Setelah Danau Toba Disemprit UNESCO
Geopark Kaldera Toba mendapat kartu kuning dari UNESCO. Seberapa serius kita memperjuangkan Danau Toba sebagai warisan dunia? Pertanyaan ini harus menjadi dasar utama bagi segenap pemerintah.
Kartu kuning dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) untuk Geopark Kaldera Toba sebenarnya bukan kabar yang mengejutkan. Berbagai indikator sudah terlihat dengan terang tentang bagaimana rekomendasi dari UNESCO sama sekali tak disikapi dengan baik dan bijak.
Dalam hal ini, barangkali kita perlu untuk sampai pada titik tegas: evaluasi keberadaan pegiat geopark dan Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT). Kalau tidak ada evaluasi mendalam, bukan tak mungkin kartu kuning dari UNESCO terhadap status Danau Toba akan berubah menjadi kartu merah.
Karena itulah, kita sangat pantas kecewa lantaran untuk meraih status taman bumi (geopark) dari UNESCO bukanlah perkara mudah. Pada 2015, saya ingat persis pengajuan status Danau Toba menjadi taman bumi ditolak UNESCO.
Kala kabar itu mencuat, kami baru saja selesai menuntaskan penampilan Opera Batak di Institute of Cultural Diplomacy, Berlin dan Stuggart, Jerman. Seperti disebutkan di awal, menjadikan Danau Toba sebagai geopark bukanlah perkara mudah. Unsur intrinsik, berupa perawatan danau, terutama unsur ekstrinsik, berupa kesepakatan pemerintah di sekitar danau, sangatlah sulit dilakukan.
Baca juga: Badan Pengelola Tak Berjalan, Geopark Kaldera Toba Dapat Kartu Kuning dari UNESCO
Baca juga: Geopark Kaldera Toba Kian Terpuruk setelah Ketua Harian Jadi Tersangka
Kita hampir tidak tahu di mana letak persoalannya. Apakah karena pemerintah yang satu merasa dilangkahi, atau pemerintah yang lain merasa belum pantas. Faktanya, semua unsur pemerintah di sekitar Danau Toba tidak berbuat optimal.
Sebagai akibatnya, ada suatu masa semacam sebuah kemandekan di mana administrasi demi pengusulan Danau Toba sebagai geopark menemui jalan buntu. Hal ini disebabkan danau yang kita agung-agungkan ini secara administratif dimiliki tujuh kabupaten dan karena itu harus disepakati oleh tujuh kabupaten pula.
Padahal, salah satu syarat penting dari pengusulan, bahkan juga bagian terintegrasi dari penyetujuan geopark, adalah kesepakatan atau kesepahaman bersama, dan inilah yang susah didapatkan. Semua tertikam oleh ego sektoral masing-masing. Inilah yang menurut saya semakin mempersuram nasib Danau Toba saat ini.
Tidak peduli
Padahal, menjadikan Danau Toba sebagai taman bumi, sebagai sebuah ikhtiar, semestinya menjadi sangat mendesak untuk ditindaklanjuti secara lebih bertanggung jawab. Pasalnya, status taman bumi adalah pengakuan dunia kepada kita tentang gagasan untuk mengawinkan pengelolaan warisan geologi (geological heritages) dengan warisan budaya (cultural heritages). Pengawinan kedua konsep terebut sejatinya menjadi sebuah kekuatan, yang tentu saja selain mengangkat martabat masyarakat karena sudah diakui di dunia internasional, juga akan mengundang masyarakat luar untuk kembali melihat Danau Toba.
Namun, dibutuhkan kerelaan semua pejabat untuk memperjuangkannya dengan baik. Sebab, persyaratan yang harus dipenuhi supaya eksis sebagai taman bumi tidak tanggung-tanggung. Seperti diketahui, geopark memuat tiga persyaratan utama: konservasi, edukasi, danpembangunan berkelanjutan.
Khusus tiga persyaratan tersebut, Siswono sebagai mantan Wakil Dubes RI di Jerman tak mau gegabah. Dia hanya bermimpi, paling tidak salah satu dari ketiga syarat itu dipenuhi, semisal syarat pendidikan (edukasi). Menurut dia, aspek pendidikan menjadi sangat penting karena, dengan itu, kesadaran masyarakat akan terdongkrak.
Padahal, menjadikan Danau Toba sebagai taman bumi, sebagai sebuah ikhtiar, semestinya menjadi sangat mendesak untuk ditindaklanjuti secara lebih bertanggung jawab.
Ironisnya, sebagai seorang guru, saya melihat betapa pemerintah setempat di kawasan Danau Toba, juga BPDOT, tidak peduli kepada pendidikan. Padahal, dari enam rekomendasi UNESCO, jika dianalisis, empat di antaranya bermuara kepada strategi pendidikan.
Pertama, mengembangkan hubungan antara warisan geologis dan warisan teritorial lainnya melalui interpretasi, pendidikan, dan wisata. Sebagiamana diketahui, Danau Toba adalah warisan. Sebagai warisan, kita juga harus mewariskannya dengan baik kepada anak cucu. Warisan itu bisa berupa pengetahuan kebudayaan (soft) yang sejatinya harus dimasukkan dalam pendidikan muatan lokal di sekitar danau.
