RPJPN 2045 menuju Indonesia Emas miskin sekali konteks maritim. Dari visi yang dituangkan dalam sasaran RPJPN 2045, tidak terlihat sasaran yang mengakomodasi kemaritiman dan perikanan secara baik.
Oleh
YONVITNER
·4 menit baca
Semangat membangun Indonesia dengan visi Nusantara yang berdaulat, maju, dan berkelanjutan harus dikunci dengan keadilan, yaitu dengan DNA kemaritiman. Namun, kalau membaca rancangan akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2045) terasa bahwa ideologi pembangunan kemaritiman ditinggalkan. Dari visi yang dituangkan dalam sasaran RPJPN 2045, tidak terlihat sasaran yang mengakomodasi kemaritiman dan perikanan secara baik.
Penulis melihat bahwa konstruksi RJMPN 2045 miskin instrusi kemaritiman dan perikanan. Bahkan, kemudian terlihat kental sekali nuasa terestrial dan an sich ekonomi. Bahkan, isu yang dibahas santer seputar emisi gas rumah kaca (GRK) ditetapkan sebagai sasaran pembangunan 20 tahun ke depan. Sementara itu, kalau dilihat komponen GRK dan zero emission, seharusnya diletakkan pada sasaran lingkungan hidup yang dapat dituliskan sebagai keharmonisan spasial dan lingkungan.
Padahal, praktik penurunan gas emisi cukup menjadi program dalam sasaran menciptakan lingkungan yang sehat dan berkelanjutan. Terasa sangat pragmatis untuk sebuah rencana jangka panjang 20 tahunan yang mengembang tugas mulia yang akan dilakukan negara tidak disusun secara komprehensif.
Narasi lain yang sangat kental terasa adalah hilangnya DNA pembangunan maritim, yaitu ekonomi biru. Dengan diposisikannya perikanan, seperti sektor pangan an-sich dan ekonomi an-sich, tanpa kemudian melihat integrasi sistem sumber daya yang saling terkait. Padahal, kalau dipahami secara mendalam perikanan, sumber daya pesisir, jasa kelautan, dan pulau-pulau kecil adalah bagian dari DNA ekonomi biru yang seharusnya menjadi salah satu sasaran pembangunan maritim. Kalau ada pemahaman yang menempatkan ekonomi biru sebagai bagian dari ekonomi hijau, sebuah pemikiran yang harus segera diluruskan.
Hilangnya diksi maritim dalam sasaran, misi, dan arah pembangunan nasional jangka panjang menjadi fenomena yang harus dievaluasi. Belajar dari negara lain, membangun ideologi maritim bersalut ekonomi juga tidak perlu malu. Ideologi silk road dalam belt road initiative (BRI) China merupakan implementasi ideologi maritim yang bersalut ekonomi.
Untuk mencapai kejayaan ekonomi China, penguasaan terhadap jalur maritim menjadi tulang punggung utama pembangunan bangsanya. Perbedaan dengan Indonesia, sumber daya yang ditransportasi China berbasis industri barang dan manufaktur, sementara Indonesia seharusnya memanfaatkan ideologi maritim untuk menguasai pelayaran dengan komoditas perikanan tangkap dan budidaya, jasa kelautan, dan produk bioteknologi laut.
Jas merah
Kondisi terbalik malah ditampilkan dalam dalam RPJPN 2045 menuju Indonesia Emas dengan mengamputasi kemaritiman dan perikanan menjadi roh negara Nusantara. Nusantara bukan kali ini saja kita dengar keberadaannya. Sejak Majapahit, sumpah Tan Amukti Palapa Gadjah Mada yang tidak akan memakan buah maja sebelum menyatukan Nusantara. Era kemerdekaan kemudian dimulai dengan diterimanya konsep Nusantara sebagai bagian dari UNCLOS melalui Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 makin mengokohkan bahwa Indonesia sebagai negara maritim yang bersalut Nusantara harus tecermin menuju Indonesia Emas.
Nusantara bermakna negara yang disatukan dari pulau-pulau (nusa) dengan dihubungkan laut, di antaranya sehingga kemudian laut menjadi perekat dari nusa. Nusa tidak seperti desa karena nusa merupakan otonomi yang memiliki pemerintahan dan hukum yang mengikat dari penduduk yang mendiami pesisir dan pulau kecil.
Kondisi terbalik malah ditampilkan dalam dalam RPJPN 2045 menuju Indonesia Emas dengan mengamputasi kemaritiman dan perikanan menjadi roh negara Nusantara.
