Kontingen Indonesia gagal mewujudkan target 12 medali emas di Asian Games Hangzhou 2022. Perlu introspeksi dan serius berbenah.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Kementerian Pemuda dan Olahraga memprediksi 12 emas itu direbut dari sembilan cabang, yakni bulu tangkis, dayung (perahu naga), jujitsu, kuras, karate, sepak takraw, panjat tebing, atletik, dan wushu. Adapun Komite Olahraga Nasional Indonesia memproyeksikan tujuh cabang sumber emas meliputi bulu tangkis, dayung, sepak takraw, panjat tebing, angkat besi, wushu, dan karate (Kompas, 8/10/2023).
Faktanya, dari cabang-cabang yang diandalkan itu, hanya dayung, panjat tebing, angkat besi, dan wushu yang meraih emas. Hingga akhir perhelatan di Hangzhou, RI hanya mengemas tujuh emas, 11 perak, dan 18 perunggu. Perolehan medali itu membuat kontingen ”Merah Putih” hanya bertengger di peringkat ke-13 klasemen. Kita berada lima tangga di bawah rival di Asia Tenggara, Thailand, yang di posisi kedelapan dengan 12 emas, 14 perak, 32 perunggu.
Kegagalan menggaet 12 emas sangat dipengaruhi meredupnya penampilan tim bulu tangkis. Dari target tiga emas, Anthony Ginting dan kawan-kawan bukan hanya gagal merebut emas. Lebih mengecewakan dari itu, bahkan hingga perak dan perunggu, tak sekeping pun diraih. Performa ini menjadi yang terburuk sejak Asian Games Jakarta 1962, atau dalam 61 tahun terakhir.
Yang terjadi dengan bulu tangkis kita bukan alarm tiba-tiba. Pencinta bulu tangkis Indonesia sudah resah dengan ketiadaan gelar juara di sejumlah kejuaraan BWF World Tour tahun ini, juga di kejuaraan dunia, sebelum kita meraih dua gelar di Hong Kong Terbuka melalui Jonatan Christie dan Apriyani Rahayu/Siti FS Ramadhanti. Asa seolah menjulang lagi seiring target ambisius tiga emas di Hangzhou 2022, tetapi itu jauh panggang dari api.
Ketua Komite Olimpiade Indonesia Raja Sapta Oktohari melontarkan pernyataan lugas terkait prestasi bulu tangkis. ”Melihat performa mereka akhir-akhir ini, bulu tangkis tidak lagi menjadi fundamental medali emas di Olimpiade. Nantinya, kekuatan utama emas kita adalah angkat besi dan panjat tebing. Namun, bulu tangkis tak boleh diabaikan karena jadi penentu untuk mencetak sejarah baru meraih lebih dari dua emas di Paris 2024,” kata Okto. Pernyataan Okto sepatutnya menjadi cambuk insan bulu tangkis kita untuk menyajikan yang terbaik di Olimpiade.
Cabang-cabang lain yang diproyeksikan meraih emas tetapi berujung tanpa medali, seperti karate, sepak takraw, jujitsu, kuras, dan atletik, juga perlu evaluasi menyeluruh. Jangan sampai semata sibuk mempresentasikan proyeksi emas, tetapi alpa memperhitungkan kekuatan riil para pesaing. Akibatnya, saat kontingen sudah memberangkatkan pelatih dan atlet, dengan biaya tak sedikit tentunya, prestasi itu tak terwujud.
Kita layak mengapresiasi beberapa cabang yang berprestasi lebih baik daripada yang terprediksi. Menembak yang meraih dua emas melalui Muhammad Sejahtera Dwi Putra menjadi emas pertama dan kedua cabang ini sejak partisipasi Indonesia di Asian Games. Demikian pula dengan Amellya Nur Sifa di balap BMX putri. Sejumlah prestasi ini menerbitkan harapan akan potensi cabang-cabang ini di masa depan.
Kesenjangan antara proyeksi medali dengan kenyataannya setidaknya bentuk kesulitan Indonesia memetakan posisi daya saing kita di panggung olahraga Asia. Jika di Asia saja sulit, bagaimana di tingkat dunia? Fenomena ini bisa berkonsekuensi melesetnya proyeksi medali kita di Olimpiade Paris 2024. Lawan-lawan yang tadinya kuda hitam, terasa tiba-tiba menyodok ke atas. Kita lantas tersengat, terkaget-kaget. Kerap kali kita merasa sudah bersiap maksimal, padahal jika tampil di panggung sebenarnya, kita jauh tertinggal.
India salah satu yang mencetak prestasi baru dengan pertama kali merebut emas ganda putra bulu tangkis. Apakah ini prestasi tiba-tiba? Tentu bukan, karena sebelumnya mereka tampil sebagai juara Piala Thomas 2022 setelah menang 3-0 atas Indonesia di final. Sudah banyak alarm peringatan di sekitar kita. Tinggal kita mau menggunakan alarm itu untuk serius berbenah, atau tidak.