Kita berharap mereka yang berencana menjadi capres mulai menyampaikan arah kebijakannya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa dalam lima tahun ke depan.
Oleh
RIZAL SUKMA
·3 menit baca
Dua pekan lalu, dalam kuliah umum di Universitas Al-Azhar, seorang mahasiswa mengajukan pertanyaan menggelitik: ke mana arah kebijakan luar negeri pemerintah yang baru nanti? Apakah prinsip bebas-aktif masih bermanfaat dan akan terus dijalankan? Dalam konteks menguatnya rivalitas antara Amerika Serikat dan China, apakah presiden baru nanti akan membawa Indonesia menjadi negara pengikut salah satu negara adidaya itu, atau akan tetap non-aligned?
Rangkaian pertanyaan di atas merupakan pertanyaan-pertanyaan penting, terutama dalam konteks pemilihan presiden pada 14 Februari 2024. Pertanyaan-pertanyaan demikian setidaknya menunjukkan bahwa para pemilih muda itu kritis dan terdidik, tidak semata melihat sosok, citra, dan pesona figur dalam menentukan pilihan. Mereka juga ingin tahu mengenai apa yang menjadi kebijakan para calon presiden (capres) yang akan berkompetisi itu nantinya.
Dalam sejarah demokrasi Indonesia setelah 1998, yang baru mengalami empat kali pemilihan presiden (pilpres) langsung yang demokratis, persoalan arah kebijakan ini selalu menjadi tantangan tersendiri bagi para capres. Meskipun sejauh ini isu-isu kebijakan belum menjadi faktor determinan dalam pemilihan presiden, publik mulai menuntut para capres untuk mengemukakan rencana- rencana kebijakannya setelah terpilih nanti.
Forum-forum kampus yang mulai digelar serta tradisi debat capres yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum menjadi faktor yang akan mempersulit para capres untuk menghindari pembicaraan mengenai arah kebijakan mereka nantinya. Sebagian pemilih mulai ingin mendapatkan kejelasan mengenai arah kebijakan para capres. Kecenderungan ini merupakan hal yang positif bagi peningkatan kualitas demokrasi kita.
Dengan semakin kritisnya para pemilih Indonesia, kita tentunya berharap para capres juga tidak lagi berhenti pada pernyataan-pernyataan umum. Misalnya, kita tidak ingin para capres itu berhenti pada pernyataan seperti ”kemiskinan akan ditekan serendah mungkin” atau ”saya akan mendorong pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya.” Kita juga tidak ingin seorang capres rutin mendeklarasikan bahwa, kalau dia terpilih, ”biaya kuliah perguruan tinggi akan dihapus” atau ”iuran BPJS Kesehatan akan dihilangkan”.
Pernyataan-pernyataan seperti itu sama sekali tidak menunjukkan arah kebijakan yang akan ditempuh, bahkan terkesan tidak mendidik dan tidak menunjukkan upaya serius meningkatkan kualitas pilpres. Lebih parah lagi, pernyataan-pernyataan umum ataupun janji-janji spektakuler demikian malah akan membentuk persepsi masyarakat yang tidak menguntungkan sang capres itu sendiri.
Para pemilih berhak mendapatkan hal yang lebih baik. Dalam hal ini, mereka berhak tahu bagaimana cara yang akan ditempuh sang capres untuk ”menghapus kemiskinan” atau ”membuka lapangan kerja”. Para pemilih juga berhak tahu bagaimana rencana alternatif pembiayaan pelayanan kesehatan jika iuran BPJS dihapuskan. Dengan kata lain, capres diharapkan bisa membedakan antara tujuan (misalnya, menurunkan angka kemiskinan) dan cara pencapaiannya (kebijakan yang akan ditempuh).
Presiden Joko Widodo telah memulai tradisi kampanye yang tidak hanya berhenti di pernyataan-pernyataan mengenai tujuan, tetapi juga menekankan cara atau kebijakan untuk mencapai tujuan, selama kampanye Pilpres 2014. Misalnya, ketika berjanji untuk ”memperbaiki iklim investasi”, selama kampanye Presiden Jokowi menekankan pentingnya mempercepat waktu yang dibutuhkan untuk proses administrasi dan perizinan dengan memanfaatkan teknologi. Agenda-agenda pembangunan infrastruktur yang masif selama ini merupakan salah satu kebijakan yang ditempuh Presiden Jokowi untuk mewujudkan janjinya mempercepat pembangunan Indonesia.
Tradisi ini diharapkan akan dilanjutkan oleh para capres yang akan berkompetisi dalam Pilpres 2024. Pilpres hendaknya tidak dilihat dan diperlakukan sebagai sebuah ”permainan politik” (political game) untuk mendapatkan kekuasaan semata. Pilpres harus juga dilihat dan dijadikan arena pendidikan politik bagi masyarakat dan para politisi yang nantinya akan bertindak sebagai pelayan rakyat dalam menjalankan mandat yang diberikan rakyat melalui pemilu.
Untuk itu, didesak ataupun tidak, kita berharap mereka yang berencana menjadi capres mulai menyampaikan arah kebijakannya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa dalam lima tahun ke depan. Kejelasan mengenai arah kebijakan ini akan memberikan nilai tambah bagi para capres itu sendiri.