Kalau perhatikan perjalanan sejarah kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, di mana sebagian besar aktivitas ekonomi bersandar pada aktivitas laut, perdagangan, pelayaran, dan perhubungan, serta politik menggunakan jalur laut. Semangat menjadi laut sebagai ruang kehidupan semakin besar ketika diyakini luasnya yang lebih besar dari daratan.
Kehadiran kolonialisme Portugis, Spanyol, dan Belanda yang sekian lama menghuni Nusantara telah berusaha menghapus jejak bangsa Bahari. Perdagangan laut yang kendalikan VOC telah membatasi gerak rakyat pada kegiatan terestrial. Usaha perkebunan, pertanian, dan politik di laut sepenuhnya dikendalikan imperialis yang mendorong adrenalin kapitalis. Kita tidak hanya kehilangan armada perdagangan di laut, pengawasan laut, tetapi juga politik dan pertahanan keamanan.
Emas DNA biru
Berkontemplasi dari memudarnya semangat kebangsaan sebagai bangsa maritim akibat imperialisme Barat, penguatan jiwa Nusantara dengan DNA maritim harus kembali ditancapkan. Penumbuhkembangan DNA tersebut menguat sejak perjuangan kemerdekaan mencapai puncaknya dengan Deklarasi Juanda. Manifesto itu kemudian diikrarkan Bung Karno ”kita adalah negara pelaut dan kembalilah bekerja di laut”.
Era Presiden Soeharto juga kembali dikuatkan dengan menetapkan hari bahari tahun 1967. Praktik nyata Habibie terhadap maritim dengan membangun industri maritim (PT PAL) dan pendidikan kemaritiman. Dalam berbagai kesempatan, mantan Presiden Megawati juga mendorong pendidikan dan ekonomi maritim. Upaya ini yang kemudian diteruskan Jokowi dengan deklarasi poros maritim.
Kalau kita sepakat bahwa semua itu menjadi penyubur benih kemaritiman yang kuat, maka harus ditumbuhkan DNA maritim Nusantara. DNA maritim Nusantara adalah DNA Biru yang akan tumbuh menjadi kecambah dan pohon ekonomi biru untuk mencapai emas.
Kalau kita sepakat bahwa semua itu menjadi penyubur benih kemaritiman yang kuat, maka harus ditumbuhkan DNA maritim Nusantara.
Ekonomi biru sebagai DNA Nusantara harus memastikan ekonomi nasional tumbuh dari sumber daya alam laut, perikanan, transportasi laut, pertahanan laut, dan politik laut yang kuat. Perhitungan Bank Dunia (2019), potensi tahunan ekonomi biru dapat mencapai lebih dari 250 dollar AS, dengan 45 juta tenaga kerja.
Ramuan yang diperlukan agar DNA maritim Nusantara melalui ekonomi biru bisa tumbuh menjadi kekuatan menuju Indonesia Emas 2045, pertama, harus memprioritaskan setiap aspek pembangunan dalam kerangka ekonomi maritim Nusantara. Kedua, mendorong konsistensi dalam semua level pembangunan, termasuk infrastruktur pembangunan kelautan. Pembangunan ekonomi maritim Nusantara tidak akan tumbuh kalau hanya seremoni dan kemudian menjadi sindrom bermimpi jadi negara maritim.
Ketiga, mendorong literasi maritim Nusantara yang kuat pada elemen bangsa. Lemahnya literasi maritim dalam rancangan RPJPN 2045 menjadi salah satu bentuk kurangnya pemahaman terhadap kemaritiman. Keempat, mendorong prinsip kesehatan ekosistem, kesejahteraan masyarakat, dan keadilan sebagai pilar keberhasilan tumbuhnya DNA Nusantara. Kelima, memastikan ideologi maritim mengawal dari infiltrasi asing maupun penggerusan atas nama kapitalisasi ekonomi merah (an sich eksploitasi).
Praktik ekonomi saat ini yang seolah keberhasilan mencapai Indonesia Emas hanya dengan ekploitasi agar berpendapatan tinggi harus diluruskan. Praktik perikanan berbasis kuota, pengelolaan sedimen laut harus dilakukan dengan memperhatikan keberlanjutan sumber daya dan ekosistem pesisir. Walaupun narasi presentasi menyatakan berbasis ekologi, narasi regulasi jauh dari ekologi.
Kondisi yang sama sebenarnya terlihat dalam rancangan RPJPN 2045 yang minus kemaritiman. Dengan demikian, rancangan tersebut perlu ditinjau ulang agar pembangunan nasional dengan DNA ekonomi biru dapat melaju menjadi kekuatan masa depan bangsa. Jangan ulangi sikap memunggungi laut kalau kita tidak ingin dijajah oleh kapitalisme baru pada masa datang.
Yonvitner, Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) dan Dosen Manajemen Sumber Daya Perairan (MSP) IPB University