”Sempuri” Negeri Paser untuk Istana Presiden
Bangunan yang nanti akan menjadi Istana Presiden sudah berdiri kukuh. Meski belum terdengar dentang baja dipukul dan derit mesin las listrik, beberapa pekerja telah berlalu lalang menuju ketinggian gedung.
Dari atas bukit ini pagi terasa sejuk. Ada angin yang berembus halus menghanyutkan awan tipis. Perlahan-lahan cuaca semakin cerah. Matahari seperti bola cahaya merah yang mengambang di langit timur.
Bangunan yang nanti akan menjadi Istana Presiden sudah berdiri kukuh. Meski belum terdengar dentang baja dipukul dan derit mesin las listrik, beberapa pekerja telah berlalu lalang menuju ketinggian gedung. Sekitar pukul 07.45 Wita, Presiden Joko Widodo akan hadir dan memasang baut emas sebagai tanda perwujudan bentuk tubuh burung garuda.
Sejak beberapa hari sebelumnya, kota kecamatan Sepaku sudah tampak sibuk. Di musim kemarau jalan-jalan berdebu, di kanan-kiri tampak pembangunan berbagai infrastruktur dikebut. Kendaraan-kendaraan besar sampai jauh tengah malam terus berderu-deru. Pemandangan terlihat menakjubkan bagi pemuka adat suku Paser, Suwis Santoso. Suwis, biasa dipanggil Pak Mulung (pemuka adat), hampir tak bisa berkata-kata. Ia cuma memperlihatkan wajah takjub, setiap kali ditanya soal kesibukan di daerahnya.
Apalagi ketika Presiden Joko Widodo benar-benar memasang baut emas bilah selubung garuda di IKN (Ibu Kota Nusantara), Jumat (22/9/2023) pagi, Suwis benar-benar tak percaya. Kotanya yang ”udik”, nun jauh di pedalaman Pulau Kalimantan, tiba-tiba dikunjungi ribuan orang. Belum lagi para karyawan yang telah beberapa bulan menetap di kota itu.
Soal keramaian di kota kecilnya, Pak Mulung berkata, ”Leluhur kami sudah ratusan tahun meramalkan hal seperti ini akan terjadi.” Menurut legenda yang diwariskan turun-temurun, pada abad ke-15 Negeri Paser yang terbentang di pesisir tenggara Pulau Kalimantan dipimpin oleh Sie Penggawa (Sembilan Penggawa).
Di tanah ini, kata Pak Mulung, dahulu sering kali terjadi kericuhan dan hura-hara. Oleh sebab itu, kesembilan penggawa mengadakan musyawarah untuk mencari jalan keluar dalam rangka mewujudkan perdamaian.
”Mereka sepakat mencari pemimpin, seorang raja dari luar Paser. Perjalanan mencari raja itu dipimpin oleh Pego, yang bergelar Pangeran Putung Kakah Ukop,” tutur Pak Mulung.
Seluruh rombongan dari Negeri Paser berjumlah 41 orang dan mereka berlayar menjelajah samudra sampai ke Negeri China. Singkat cerita, kata Pak Mulung, setelah tujuh tahun berlayar, mereka akhirnya memutuskan untuk kembali melayari pulau-pulau di Nusantara.
”Karena tak juga mendapatkan raja atau pangeran yang bersedia memimpin Negeri Paser, ke-41 orang itu memutuskan untuk kembali ke Pulau Kalimantan,” kata Pak Mulung.
Di tengah keputusasaan yang dalam, mereka bertemu dengan sebuah pulau yang diliputi kabut. Setelah merapat di pulau itu mereka disambut penguasa Kerajaan Gaib bernama Malimunan. Secara terus-terang, para pemimpin Negeri Paser meminta agar Malimunan bersedia menjadi raja untuk menciptakan perdamaian.
Penguasa Kerajaan Gaib menolak dengan cara halus. Ia meyakini bahwa raja yang sesungguhnya sudah ada di Negeri Paser. Meski begitu, sebelum seluruh tamunya berpamitan, Malimunan memberikan Walu Belingkis, delapan jenis bingkisan.
”Syaratnya delapan bingkisan itu hanya boleh dibuka setelah tiba di Negeri Paser. Syarat ini sama sekali tidak boleh dilanggar,” kata Malimunan.
Seluruh utusan raja Negeri Paser bersedia mematuhi perintah. Sebenarnya Walu Belingkis itu terdiri dari peti besi, tombak, sumpit, ceret kuningan, par, periuk, sembilan piring melawen, dan agong (gong).
Ketika para pemimpin Negeri Paser hendak berpamitan terdapat kejadian aneh. Seorang utusan bernama Usin, adik dari Kakah Ukop, tiba-tiba terjatuh dan kehilangan nyawa. Secara gaib pula Malimunan berhasil menghidupkan Usin kembali. Tetapi setiap hendak menaiki perahu, yang disebut jung, Usin kembali meninggal. Akhirnya diputuskan Usin menetap di Kerajaan Gaib, di mana suku Malimunan tinggal.
Setelah berminggu-minggu berlayar dan melewati pulau demi pulau, tanpa sepengetahuan Kakah Ukop, di setiap muara penggawa Seranta Tulang Tunggal membuka Walu Belingkis satu per satu. Pada setiap ia membukanya, terjadi kilatan dan dentuman petir, serta hujan badai yang tak kunjung berhenti. ”Pada akhirnya hanya tersisa satu belingkis,” ujar Pak Mulung.
Ketika tiba di Teluk Balikpapan dan dari kejauhan tampak Benuo Rekan Tatau (Pulau Kalimatan), satu belingkis terakhir dibuka oleh Seranta Tulang Tunggal. ”Konon ketika dibuka, muncul cahaya yang sangat terang dari segala penjuru. Mereka semuanya menyaksikan sebuah kota besar yang ramai dan makmur dengan jutaan manusia sebagai penghuninya. Terdapat pula jalan-jalan seperti jaring laba-laba sampai ke dataran tinggi. Padahal, waktu itu semua wilayah Negeri Paser berupa hutan rimba,” kata Pak Mulung.
Berdasarkan sempuri (hikayat) itu, menurut Pak Mulung, seluruh suku Paser percaya bahwa suatu saat negeri mereka akan berubah menjadi kota yang terang benderang dengan jalan-jalan yang mengitari lembah dan perbukitan. Negeri pedalaman yang sunyi itu akan dihuni oleh jutaan manusia dari berbagai negeri.
”Kami percaya, kehadiran IKN di daerah kami, telah diramalkan oleh para leluhur di masa lalu. Oleh sebab itu, kami jamin penerimaan masyarakat Paser terhadap keberadaan IKN,” tutur Pak Mulung ketika kami berjumpa di Bandung, Jawa Barat.
Pada akhir Agustus 2023, Pak Mulung ditemani pemuda Paser bernama Eko Supriadi berkunjung ke bengkel kerja Nyoman Nuarta di Bandung. Saat itu ia juga nyaris tak percaya apa yang sedang berlangsung di hadapannya. Ratusan artisan sejak pagi hingga malam sibuk bekerja membuat bilah-bilah selubung garuda, yang nanti akan membentuk Istana Presiden di IKN.
Baca juga: Epilog: Sihir Kekuasaan
Sebagai pedesain Istana Presiden, Nyoman Nuarta menargetkan pada Oktober 2024 pembangunan gedung istana akan selesai. ”Tetapi wujud garuda pada istana sudah akan tampak pada April 2024,” katanya. Nuarta merinci bahwa sosok burung garuda akan dibangun dengan 4.650 bilah logam dari kuningan dan baja.
Selain membentuk sosok garuda, bilah-bilah itu akan menjadi celah bagi lalu lalang udara ke dalam gedung. Sistem ini setidaknya, kata Nuarta, akan mengurangi penggunaanair conditionerdi dalam gedung. ”Istana itu letaknya di atas perbukitan yang tertinggi sehingga angin dengan sangat leluasa memasuki gedung. Jangan khawatir kepanasan karena di dalam istana akan terdapat hutan mini dengan pepohonan yang rimbun,” katanya.
Rupanya desir angin seperti di pagi yang merah itulah yang ingin ditangkap Nuarta. Ia mendesain Istana Presiden menghadap tenggara, dengan demikian tidak serta-merta diterpa sinar matahari saat pagi dan sore hari. Seperti juga pada pagi yang bersejarah itu, matahari berada di timur tepat di bagian punggung kiri istana. Sementara pada sore hari, matahari akan menerpa punggung kiri gedung ikonik itu.
Saat mendengar penuturan Pak Mulung di Bandung, Nyoman Nuarta tampak terharu. Ia tak bisa menyembunyikan kekagetannya. ”Saya merinding mendengar kisah ini,” katanya sembari menyarankan agar sempuri itu ditulis dalam sebuah buku. ”Sehingga tidak hanya diketahui oleh orang Paser, tetapi semua orang Indonesia bisa menyimak dan mengerti orang Paser,” tambahnya.
Menurut Nuarta, desain Istana Presiden yang menyerupai burung garuda tak lain mengacu pada sejarah garuda sebagai burung istimewa di Nusantara. Bahkan, dalam studinya, burung garuda menyebar sampai Thailand, Vietnam, Kamboja, dan negara-negara yang disebut Indo-China itu. Garuda bahkan dipakai sebagai simbol Kerajaan Kediri (1042-1222) dengan rajanya yang tersohor, Airlangga.
