NU dan PKB dalam Pemilu 2024
NU sebagai basis massa PKB sarat dengan konflik internal. Ini berpengaruh besar terhadap kebesaran partai yang seharusnya menjadi wadah tunggal partai NU dan kaum santri.
Ilustrasi
Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia atau LSI Denny JA menyebutkan, mayoritas kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dalam pemilu lebih memilih PDI-P daripada PKB. Hasil survei empat partai politik peserta Pemilu 2024 menyebutkan, responden warga NU yang memilih PDI-P sebanyak 21,9 persen, Gerindra 13,6 persen, Golkar 11,2 persen, dan PKB 11,6 persen. Ternyata PKB bukan partai yang paling favorit di kalangan pemilih NU.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Bahkan, survei LSI Deny JA merilis bahwa NU memiliki perkembangan kuantitas yang sangat besar dari tahun ke tahun. Pada 2005, jumlah warga NU meningkat 25,5 persen dan pada 2023 meningkat secara signifikan menjadi 56,9 persen.
Sebagaimana analisis Deny, peningkatan warga NU tersebut lebih disebabkan faktor kaderisasi. Sementara itu, perseteruan masa lalu antara ketua Umum PKB dan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi salah satu faktor rendahnya jumlah pemilih warga NU ke PKB. Dan, isu tersebut terus diembuskan ke permukaan hingga kini. Bahkan, Yenny Wahid, salah satu putri almarhum Gus Dur, sudah menyatakan diri beroposisi dengan PKB.
Baca juga: Membaca Arah Pilihan Politik Warga NU di Pemilu 2024
Lantas, bagaimana relevansinya jika dikaitkan dengan koalisi PKB (Muhaimin) dengan Anis Baswedan sebagai capres-cawapres? Apakah akan menaikkan jumlah pemilih warga NU ke PKB? Ini menarik untuk dikaji.
Ketua Umum PB NU 2000-2010 (alm) KH Hasyim Muzadi pernah menilai bahwa warga NU selalu bernasib apes. Ketika warga NU mendukung partai lain, ternyata tidak banyak timbal balik yang diperoleh dari organisasi Islam terbesar ini. Sementara ketika warga NU mempunyai partai sendiri (PKB), selalu muncul konflik.
”NU memang serba repot. Tidak punya partai seperti nyangoni kere minggat, punya partai geger terus,” ujar Hasyim saat menghadiri Harlah Ke-78 NU di gedung Asrama haji Lamongan (Jawa Pos, 4/2/2002). Oleh sebab itu, Hasyim mengingatkan agar warga NU memperbaiki diri, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial.
Ketika Gus Dur terpilih menjadi presiden, pertama kali yang beliau ingatkan kepada warga NU—terutama para kiainya—adalah supaya mereka tidak berebut menduduki jabatan di pemerintahan.
Salah satu otokritik yang dilontarkan Hasyim terhadap para kiai NU yang menduduki kursi dewan kala itu terkait dengan keanggotaan mereka sebagai dewan yang tanpa melalui proses lumrah. Hasyim melihat maraknya para calon anggota dewan yang tidak berangkat dari kader politik sehingga ketika menjadi dewan mereka tidak memiliki cukup bekal dan tidak banyak berbuat.
Memang fenomena menarik yang terjadi di kalangan kiai adalah menyangkut keterlibatan mereka di dunia politik praktis, terutama pada masa pemerintahan Gus Dur. Banyak kiai secara sengaja melibatkan diri untuk menentukan kebijakan-kebijakan politik partai tertentu.
Oleh sebab itu, ketika Gus Dur terpilih menjadi presiden, pertama kali yang ia ingatkan kepada warga NU—terutama para kiainya—adalah supaya mereka tidak berebut menduduki jabatan di pemerintahan. Peringatan Gur Dur itu disampaikan setelah muncul dari banyak kalangan kiai NU yang telah mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah.
Keterlibatan kiai dalam politik
Persoalan keterlibatan kiai dalam berpolitik harus dilihat dalam perspektif relasi antara Islam dan politik sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, dan secara konseptual bersifat poli-interpretasi (polyinterpretable) bahwa pilihan kiai untuk ikut atau tidak terjun ke dunia politik tergantung kepada persoalan konsep tersebut.
Secara teoretis dijelaskan oleh Asfar (Prisma, 1995:34) bahwa keaktifan atau ketidakaktifan seseorang dalam berpolitik dapat diartikan sebagai ekspresi atau kepercayaan orang tersebut terhadap sistem yang ada. Jika tingkat kepercayaan kiai terhadap sistem pemerintahan rendah, mereka tidak aktif bermain politik. Di Amerika Serikat, ketidakaktifan atau kegagalan memilih diartikan sebagai kelompok yang ”bukan mendukung” terhadap sistem yang ada.
Masalahnya sekarang, bagaimana seharusnya kiai bersikap dalam politik praktis? Lepas dari perdebatan konseptual soal poli-interpretasi terhadap relasi antara Islam dan politik tadi, seharusnya kiai tetap mengemban misi amar ma’ruf nahi munkar. Tentu dengan caranya sendiri sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Baca juga: Politik Nahdlatul Ulama
Jika dilihat dari basis sosio-kulturalnya, memang kebanyakan kiai memilih wadah politiknya ke PKB dan sebagian ke PPP. Sebab, sesuai dengan khittah-nya, warga NU secara individual diberi kebebasan untuk memilih wadah politiknya dengan ungkapan yang populer: ”NU tidak ke mana-mana, tetapi berada di mana-mana”.