Di dunia pendidikan, tak ada turunan petunjuk teknis dan sosialisasi dari pemerintah. Maka, bertanyalah kepada siswa di sekitar Danau Toba. Pada umumnya mereka tidak tahu-menahu tentang status Danau Toba. Hal itu menjadi bukti kuat bahwa kita abai kepada rekomendasi yang pertama.
Demikian juga dengan rekomendasi kedua, mengembangkan strategi pendidikan dengan bekerja dalam kemitraan dengan UNESCO Global Geopark (UGG) lainnya. Hingga pada akhirnya dikartu kuning, rasanya belum ada terdengar upaya kerja sama dalam kemitraan dengan UGG lainnya, paling tidak UGG di Indonesia. Padahal, kemitraan ini diperlukan sebagai studi banding agar bisa diterapkan dalam pendidikan lokal di sekitar danau.
Baca juga: Cegah Kartu Merah, Pengelola Geopark Kaldera Toba Direorganisasi
Barangkali strategi ini sangat sulit dilakukan pemerintah daerah mengingat ada tujuh kabupaten di kawasan danau. Namun, justru di sinilah seharusnya BPODT berperan untuk mencari titik temu. Sayangnya, BPODT tidak berbuat banyak. Saya sering melakukan komunikasi hingga pada akhirnya bosan dengan kiprah mereka. Sebab, sejauh pengamatan saya, mereka sangat susah untuk diajak berkomunikasi, konon lagi kalau diajak bekerja sama dalam pendidikan dan kebudayaan. Faktanya, saya belum melihat mereka turun untuk mengedukasi siswa di sekolah.
Rekomendasi ketiga malah semakin diabaikan. Nyata bahwa saran UNESCO untuk meningkatkan strategi dan kegiatan pendidikan untuk memfasilitasi mitigasi bahaya alam dan perubahan iklim di sekolah-sekolah dan untuk populasi lokal tidak ditindaklanjuti secara teknis.
Padahal, Danau Toba sebagai kawasan yang sangat luas dan cenderung rentan bencana alam, semestinya pendidikan tanggap kebencanaan di sekitar danau sangat penting. Semakin penting karena belakangan ini, tiap tahun bencana selalu melanda daerah Kawasan Danau Toba (KDT). Strategi dan kegiatan pendidikan ini penting karena daya dukung lingkungan KDT sudah semakin buruk.
Peran mahapenting
Sudah bukan rahasia lagi bahwa di sekitar Danau Toba terjadi penggundulan hutan. Terkadang, oknum-oknum tertentu pun justru berperang melawan masyarakat adat. Mirisnya, negara seperti terlihat lebih mendukung oknum tersebut. Maka kini, hutan adat semakin terancam. Hutan kemenyan juga semakin ditinggalkan lantaran tingginya ancaman dan semakin minimnya peluang.
Pemerintah terlihat kurang peduli kepada petani di hutan adat. Padahal, hutan adatlah yang menjadi penyokong utama terhadap syarat konsep taman bumi: geopark (geodiversity, biodiversity, dan cultural diversity).
Rekomendasi terakhir, memperkuat keterlibatan UGG dalam studi penelitian, konservasi, dan promosi penduduk asli setempat dan budaya serta bahasa mereka. Rekomendasi ini tidak mendapat respons yang baik juga. Padahal, rekomendasi ini seharusnya membuat kita percaya diri supaya budaya-budaya asli di sekitar danau tidak disingkirkan sehingga keterlibatan UGG sebagai pihak utama harus diperkuat.
Baca juga: Warga Geopark Kaldera Toba Bergerak Saat Badan Pengelola Vakum
Budaya-budaya lokal menyangkut pengetahuan-pengetahuan tradisional serta kekayaan bahasa mesti dikonservasi. Namun, fakta berbicara bahwa masyarakat muda di KDT pelan-pelan mulai lupa berbahasa daerah dan belum ada upaya nyata untuk melindungi.
Karena itu, kita menjadi bertanya dalam hati: sebenarnya, seberapa serius kita untuk memperjuangkan Danau Toba sebagai warisan dunia? Pertanyaan ini harus menjadi dasar utama bagi segenap pemerintah, baik pusat, terutama daerah. Tanpa bisa menjawab pertanyaan itu, kita akan melihat Danau Toba yang semakin keruh, semakin hilang dari akar budaya, dan semakin kering dari kehijauan lingkungan.
Dibutuhkan pemerintah yang cerdas dan sigap untuk mengatasi kesemrawutan Danau Toba yang, disadari atau tidak, mulai hilang dari keaslian kultur dan strukturnya. Seharusnya, pendidikan dan budaya mendapat peran yang mahapenting. Namun, seberapa peduli kita pada pendidikan dan kebudayaan?
Riduan Situmorang, Tim Ahli Cagar Budaya Humbang Hasundutan (2022-2023); Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan; Aktif di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt)