Daerah yang telah ditetapkan menjadi kawasan lindung seharusnya tetap menjadi kawasan lindung. Kalaupun sudah terokupasi berbagai macam bangunan, secara bertahap dikembalikan menjadi kawasan lindung.
Oleh
IB ILHAM MALIK
·5 menit baca
Kekeringan yang melanda banyak wilayah dan kota di Indonesia merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan kita. Ketika musim hujan dan keberlimpahan air, ternyata air tersebut tidak kita tampung secara rekayasa teknis maupun secara natural. Dan, ketika musim kemarau datang, akhirnya tidak ada juga ketersediaan air dari sumber air baku secara memadai.
Sungai-sungai di kota bahkan mengalami kekeringan. Dan, kekeringan ini tidak hanya terjadi pada saat musim kemarau. Bahkan, pada musim hujan sekalipun air yang mengalir dari hulu sampai hilir akan menurun volumenya dan bahkan kering. Bahkan, ada yang dari hulu sampai tengah perjalanan, airnya sudah habis.
Dan, dari tengah perjalanan hingga ke hilir, airnya sudah berubah dari air yang bersih menjadi air yang keruh dan penuh dengan limbah/air kotor. Karena rupanya di tengah perjalanan, ada pembuangan limbah dari berbagai sumber air limbah ke badan sungai. Akibatnya, sungai menjadi keruh, kotor, dan bahkan menjadi sumber penyakit bagi warga kota atau warga sekitarnya.
Muncul pertanyaan, mengapa ketika musim hujan tidak ada penampungan bagi ketersediaan air tawar pada daerah yang memang membutuhkan jaminan stok air yang memadai? Juga, kenapa kawasan yang menjadi sumber air bersih, karena kawasan tersebut menjadi tempat penangkapan air hujan, pada musim kemarau tidak menyuplai air bersih sebagaimana yang dibutuhkan oleh warga yang ada di sekitarnya?
Apakah ini memang sebuah fenomena alami, ataukah ini merupakan fenomena sebagai hasil dari perencanaan, atau bahkan ini bagian dari dampak kekeliruan perencanaan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut cukup serius untuk kita ajukan karena apa yang terjadi saat ini merupakan hasil dari perencanaan yang dilakukan di kurun waktu sebelumnya. Jadi, kalau misalnya saat ini kita mengalami kekeringan, sebelum kita menyalahkan alam, kita perlu melakukan introspeksi diri terlebih dahulu. Apakah ketika musim hujan datang masih ada daerah tangkapan air hujan, dan apakah sudah ada tempat penampungan air hujan berupa embung, misalnya.
Dokumen tata ruang
Pada kenyataannya, kita bisa melihat bahwa daerah tangkapan air hujan di daerah lereng kawasan tertentu sudah berubah dari kawasan hijau menjadi kawasan abu-abu atau kawasan permukiman.
Dan, ketika dilakukan konfirmasi, kawasan tangkapan air hujan itu memang di dokumen tata ruang sudah ditetapkan menjadi kawasan permukiman. Pun kalau dokumen itu tidak secara jelas menyebutkan sebagai kawasan permukiman, setidaknya disebutkan sebagai kawasan konservasi dan kawasan permukiman terbatas. Inilah yang menjadi biang dari munculnya perizinan pemanfaatan lahan menjadi kawasan permukiman.
Kawasan permukiman di daerah dataran tinggi memang sangat menarik bagi pengembang dan juga bagi calon pembeli. Sebab, paling tidak suhu udaranya lebih dingin daripada di daerah dataran lainnya yang pasti memiliki suhu yang cukup hangat.
Hanya saja, sayangnya daerah dataran tinggi dan kawasan lereng yang ada di sekitarnya merupakan daerah tangkapan air hujan. Di sanalah air ditangkap untuk diresepkan ke dalam air tanah oleh lingkungan. Lalu, itulah menjadi modal dalam ketersediaan air tanah.
Seharusnya kawasan tangkapan air hujan tidak boleh ditetapkan sebagai kawasan permukiman terbatas.
Sementara itu, untuk beberapa bagian dari air hujan yang berubah menjadi air permukaan mengalir ke kawasan mana pun yang berada di sekitarnya. Karena tidak ada sistem drainase kawasan permukiman yang baik, juga tidak adanya embung untuk menjadi tempat penampungan air hujan sementara waktu, maka air itu dengan cepat mengalir ke dataran lebih rendah hingga tiba ke laut kembali.
Ketika kawasan tangkapan air hujan itu ditetapkan di dalam dokumen tata ruang sebagai kawasan permukiman terbatas, maka kawasan tangkapan air hujan pun berubah menjadi kawasan permukiman. Seharusnya kawasan tangkapan air hujan tidak boleh ditetapkan sebagai kawasan permukiman terbatas karena sudah pasti yang namanya permukiman akan secara masif mengokupasi seluruh lahan yang ada di sekitarnya.
