Menyelisik Perdagangan Karbon
Pintu pasar karbon di Indonesia sudah dibuka untuk memperjualbelikan aset berupa sertifikat penurunan emisi. Ada tujuh hal penting sebelum meramaikan lantai bursa, karena komoditas ini berbeda dengan efek yang biasa.
Indonesia Carbon Exchange (IDXCarbon) telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga resmi yang melaksanakan perdagangan karbon di Indonesia. Dengan demikian, pintu pasar karbon di Indonesia sudah dibuka untuk memperjualbelikan aset berupa sertifikat penurunan emisi. Perdagangan karbon akan berjalan seperti jual beli saham di Bursa Efek Indonesia.
Lembaga serupa yang sudah berjalan di luar negeri antara lain Sydney Carbon Exchange, London Carbon Exchange Ltd, Australian Carbon Exchange, dan New York Climate Exchange. Sementara itu, EnKing adalah pemasok kredit karbon terbesar dan memiliki lebih dari 900 klien.
Perlu dipahami
Emisi yang dimaksud di sini adalah emisi gas rumah kaca (GRK) yang tidak ada hubungannya dengan emiten efek di pasar bursa macam IDX.
Dalam hal ini para pialang perlu mengetahui tujuh hal penting sebelum meramaikan lantai bursa, karena komoditas yang satu ini berbeda dengan efek yang biasa diperdagangkan. Tujuh hal yang diuraikan berikut ini perlu dipahami semata-mata hanya untuk meningkatkan integritas pasar karbon yang baru hingga mampu bersaing dengan pasar lainnya.
Pertama, baseline. Setiap kegiatan penurunan emisi memiliki acuan atau rujukan tingkat emisi atau sering dinamakan baseline atau reference level sebelum proyek dilaksanakan. Melalui baseline, pihak yang bertransaksi memiliki rujukan untuk membandingkan emisi sebelum dan sesudah proyek penurunan emisi dilakukan.
Tanpa baseline yang dapat diandalkan, transaksi akan berjalan seperti membeli kucing dalam karung. Nilai baseline selalu dinyatakan secara eksplisit di dalam dokumen pengembangan proyek (PDD).
Transparansi seperti ini harus dijamin karena bagian dari proses monitoring, reporting, verification (MRV) yang secara keseluruhan menggambarkan akuntabilitas proyek. Apalagi jika proyek itu berjangka panjang, 25 tahun, misalnya, para pialang perlu tahu.
Kedua, additionality. Produk yang diperjualbelikan di pasar adalah sertifikat nilai tambah bersih (additionality) dari sebuah proyek penurunan emisi setelah dibandingkan dengan baseline. Konsep ini menghargai upaya intervensi proyek agar beban atmosfer menampung GRK berkurang.
Sebaiknya pembeli atau penjual tidak perlu berharap banyak kalau tidak berbuat banyak karena hanya additionalty yang disertifikasi dihargai (dengan uang).
Para pialang juga perlu mengintip jenis proyek yang menghasilkan sertifikat ini. Jangan sampai timbul anggapan, misalnya kalau sebuah proyek di sektor lahan dikembangkan di hutan primer yang bagus atau cadangan karbonnya tinggi, keuntungan yang diperoleh akan selalu lebih besar dibandingkan di hutan yang rusak atau mengalami degradasi. Besar kemungkinan hutan yang bagus additionality-nya justru kecil. Sebaiknya pembeli atau penjual tidak perlu berharap banyak kalau tidak berbuat banyak karena hanya additionalty yang disertifikasi dihargai (dengan uang).
Ketiga, leakage. Bagaikan sebuah tandon air, cadangan karbon yang disimpan di dalam sistem yang direnovasi dan dipelihara bisa mengalami kebocoran. Lubangnya tak harus terdapat di tandon itu, tapi bisa terjadi di tempat lain yang tak dilindungi atau dibiarkan terpapar pada segala macam risiko.
Emisinya ”pindah” ke tempat lain (emission displacement) yang tidak diawasi atau dijadikan kawasan proyek. Fenomena ini semacam gali lubang tutup lubang, zero-sum game, dengan konsekuensi additionality dapat dibatalkan.
Proyek karbon di sektor apa pun harus ”rapat”, malah kalau perlu dibangun penyangga yang sengaja dirancang untung ”melindungi” proyek dari kebocoran. Boleh jadi ukuran atau kapasitasnya sama dengan proyeknya sendiri.
Keempat, emission avoidance. Mitigasi perubahan iklim tidak serta-merta harus dilakukan dengan menurunkan emisi dari sumber (sources) atau meningkatkan penyerapan pada rosot (sinks). Menunda atau membatalkan kegiatan yang menghindari terjadinya emisi yang lebih rendah dari baseline adalah tindakan mitigatif yang menghasilkan additionality dan perlu mendapat insentif.
