Demokrasi yang berlangsung di Indonesia memang menunjukkan sifat anomali. Praktik-praktik dalam demokrasi di Indonesia dianggap tidak lazim, berbeda dari apa yang dianggap sebagai praktik standar.
Oleh
Rizal Sukma
·3 menit baca
Memahami Indonesia tampaknya memang tidak mudah. Indonesia bahkan kerap immune terhadap kategorisasi. Misalnya, Indonesia jelas-jelas menyatakan dirinya sebagai negara yang mengambil bentuk negara kesatuan (unitary state). Namun, pada saat yang sama, proses desentralisasi yang terjadi sejak 1999, yang antara lain tecermin dalam pelaksanaan otonomi daerah dan otonomi khusus dalam beberapa kasus tertentu, kerap dikritik sebagai bentuk federalisme tersamar.
Sejak kejatuhan Orde Baru tahun 1998, dengan mengadopsi sistem demokrasi, Indonesia jelas sudah bukan lagi negara otoritarian. Bahkan, Indonesia kerap dipuji sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun, sebagai negara demokrasi, Indonesia masih terus dikritik mengenai karakter demokrasinya yang dianggap cacat (flawed), mundur (declining), atau tidak sempurna (imperfect).
Lalu, dalam hal sistem pemerintahan, secara konstitusional, Indonesia menganut sistem presidensial. Namun, melihat dinamika dan logika politik yang berjalan selama ini, sistem politik kita juga kental dengan praktik-praktik yang lazim ditemukan di negara-negara dengan sistem parlementer.
Yang paling membingungkan banyak pihak, terutama dari luar Indonesia, adalah makna pemilihan umum (pemilu), baik pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif, dalam sistem demokrasi Indonesia. Menjelang dan selama pelaksanaan pemilu, kontestasi antarpartai dan antarkandidat cukup kompetitif. Ancaman kekerasan pun kadang kala membayang-bayangi pelaksanaan pemilu. Pascapemilu pun, bayang-bayang kekerasan dan potensi kekacauan ini mengemuka ketika pihak yang kalah menolak mengakui kemenangan pihak lain.
Namun, seperti yang terjadi setelah Pemilu 2014, dan terutama setelah 2019, semuanya berakhir dengan ”manis”. Pemilu tidak otomatis menjadi instrumen untuk menentukan siapa yang menang dan mendapat mandat ”memerintah” serta siapa yang kalah dan menjadi ”oposisi” seperti lazimnya di banyak negara demokrasi lain. Setelah pemilu, pihak-pihak yang ”kalah” ramai-ramai mencari jalan dan berusaha masuk ke barisan ”pemenang”.
Sementara itu, pihak yang menang juga membuka jalan dan merangkul pihak yang kalah. Pihak-pihak yang tadinya merupakan kompetitor—untuk tidak disebut rival—diajak masuk menjadi bagian kabinet pemerintahan. Partai-partai yang tadinya berseberangan juga diajak bergabung menjadi bagian koalisi pendukung pemerintah. Yang kalah, setelah dirangkul menjadi bagian pemerintahan, memuji-muji yang menang. Yang menang pun memuji-muji yang kalah.
Semua itu dilakukan dengan mengatasnamakan semangat ”bersama membangun Indonesia”. Kerasnya kompetisi selama pemilu lenyap, seolah hilang tanpa bekas. Yang tersisa hanya kejengkelan dan kebingungan pendukung serta tim sorak yang berada di pinggiran panggung politik. Yang masih berpegang kukuh pada pentingnya peran oposisi sebagai kekuatan ”pengontrol” terhadap pemerintah menjadi kekuatan mini yang tak begitu terasa. Akibatnya, mekanisme checks and balances kurang efektif.
Tidak berkepanjangannya konflik yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah pelaksanaan pemilu tentu merupakan hal positif. Namun, dalam konteks konsolidasi demokrasi, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana memastikan bahwa mekanisme kontrol terhadap kekuasaan yang berada di tangan pihak ”pemenang” pemilu bisa berjalan dengan efektif dan pemerintah tak perlu khawatir pihak oposisi akan menimbulkan kekacauan dengan kekerasan. Sementara itu, pihak oposisi juga harus mendapat jaminan tidak akan diberangus dengan kekerasan oleh pemerintah.
Dengan kata lain, tantangan kita adalah bagaimana membangun sistem politik demokratis tanpa keharusan bagi-bagi kekuasaan dengan semua pihak demi membangun koalisi besar untuk mendukung pemerintah. Hal ini pada gilirannya dapat melemahkan mekanisme checks and balances yang menjadi esensi dari demokrasi. Bahkan, politik akomodasi yang berlebihan dapat menimbulkan pesimisme dan apatisme politik di kalangan masyarakat.
Demokrasi yang berlangsung di Indonesia memang menunjukkan sifat anomali. Praktik-praktik dalam demokrasi di Indonesia dianggap tidak lazim, berbeda (deviate) dari apa yang dianggap sebagai praktik standar. Namun, bisa jadi, bagi sebagian orang, karakter demikian justru lebih cocok dengan kondisi Indonesia. Maka, upaya perbaikan dan konsolidasi demokrasi tak boleh terhenti.