Berebut Restu Politik NU
Kuatnya tarikan politik dari berbagai kekuatan menjadi ujian serius bagi komitmen para pemimpin NU menjelang tahun politik 2024. Marwah politik NU harus betul-betul dijaga bahwa NU bukanlah alat politik.
Konstelasi politik menjelang Pemilu 2024 kembali menempatkan Nahdlatul Ulama sebagai incaran sejumlah kekuatan politik nasional.
Berbagai strategi pendekatan terus dilakukan untuk memburu restu dan ”tuah politik NU”. Bahkan, tidak sedikit pula elite politik yang tiba-tiba ”mendadak NU” lewat berbagai ekspresi, gaya, dan klaim kedekatan.
Fenomena yang berulang lima tahunan itu setidaknya disebabkan tiga alasan besar.
Pertama, NU memiliki basis pemilih loyal sangat besar. Setidaknya, sekitar 50 persen masyarakat Muslim Indonesia terafiliasi dengan jaringan NU, baik secara struktural (jam’iyyah) maupun kultural (jemaah).
Artinya, dalam sistem pemilihan presiden yang menghendaki kemenangan berbasis 50 persen suara plus satu, dukungan warga NU (nahdliyin) menjadi faktor penting dalam penentuan kemenangan pilpres ke depan (Fealy, 2005; Hamayotsu, 2009).
Baca juga: Membaca Arah Pilihan Politik Warga NU di Pemilu 2024
Kedua, besarnya jumlah pemilih nahdliyin ini ditopang oleh pola relasi patron-client yang kuat, dalam tradisi kekiaian dengan para santri dan jemaah nahdliyin pada umumnya.
Doktrin sami’na wa atho’na atau ”apa pun petunjuk kiai, kami laksanakan”, menjadi instrumen politik yang sangat efektif untuk menggiring dan mengarahkan preferensi politik pemilih berlatar belakang nahdliyin (Geertz, 1960; Dhofier, 1985, Umam, 2011).
Ketiga, di tengah kembali menguatnya pertarungan ideologi dan eksploitasi politik identitas, dukungan politik NU diyakini bisa memenangi pertarungan wacana ideologis di tengah karakter masyarakat politik Indonesia yang berkarakter ”tengah-moderat”.
Tradisi pemikiran NU yang berakar dari fikih Syafi’iyah, akidah Asy’ariyah, dan tradisi sufisme Abu Hamid al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi yang moderat dan toleran seolah jadi penjamin bahwa tokoh yang didukung NU akan berada di garis ”tengah moderat” (Bruinessen, 2015; Azra, 2014).
Oleh karena itu, wajar jika dukungan politik NU seolah juga membuka ruang terkonsolidasinya dukungan sepuluh persen basis kelompok minoritas, yang selalu mengharapkan stabilitas, perdamaian, dan keamanan.
Meskipun memiliki tiga kekuatan politik di atas, hingga kini belum ada satu pun tokoh NU yang memiliki basis kekuatan elektoral memadai, untuk tampil kompetitif di bursa calon presiden pada Pemilu 2024.
Alhasil, sebagian tokoh politik NU harus berpuas diri untuk bermain di ”Liga Cawapres”, yang kini menjadi incaran sekaligus diperebutkan oleh para capres potensial.
Manuver pendekatan
Upaya pendekatan terhadap simpul politik NU salah satunya terlihat dari manuver PDI Perjuangan yang berambisi mewujudkan kemenangan pilpres tiga kali berturut-turut (hattrick). PDI-P sangat percaya mesin politiknya akan efektif jika menggandeng figur nahdliyin sebagai cawapres.
Keyakinan itu berakar dari sejarah Pemilu 1955 dan Pemilu 1971 yang mencatat kemenangan PNI dengan berkolaborasi bersama Partai Masyumi dan juga Partai Nahdlatul Ulama kala itu.
Itulah sebabnya, nama-nama tokoh NU—mulai dari Rois Am Pengurus Besar NU (PBNU) KH Miftakhul Akhyar, mantan Ketua Umum Tanfiziyah PBNU KH Said Aqil Siroj, hingga tokoh NU yang kini menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nazarudin Umar—beredar cukup santer dalam wacana pencawapresan PDI-P untuk mendampingi capres Ganjar Pranowo.