Mungkin kita akan menilai tidak adil saat orang tidak melakukan apa-apa, tetapi mendapat insentif atau kompensasi. Sesungguhnya tindakan pasif atau diamnya berkaitan dengan opportunity cost yang harus mereka tanggung karena kesempatan (bisnis) yang hilang.
Desain proyek semacam ini juga layak disusun dalam Dokumen Rancangan Proyek (PDD) dan menerima proses MRV. Kompensasi yang diberikan untuk upaya menghindari emisi paling sedikit harus sama dengan nilai finansial kesempatan yang hilang. Kalau kegiatan itu menyangkut sektor lahan, nilai tambah diperoleh dari jasa lingkungan yang bernilai moneter.
Kelima, double counting. Dalam sistem tata buku, double counting memiliki konotasi positif karena menunjukkan kecermatan kerja. Namun, dalam konteks klaim hasil kegiatan penurunan emisi GRK, double counting dapat dikategorikan sebagai tindakan yang curang karena kerja sekali, tetapi mengharapkan kompensasi dua kali.
Bagi penjual, hal ini harus dihindari karena mempertaruhkan akuntabilitasnya. Bagi pembeli, double counting harus dicermati karena tak hanya merugikan dirinya, tetapi juga pembeli berikutnya. Dalam semuanya itu, bagi atmosfer double counting sangat merugikan karena akumulasi GRK akan meningkat terus dan pemanasan global makin tak terkendali.
Persetujuan Paris telah mengantisipasi kemungkinan ini seperti tertulis dalam Pasal 6 Ayat 2, yang dikenal dengan Article 6.2, yang mengatur bahwa hanya kredit karbon yang telah didiskon untuk memenuhi target penurunan emisi nasional yang dapat diperdagangkan secara internasional (cap and trade).
Dengan begitu, kredit yang akan ditransfer secara internasional tak lagi dibebani tanggung jawab memenuhi target penurunan emisi dalam negeri seperti diatur di Article 6.4.
Keenam, sektor. Tidak seperti sektor pembangunan yang terkait dengan kementerian atau lembaga pemerintah, sektor dalam terminologi konvensi perubahan iklim merujuk pada kegiatan antropogenik yang mengemisikan GRK dan harus dimitigasi, yaitu pembangkitan dan penggunaan energi (listrik, industri, dan transportasi), lahan (hutan dan penggunaan lain), pertanian, dan limbah.
Pemerintah Indonesia sudah menetapkan akan membuat emisi sektor lahan nol, bahkan negatif, melalui program FOLU Net Sinks.
Penyumbang emisi terbesar Indonesia adalah sektor lahan (49 persen), disusul energi (34 persen). Dalam skenario business as usual (BAU) pada tahun 2030, posisinya menjadi terbalik 24 persen dan 58 persen. Dalam rangka implementasi Persetujuan Paris melalui nationally determined contribution (NDC), Pemerintah Indonesia sudah menetapkan akan membuat emisi sektor lahan nol, bahkan negatif, melalui program FOLU Net Sinks.
Ketujuh, harga. Peraturan Presiden Nomor 98/2021 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21/2022 akan memandu dinamika harga karbon di pasar menjadi makin realistis dengan makin matangnya pasar.
Pajak karbon
Hukum permintaan dan penawaran akan berlaku dan tuntutan kualitas komoditas akan menjadi makin tinggi. Para pialang yang terbiasa bermain di lantai bursa efek paham betul bagaimana menakar kualitas proyek. Yang pasti, kedua sektor tersebut akan mendominasi pasar, paling sedikit hingga 2030. Selanjutnya, sektor energi akan semakin bergairah ketika transisi menuju penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) memasuki pasar.
Kebijakan pemerintah menerapkan pajak karbon melalui UU Nomor 7/2021 juga akan meramaikan pasar karbon dalam negeri. Pasalnya, pabrik atau industri, bahkan wajib pajak pribadi ataupun badan, yang membeli barang yang mengandung karbon atau melakukan kegiatan yang mengemisikan GRK akan memiliki pilihan terkena pajak atau membeli kredit karbon di pasar.
Tarif pajak karbon yang ditetapkan saat ini tergolong rendah, Rp 30 per kilogram, tetapi harga ini akan mengikuti peta jalan harga karbon, strategi penurunan emisi, dan selaras dengan penggunaan EBT.
Baca juga : Pajak Lingkungan: Bukan Saat Tepat untuk Implementasi Cepat
Daniel Murdiyarso Guru Besar IPB, Peneliti Utama CIFOR-ICRAF, Ketua AIPI