa komunitas diyakini lebih mudah diakses dan diterima daripada layanan institusional dan memberikan outcome lebih baik.
Pendekatan yang humanis, fokus pada pemulihan, dan berbasis HAM menjadi sangat esensial di era deinstitusionalisasi. Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 10 Oktober 2023 juga mengusung tema senada, yaitu ”Mental Health is a Universal Human Right”.
Untuk keberhasilan transformasi ini dibutuhkan target-target sehingga proses dan hasil transformasi terukur. Mental Health Action Plan WHO South-East Asia Region 2023-2030 bisa jadi rujukan dalam proses pengampuan layanan kesehatan jiwa. Pada pilar RS, ada dua target regional yang harus tercapai.
Target 2.3 adalah bahwa 11 negara harus sudah mengembangkan unit kesehatan jiwa di minimal 80 persen RS umum pada 2030. Target regional 2.5 adalah jumlah tempat tidur di RS khusus jiwa sudah dikurangi 30 persen pada 2030. Pada saat bersamaan, pilar komunitas juga sudah harus dikembangkan sesuai target 2.2, yakni bahwa 11 negara harus sudah meningkatkan jumlah pusat kesehatan jiwa berbasis komunitas sebesar 50 persen pada 2030.
Pendekatan yang humanis, fokus pada pemulihan, dan berbasis HAM menjadi sangat esensial di era deinstitusionalisasi.
Saat Kementerian Kesehatan menghadiri Global Mental Health Summit, 5-6 Oktober 2023, di Argentina, dipastikan Indonesia sudah sejalan dengan arah pembangunan kesehatan jiwa global.
Apa langkah selanjutnya untuk upaya pencegahan bunuh diri bagi Indonesia sebagai sebuah negara? Pertama, keberpihakan regulasi. Kedua, Indonesia perlu mendesain Strategi Pencegahan Bunuh Diri Nasional. Ketiga, Indonesia harus menyelesaikan sistem pencatatan bunuh diri nasional melalui lintas unit dalam tubuh Kementerian Kesehatan, seperti Pusat Kesehatan Jiwa Nasional, Direktorat Kesehatan Jiwa, dan Digital Transformation Office (DTO).
Keempat, memanfaatkan jejaring nasional RS pengampuan layanan kesehatan jiwa untuk menjalankan model pencegahan bunuh diri nasional. Kelima, para peneliti dan praktisi kesehatan jiwa harus dapat dukungan dalam meneliti, mendesain program asesmen, dan mengimplementasikan intervensi berbasis bukti.
Baca juga : Maraknya Kasus Bunuh Diri dan Risiko Kesepian di Jakarta
Nova Riyanti YusufDirektur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Rumah Sakit Jiwa dr H Marzoeki Mahdi - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia