Darurat DAS, Tata Ruang dan Pembangunan Sektoral
Penyebab mendasar tidak sehatnya DAS ialah tata ruang dan pemanfaatan ruang yang tak memperhatikan kaidah- kaidah DAS. Tata ruang yang keliru atau dilanggar diperparah pembangunan yang cenderung sektoral, tunakoordinasi.
Laporan utama Kompas (23/2/2023), ”Sungai- sungai di Indonesia Semakin Membahayakan”, sebenarnya amat terlambat karena kondisi demikian sudah lama terjadi. Bukan hanya sungai-sungai yang kondisinya membahayakan, keseluruhan daerah aliran sungai juga sudah dalam kondisi darurat.
Bencana terkait air dan musim (hidrometeorologi) bukan baru-baru ini saja terjadi meskipun belakangan intensitas dan magnitudo dampaknya semakin meningkat.
Daerah aliran sungai (DAS) bukan hanya badan sungai atau kiri-kanan sungai, melainkan seluruh daratan dengan sistem sungainya dalam suatu cekungan bumi. Sungai adalah bagian dari DAS dan air sungai adalah produk dari DAS. Kondisi sebuah sungai adalah muara dari kesehatan DAS. DAS yang sehat ialah yang kondisi hidrologisnya terjaga, tak kekeringan di musim kemarau, tidak banjir di musim hujan. Dengan indikator tersebut, jelas sebagian besar DAS di Indonesia tidak sehat.
Kesehatan DAS merupakan hasil akhir dari pemanfaatan ruang di DAS yang bersangkutan. Hulu sebuah DAS berfungsi sebagai daerah tangkapan air yang menangkap dan menyimpan air hujan dan menghasilkan sumber air tanah (mata air) di bagian tengah dan hilir.
Sebagai daerah tangkapan air, bagian hulu sebuah DAS seyogianya dijaga berupa area dengan tumbuhan perenial atau hutan, dicegah dari penggunaan lahan untuk pertanian intensif atau permukiman. Daerah tangkapan air yang rusak, yang tak lagi berupa area dengan tumbuhan perenial, tidak lagi berfungsi menangkap dan menyimpan air, tetapi mengalirkan air permukaan ke hilir. Ketika curah hujan tinggi, maka terjadi banjir dan erosi. Banyak sekali DAS di Indonesia yang kondisi daerah tangkapan airnya jauh dari yang semestinya.
Baca juga : Sungai-sungai di Indonesia Semakin Membahayakan
Baca juga : DAS Prioritas Belum Tertangani Tuntas
Kegiatan ekonomi dan permukiman semestinya hanya di bagian tengah suatu DAS, yang relatif landai. Itu pun harus dilakukan secara bijaksana, memperhatikan kaidah-kaidah ekologi. Misalnya, pembangunan tak menyita area di mana kelebihan air permukaan dari hulu secara alami ditampung di situ atau danau.
Bagian hilir suatu DAS adalah discharge area. Ke situlah air bermuara atau pada akhirnya dilimpahkan. Pemanfaatan bagian hilir untuk permukiman atau untuk aktivitas ekonomi harus selektif, dibarengi dengan mitigasi potensi banjir akibat limpasan air sungai.
Penyebab mendasar dan langkah remedi
Penyebab mendasar tidak sehatnya DAS ialah tata ruang dan pemanfaatan ruang yang tak memperhatikan kaidah- kaidah DAS. Contoh paling mudah ialah DAS Ciliwung yang berhulu di kawasan Puncak. Kawasan Puncak yang dipenuhi permukiman dan pertanian intensif bukanlah daerah tangkapan air yang akan menjadikan DAS Ciliwung sehat. Demikian juga di bagian tengah, penghilangan situ-situ untuk pembangunan fisik menyebabkan aliran permukaan semua melimpah ke hilir.
Terlebih lagi, di bagian hilir badan sungai menyempit akibat pemanfaatan sempadan sungai yang sebenarnya ilegal dan sungai menjadi dangkal akibat erosi- sedimentasi serta sampah. Tidak hanya itu, sebagian daerah limpasan air telah berubah menjadi permukiman.
Tata ruang yang keliru atau dilanggar diperparah oleh pembangunan yang cenderung sektoral, tunakoordinasi. Sektor-sektor, khususnya yang memanfaatkan ruang, hanya memastikan tercapainya tujuan sektor tanpa mempertimbangkan dampak di sektor lain. Hasil akhirnya justru secara bersama-sama menciptakan kerugian kolektif yang masif. Peningkatan produksi pertanian tertentu (misalnya, kentang), dibayar dengan erosi yang tinggi yang berujung pada banjir dan longsor, pendangkalan sungai, penurunan umur pakai waduk.
Bappenas di tingkat nasional dan Bappeda di tingkat daerah adalah institusi di mana koordinasi pembangunan berlangsung. Mekanisme perencanaan melalui musyawarah pembangunan (musbang) rutin diselenggarakan. Namun, perencanaan yang berbasis wilayah administratif belum tentu bersesuaian dengan konsep pengelolaan DAS karena satuan wilayah administratif jarang yang berimpit dengan wilayah DAS. Selain itu, masih sering rencana pembangunan lebih berupa agregasi rencana sektor-sektor.
Pendekatannya perlu diubah, sektor-sektor merencanakan porsinya untuk sebuah multitujuan yang telah disepakati lintas sektoral dengan menggunakan DAS sebagai unit perencanaan.
Karena itu, yang pertama-tama harus dilakukan untuk mengatasi ketelanjuran rusaknya DAS serta meminimalkan bencana ialah meninjau kembali tata ruang, khususnya di bagian daerah tangkapan air, merevisinya sesuai dengan kaidah-kaidah pengelolaan DAS dan menerapkannya secara konsisten. Kalaupun tidak mungkin mengembalikan sebuah daerah tangkapan air menjadi ideal (tak mungkin menggusur sebuah permukiman meski permukiman itu di tempat yang salah), setidaknya dilakukan upaya remedi secara teknis.
Praktik-praktik pertanian yang merusak DAS harus dihentikan, diganti dengan praktik yang lebih ramah DAS.
Pembangunan waduk retensi di Ciawi adalah salah satu contoh. Contoh lain, upaya-upaya ekstra menekan air permukaan, misalnya mewajibkan sumur resapan dan biopori. Praktik-praktik pertanian yang merusak DAS harus dihentikan, diganti dengan praktik yang lebih ramah DAS. Sisa-sisa areal yang masih alami harus dijaga dan direhabilitasi secara mutlak, baik secara vegetatif (dengan tanaman tahunan) maupun secara sipil-teknis (dengan bangunan-bangunan pencegah erosi). Badan air di tengah dan di hilir harus dikembalikan daya tampungnya sebisa mungkin.
Langkah-langkah remedi di atas lagi-lagi hanya akan terjadi jika sektor-sektor atau kementerian/lembaga berkoordinasi secara efektif. Jadi, solusi permanen dan menyeluruh dari persoalan DAS ialah mewujudkan koordinasi yang solid dan efektif lintas sektor.
Harus diakui sangat tidak mudah. Pemikiran adanya sebuah instansi dengan portofolio khusus DAS yang mampu mengoordinasi sektor-sektor patut dipertimbangkan. Faktanya, meletakkan portofolio pengelolaan DAS hanya pada level eselon I sebuah kementerian terbukti tidak efektif. Sangat sulit bagi sebuah eselon I di sebuah kementerian mengoordinasi sektor-sektor lain.
Forum DAS wadah koordinasi
Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS menganjurkan masyarakat berperan dalam mewujudkan DAS sehat. Bentuk keterlibatan itu bisa berupa forum DAS.
Saat ini ada sekitar 150 forum DAS di seluruh Indonesia. Ada forum dengan cakupan provinsi, kabupaten/kota, atau spesifik DAS. Forum-forum itu dibentuk kepala daerah dengan fungsi utama memberikan masukan terkait pengelolaan DAS, menjadi wadah dan memfasilitasi koordinasi, menampung aspirasi, dan meningkatkan kesadaran masyarakat. Selain itu, ada juga forum DAS nasional yang dibentuk Menteri LHK, diketuai dirjen yang menangani DAS. Forum DAS nasional beranggotakan sejumlah eselon I berbagai kementerian, dijalankan oleh Ketua Harian I dan II dibantu Dewan Pakar.
Di tengah lemahnya koordinasi lintas sektor dan belum adanya entitas formal yang efektif menjadi koordinator, forum DAS dapat menjadi wahana koordinasi. Akan tetapi, dari sekitar 150 forum DAS di Indonesia, belum banyak yang benar-benar bisa berfungsi sebagai wahana koordinasi. Ada banyak penyebab. Salah satunya, forum DAS kurang proaktif ke kepala daerah atau kepala daerah kurang terbuka terhadap forum DAS, atau kombinasi kedua-duanya.
Dengan kondisi darurat DAS dewasa ini, seyogianya pemimpin nasional dan pemimpin daerah lebih terbuka terhadap keberadaan forum DAS, dan memanfaatkannya secara optimal. Investasi yang diperlukan tak seberapa dibandingkan potensi kerugian material dan imaterial akibat bencana kerusakan DAS.
IB Putera ParthamaKetua Harian I Forum DAS Nasional, Mantan Dirjen Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung dan Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian LHK