”Setelah itu kita tahu para founding fathers kita menjadikan garuda sebagai kerangka membentuk Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika,” kata seniman kelahiran Tabanan, Bali, itu.
Pilihan itu, katanya, mengingat Istana Presiden diperlakukan sebagai monumen yang mempersatukan seluruh bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, ia harus berangkat dari simbol yang universal dan mewakili seluruh etnis yang disatukan secara politik menjadi Indonesia. ”Pilihan saya tidak mengangkat artefak atau bentuk-bentuk estetik dari satu etnis karena ini mewakili keindonesiaan,” ujar Nuarta.
Meski membawa garuda ke pedalaman Kalimantan, Nyoman Nuarta merasa perlu menghormati kearifan lokal, adat istiadat, serta etika yang berlaku pada masyarakat Paser. Ketika membangun bengkel kerja di Sepaku, yang akan menjadi basis kerja pembangunan istana, Nuarta menyelenggarakan upacara berdasarkan tradisi lokal. Setiap jengkal wilayah Nusantara, katanya, senantiasa dihidupi oleh tradisi. Karena itulah, tanah, udara, dan air senantiasa akan memberi kehidupan yang layak bagi seluruh makhluk di dalamnya.
Secara spontan, Cynthia Lakshmi Nuarta menyumbang 1.000 batang pohon pule yang akan ditanam di sekitar IKN. Seluruh pohon yang dikirim dari Kediri, Jawa Timur, itu adalah pohon hasil budidaya. ”Karena sudah lama hutan di IKN itu tidak ada. Bahkan, jutaan hektar lahannya dijadikan area tambang selama bertahun-tahun. Saat IKN ada, maka seluruh areanya wajib dihutankan kembali,” kata Cynthia.
Penghutanan di kawasan IKN, menurut Pak Mulung, merupakan kewajiban seluruh manusia yang akan menghuni di atasnya. Menurut suku Paser, mereka sudah lama meresahkan soal hutan mereka yang kian ludes karena dieksploitasi. Selama ini, orang-orang luar cuma bisa mengambil manfaat dari tanah Kalimantan.
Baca juga: Hippies Roman Made Peter di Bali
”Keberadaan IKN telah membangkitkan rasa keadilan bagi kami,” kata Pak Mulung. Ia berharap IKN akan memberi dampak sosial dan lingkungan yang memadai bagi segenap kehidupan masyarakat lokal. ”Seperti ramalan leluhur kami, kami berharap ini semua akan membawa kemakmuran,” katanya.
Harapan Pak Mulung adalah harapan ribuan masyarakat Paser dan sebagian besar orang-orang yang berada di wilayah timur Indonesia. Selama ini terjadi penumpukan ekonomi serta seluruh aktivitas manusia di wilayah barat, terutama di Pulau Jawa. Jakarta sudah lama sesak oleh manusia dan seluruh problema hidup yang seolah tak berkesudahan. Saatnya, kota ini ”berbagi” dengan daerah lain di Indonesia untuk memeratakan tingkat kehidupan.
Desain Istana Presiden yang ikonik, perpaduan antara arsitektur dan seni, niscaya akan menjadi episentrum baru bagi investasi di Penajam Paser Utara dan sekitarnya. Setelah memasang baut emas di pada bilah selubung istana, Presiden Joko Widodo berturut-turut melakukan groundbreaking Hotel Nusantara, Hotel Vasanta, Rumah Sakit Abdi Waluyo, serta Pusat Pelatihan Nasional PSSI. Selanjutnya, kata Presiden Jokowi, setiap bulan diharapkan ada groundbreaking pembangunan fasilitas guna mendukung keberadaan IKN.
Ketika pagi beranjak menjadi siang, para pekerja sudah sibuk di seluruh Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN. Deru kendaraan-kendaraan besar di sepanjang jalan kawasan seolah berpacu dengan derit mesin las listrik serta crane yang menjulang mencucuk langit sibuk memindahkan material bangunan. Di kota kecamatan Sepaku, sebagai kota terdekat dari IKN, masyarakat penuh gairah menata rumah-rumah mereka. Barangkali mereka bisa membuka restoran atau warung kecil seperti Koh Acang. Setidaknya, gairah itu menjadi pertanda kehidupan baru telah dimulai di Penajam Paser Utara.
Begitulah sempuri para leluhur rakyat Paser, secara perlahan kian hari kian terwujudkan kebenarannya. Orang-orang seperti Suwis Santoso, mewakili kaum sepuh dan Eko Supriadi mewakili kaum muda Paser, dengan penuh gairah menantikan peran yang harus mereka jalani dalam gemuruh pembangunan di daerahnya.