Jika melihat fenomena tersebut, artinya ada kesalahan dalam perencanaan tata ruang. Bagaimana para perencana tata ruang menetapkan daerah yang seharusnya menjadi kawasan lindung, tetapi dilegitimasi sebagai kawasan permukiman, meskipun disebut sebagai pemukiman terbatas.
Semua daerah yang seharusnya menjadi kawasan lindung atau kawasan yang tidak boleh ada bangunan apa pun di atasnya haruslah secara konsisten dijalankan dan diterapkan. Bahwa kemudian ternyata pada saat ini kawasan lindung tersebut masih atau sudah diokupasi oleh berbagai macam bangunan, termasuk permukiman, maka dia tetap harus ditetapkan sebagai kawasan lindung.
Apalagi kita tahu bahwa yang namanya rencana tata ruang bukanlah diimplementasikan dalam jangka pendek. Rencana tata ruang itu seperti para arsitek membangun rumah. Desain akhirnya itu sudah diketahui bentuknya seperti apa dan modelnya seperti apa. Dengan demikian, pada tahapan pembangunan fondasi, struktur, ataupun atap bisa dilakukan secara bertahap dan terkonsep, disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang ada.
Perencanaan tata ruang kota, misalnya, juga seharusnya seperti itu. Kita harus sudah tahu bentuk ruang kota kita di masa yang akan datang itu seperti apa. Yang sudah pasti, yang namanya kawasan lindung tetaplah harus menjadi kawasan lindung.
Dan, walaupun sekarang ini kawasan ini sudah diokupasi oleh banyak bangunan, maka secara bertahap melalui rekayasa tata ruang. Mungkin membutuhkan waktu hingga 30 atau 50 tahun ke depan atau bahkan mungkin lebih, kawasan lindung yang terokupasi itu akan kembali menjadi kawasan lindung sesungguhnya.
Di situlah perlu ada skenario dan juga waktu. Jika dari sisi pemindahan penduduk dari kawasan lindung ke kawasan budidaya membutuhkan waktu di atas 25 tahun, hal ini juga akan sejalan dengan kemampuan pemerintah menyediakan perumahan di kawasan budidaya. Jadi bisa dibuat secara bertahap.
Perumahannya bisa dibangun bertahap, kepindahan juga akan berjalan bertahap. Orangtua pemilik bangunan tidak akan mau pindah, dan memang tidak akan kita pindahkan. Namun, anak-anaknya ketika berkeluarga, maka mereka pasti hanya akan menghuni perumahan yang memang berada di kawasan budidaya. Sejak awal juga kita sudah harus menetapkan sebenarnya kawasan budidaya itu bisa menampung berapa banyak penduduk.
Ada beberapa kasus seperti di DKI Jakarta, lahan seluas 12 hektar memiliki kemampuan menampung hingga 13.000 keluarga karena bangunan permukimannya bersifat vertikal. Saya pernah menghitung, jika saja semua permukiman bisa seperti contoh di atas, DKI Jakarta akan bisa menampung penduduk hingga 30 juta jiwa. Dan, itu pun hanya akan ada 10 persen dari total wilayah DKI Jakarta yang terokupasi oleh permukiman. Sisanya bisa digunakan untuk kegiatan agroindustri atau industri lainnya yang menggeliatkan kegiatan ekonomi DKI Jakarta.
Bisa saja dalam mewujudkan hal itu membutuhkan waktu hingga 50 atau 100 tahun lagi. Tetapi, itu harus ditetapkan dan direkayasa dari awal, dari sekarang ini. Bahwa di mana ada kawasan lindung, maka kawasan itu harus terbebaskan dari permukiman. Mana daerah yang rawan bencana dan juga mana daerahnya dapat mengancam eksistensi sungai, maka dia harus dibebaskan dari kegiatan apa pun terutama berkaitan dengan keberadaan bangunan di atasnya.
Tampaknya para perencana tata ruang belum berpikir ke sana. Konsep yang dikembangkan pada saat ini adalah mengoptimalkan yang ada. Memang tampaknya sepertinya hal itu agar relatif mudah untuk dijalani pemerintah. Namun, bukankah hal itu bisa menjerumuskan pemerintah dan daerah itu sendiri ketika sebuah kawasan lindung yang seharusnya dilindungi malah kemudian berubah menjadi kawasan permukiman atau kegiatan lainnya akibat pada saat ini memang kawasan lindung tersebut sudah diokupasi bangunan?
Akhirnya nanti, di masa yang akan datang, kota tersebut akan terancam kekeringan pada musim kemarau ataupun banjir ketika musim hujan. Saya kira di dalamnya ini ada tanggung jawab para perencana ruang. Sejauh mana para perencana memahami kesalahannya dalam merancang tata ruang yang berdampak kepada buruknya kondisi kota?