Menteri ATR/BPN menjelaskan di DPR bahwa penduduk Pulau Rempang, Batam, yang akan direlokasi tidak punya sertifikat tanah. Betulkah negara memiliki tanah ? Siapa pemilik tanah di negara Indonesia?
Oleh
HANIF NURCHOLIS
·4 menit baca
Betulkah negara memiliki tanah? Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional atau ATR/BPN menjelaskan di DPR bahwa penduduk Pulau Rempang, Batam, yang akan direlokasi tidak punya sertifikat tanah.
Pernyataan tersebut mengandung maksud bahwa karena penduduk Rempang tidak mempunyai sertifikat tanah, tanah yang mereka tempati bukan milik mereka, tetapi milik negara. Karena tanah tersebut milik negara, negara dapat memindahkan penduduk Rempang ke tempat lain sesuai kemauan negara. Pertanyaannya, betulkah negara memiliki tanah?
Negara memiliki tanah adalah alam pikir raja Nusantara. Raja mengklaim bahwa tanah dan rakyat adalah miliknya. Penjajah Belanda yang mengklaim sebagai penerus raja Nusantara meneruskan alam pikir ini dengan sedikit perbaikan. Alam pikir penjajah ini dilegalkan dalam hukum Hindia Belanda yang disebut dengan asas domein verklaring, yaitu suatu klaim bahwa tanah adalah tanah milik negara.
Negara memiliki tanah adalah alam pikir raja Nusantara. Raja mengklaim bahwa tanah dan rakyat adalah miliknya.
Akan tetapi, ketika bangsa Indonesia merdeka, asas domein verklaring dihapus. UUD NRI 1945 Pasal 33 Ayat (3) mengatur bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Frasa ”dikuasai oleh negara” bukan ”dimiliki oleh negara”.
Makna ”dikuasai negara”
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 Pasal 2 menjelaskan bahwa dikuasai oleh negara artinya negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi rakyat Indonesia diberi wewenang untuk: (1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. Juga, (2) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. Serta; (3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Dalam Penjelasan UUPA 1960 dipertegas bahwa perkataan ”dikuasai” bukan berarti ”dimiliki”. Jadi, berdasarkan Konstitusi, negara tidak memiliki tanah. Negara Republik Indonesia menolak alam pikir raja Nusantara dan asas domein verklaring buatan penjajah Belanda.
Dalam UUPA 1960 Penjelasan Umum II angka (2) dinyatakan, ”asas domein” yang berasal dari pemerintah jajahan tidak dikenal dalam hukum agraria yang baru. Asas domein bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas negara merdeka dan modern.
Sebanyak 16 kampung di Pulau Rempang, Kecamatan Galang, Kota Batam, direncanakan akan direlokasi bertahap. Warga yang menolak relokasi menyebutkan tanah yang mereka tempati merupakan warisan nenek moyang yang telah dikelola sejak ratusan tahun lalu.
Kalau begitu siapa pemilik tanah di negara Indonesia? Bolehkah masyarakat Rempang memiliki tanah? UUPA 1960 Pasal 21 mengatur bahwa yang bisa memiliki tanah adalah: (1) warga negara Indonesia dan (2) badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah.
Masyarakat Rempang adalah warga negara Indonesia, bukan warga negara asing. Oleh karena itu, mereka dapat memiliki tanah. Tokoh masyarakat Rempang menjelaskan bahwa masyarakat Rempang sudah menempati tanah di Pulau Rempang sejak 1834-an dan membentuk komunitas desa.
Jika demikian, dalam hukum Hindia Belanda mereka disebut kesatuan masyarakat hukum adat (adat rechtsgemeenschap). Oleh karena itu, tanah yang mereka tempati adalah tanah adat yang tunduk pada hukum adat. Tanah ini dalam hukum Hindia Belanda disebut beschikkingsrecht.
Tanah adat
Tanah adat adalah tanah milik bersama (communal bezitsrecht). Awalnya tanah komunal tidak bisa dimiliki individu dan diwariskan. Akan tetapi, dalam perkembangannya tanah komunal dapat diwariskan kepada anak turunnya sehingga seperti tanah hak milik (eigendom). Kemudian sejalan dengan kebijakan agraria tahun 1870, tanah komunal dapat dijadikan tanah hak milik individu yang dapat diwariskan (erfelijk individueel bezitsrecht), tapi tidak boleh dijual kepada pihak lain.
Berdasarkan penjelasan tokoh masyarakat Rempang dapat disimpulkan bahwa sampai dengan sebelum UUPA 1960 tanah yang ditempati ratusan tahun itu berstatus sebagai tanah hak milik individu yang dapat diwariskan (erfelijk individueel bezitsrecht).
Jadi, penduduk Rempang yang tidak mempunyai sertifikat tanah, tidak bisa disimpulkan bahwa mereka menempati tanah negara karena tidak memiliki sertifikat tanah.
Sesuai UUPA 1960 Pasal VII, tanah adat itu dikonversi menjadi tanah hak milik orang yang menempati/yang menggarap. Konversi dari tanah adat menjadi tanah hak milik, orang yang menempati/yang menggarap cukup dengan menunjukkan tiga alat bukti: (a) surat pajak hasil bumi/verponding Indonesia; (b) surat keterangan kepala desa, yang dikuatkan oleh asisten wedana; dan (c) tanda bukti kewarganegaraan yang sah.
Jadi, penduduk Rempang yang tidak mempunyai sertifikat tanah, tidak bisa disimpulkan bahwa mereka menempati tanah negara karena tidak memiliki sertifikat tanah. Kesimpulan ini salah karena berdasarkan Konstitusi dan UUPA 1960, negara tidak memiliki tanah.
Negara justru diberi mandat untuk mengatur dan menentukan tanah adat yang ditempati penduduk Rempang itu menjadi tanah hak milik secara mudah. Hal ini telah dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo. Bukan sebaliknya. Hanya melihat penduduk Rempang tidak mempunyai sertifikat tanah, negara menggusur mereka karena dianggap mereka menempati tanah negara.
Benar bahwa sertifikat tanah adalah bukti formil kepemilikan hak milik yang kuat. Namun, sejarah tanah yang telah ditempati oleh kesatuan masyarakat hukum adat sejak 1834 sampai sekarang adalah bukti materiil yang lebih kuat. Negara tidak boleh sewenang-sewenang menggusur warga negara Indonesia yang sudah menempati tanah ratusan tahun hanya gara-gara yang bersangkutan tidak memegang sertifikat tanah.