Jika dilihat dari latar belakang sosialnya, PKB sebagai partai berbasis Islam memang memiliki basis sosial terbesar di Indonesia. Namun, apakah kebesaran basis sosial tersebut mampu mengantarkan PKB kepada peran politiknya? Itulah yang terus dipertanyakan oleh kebanyakan pengamat selama ini. Sebab—sebagai partai yang berbasis santri, kiai, dan NU—organisasinya dianggap tidak manajerial sehingga sering disebut sebagai ”organisasi yang massanya besar, tetapi perannya kecil”, rentan konflik, dan mudah dijadikan ajang permainan penguasa.
Setidaknya ada dua tantangan yang dihadapi PKB saat ini, yaitu tantangan internal dan tantangan eksternal dari partai-partai yang ada. Tantangan internal jauh lebih berat dibanding dengan tantangan eksternal karena tantangan internal menyangkut soal soliditas dan kredibilitas partai. NU sebagai basis massa PKB sarat dengan konflik internal.
Misalnya, konflik masa lalu antara kubu Idham Chalid (Cipete) dengan kubu Gus Dur (Jombang) yang berlangsung lama yang akhirnya sangat memengaruhi jalannya roda organisasi; antara kubu Gus Dur dan Abu Hassan, terlepas konflik tersebut di-setting oleh pemerintahan Orde Baru saat itu atau tidak. Dualisme kepemimpinan di tubuh PKB, antara kepemimpinan Alwi Shihab dan Matori Abdul Jalil, sudah tidak bisa dicarikan jalan keluarnya saat itu. Dan yang terakhir, kubu Gus Dur-Muhaimin hingga kini.
Jelas hal tersebut berpengaruh besar terhadap kebesaran partai yang seharusnya menjadi wadah tunggal partai NU dan kaum santri. Tantangan eksternal PKB adalah bagaimana PKB mampu bersaing dengan partai berbasis Islam lain, seperti PAN, PKS, PPP, dan partai nasionalis, seperti Golkar, Demokrat, Gerindra, dan PDI-P.
Dalam konteks keterlibatan kiai dalam berpolitik, sebagai figur yang menjadi panutan umat dan massa di bawah, seharusnya kiai tetap mengemban misi dan prinsip amar ma’ruf nahi munkar tadi. Amar ma’ruf nahi munkar sebetulnya tugas yang paling utama seorang kiai dalam melakukan transformasi sosial. Di dalamnya menyangkut persoalan penegakan terhadap keadilan, penegakan hak-hak asasi manusia dan demokratisasi, serta perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan dan segala macam bentuk tirani dan kezaliman.
Tantangan internal jauh lebih berat dibanding dengan tantangan eksternal karena tantangan internal menyangkut soal soliditas dan kredibilitas partai.
Di sinilah sebetulnya kiai harus berperan. Jika konsep yang demikian ini dipahami, saya kira tidak ada lagi seorang kiai yang mau menjadi tangan panjang penguasa yang korup, yang disebut oleh al-Ghazali sebagai ulama su’ (ulama buruk).
Komitmen kiai terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan harus tetap dijaga sebagai bentuk dari sikap ketundukan terhadap Tuhan. Dengan demikian, berpolitik adalah menegakkan nilai-nilai moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai inilah yang harus tegak di dalam setiap masyarakat.
Saya kira Gus Dur benar ketika menegaskan bahwa Islam menjadi besar jika mengutamakan politik sebagai moralitas, bukan politik sebagai institusi dan kepentingan pribadi. Dan itulah sesungguhnya yang diemban oleh Nabi dalam risalahnya. Apa pun namanya yang dipraktikkan Nabi dalam memimpin umat di Madinah sebetulnya tidak lepas dari urusan penegakan moral tersebut (Innama buistu liutammima husn al-akhlaq).
Kesadaran baru santri
Dalam setting sosial Indonesia yang begitu cepat berubah seperti sekarang ini, kesadaran masyarakat sudah sedemikian varian, seiring dengan terbukanya kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi dan proses globalisasi. Dari aspek ini kemudian melahirkan kesadaran baru terhadap persepsi kepemimpinan, yaitu dari kepemimpinan individual menuju kepemimpinan kolektif.
Gambaran sikap masyarakat terhadap kepatuhan kiai dan penguasa juga tidak mudah untuk diukur secara pasti. Memang dalam hal-hal tertentu sebagian masyarakat masih memiliki kepatuhan terhadap kiai bahkan tanpa reserve, misalnya dalam soal fatwa agama, sebut saja soal memilih jodoh. Namun, tidak demikian dengan politik, otoritas kiai sudah mulai bergeser. Pergeseran otoritas kiai ini juga diakibatkan oleh pemahaman masyarakat yang semakin kritis dalam merespons doktrin agama.
Baca juga: Berebut Restu Politik NU
Dalam hal relasi antara masyarakat, elite agama, dan penguasa, persoalannya sebetulnya ada pada kerja sama antara kiai dan penguasa (ulama dan umara). Jika kerja sama yang dilakukan adalah menyangkut persoalan sosial-kemasyarakatan (keumatan)—bukan kolusi dan legitimasi terhadap kemungkaran yang dilakukan penguasa—saya kira justru yang dibutuhkan sekarang ini.
Itulah perlunya ”reposisi ulama” seperti yang pernah ditulis (alm) Gus Hadzik (Republika, 22/7/1999). Kiai harus memosisikan diri sebagai kontrol kekuasaan, penyeimbang hegemoni penguasa, dan penegak moral sebagaimana posisi setiap utusan Tuhan. Jika kesadaran ini terwujud dalam setiap elite agama (kiai), kemungkinan untuk mengembalikan citra politik kiai yang selama ini minor akan segera sirna. Wallahu A’lam bis Shawab.
M Basri, Asisten Direktur Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang; Alumnus Kajian Politik Islam, University of Arkansas, Amerika Serikat