Doktrin sami’na wa atho’na atau ’apa pun petunjuk kiai, kami laksanakan’, menjadi instrumen politik yang sangat efektif untuk menggiring dan mengarahkan preferensi politik pemilih berlatar belakang nahdliyin (Geertz, 1960; Dhofier, 1985, Umam, 2011).
Di sisi lain, Partai Gerindra yang mencapreskan Prabowo Subianto juga tampak gencar menjalankan operasi politik untuk mendapatkan cawapres NU.
Sejak awal Gerindra gesit mendekati Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai alternatif utama koalisi, hingga kini terbentuk Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).
Prabowo sadar, dua kali kekalahannya di Pilpres 2014 dan 2019 salah satunya dipicu oleh tidak kompetitifnya mesin politiknya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang didominasi jaringan komunitas santri nahdliyin dan juga kelompok Abangan (Lane, 2021).
Oleh karena itu, belakangan Prabowo tampak gencar ”mencuci tangan” terkait kedekatannya dengan kelompok Islam konservatif di pemilu-pemilu sebelumnya, dengan cara mendekati para kiai dan sel-sel politik NU yang terfasilitasi oleh jaringan politik PKB.
Strategi itu diharapkan bisa menghadirkan pertukaran basis dukungan suara (trade off), dari dukungan politik Islam konservatif yang hilang, hingga mendapatkan dukungan kelompok Islam moderat sebagai penggantinya.
Sementara itu, capres dari Koalisi Perubahan Anies Baswedan juga memiliki ekspektasi serupa. Pasca-kemenangannya di Pilkada DKI Jakarta 2017, Anies yang lebih dipersepsikan kuat sebagai tokoh politik Islam kini membutuhkan sosok cawapres dari kalangan politik nasionalis atau memiliki kedekatan dengan NU. Hal itu dibutuhkan untuk menarik kembali posisi Anies ke garis politik ”tengah-moderat” dalam spektrum ideologi politik di Indonesia.
Fragmentasi dukungan
Kuatnya tarikan politik dari berbagai kekuatan ini lagi-lagi menjadi ujian serius bagi komitmen para pemimpin NU menjelang tahun politik 2024. Sebab, Muktamar Ke-34 NU di Lampung 2021 mengamanahkan pentingnya independensi dan netralitas politik sebagaimana termaktub dalam Khitah NU 1926.
Oleh karena itu, munculnya manuver elite struktural PBNU yang masih saja mencoba bermain-main dan memanfaatkan klaim dukungan politik jaringan nahdliyin untuk tokoh politik tertentu akhirnya memicu reaksi pertentangan dari internal jaringan NU itu sendiri.
Hal ini memunculkan pertanyaan besar tentang soliditas dukungan pemilih NU pada Pemilu 2024. Sebab, hingga kini belum ada tokoh politik NU yang mampu mengonsolidasikan basis pemilih loyal nahdliyin.
Para tokoh politik NU umumnya dihadapkan pada sejumlah realitas tantangan, mulai dari rendahnya elektabilitas, tidak adanya mesin politik partai untuk membentuk koalisi, terbatasnya logistik politik, adanya kerentanan terkait isu kasus hukum yang bisa terpolitisasi, hingga ”telanjur terjebak” dalam komitmen perjuangan dakwah dengan fokus pada kerja-kerja keumatan melalui struktur NU yang netral.
Sementara itu, ancaman bangkitnya kekuatan politik Islam kanan-konservatif juga tidak tampak signifikan.
Kuatnya tarikan politik dari berbagai kekuatan ini lagi-lagi menjadi ujian serius bagi komitmen para pemimpin NU menjelang tahun politik 2024.
Mencermati faktor-faktor dan dinamika politik tersebut, besar kemungkinan dukungan pemilih nahdliyin pada Pemilu 2024 akan tersebar secara merata ke sejumlah capres-cawapres yang berlaga. Hal ini ditopang oleh kian kuatnya literasi politik nahdliyin, di mana perilaku politik mereka tampak semakin kritis, independen, dan tidak lagi mudah dikendalikan oleh basis patronase politik di lingkungannya.
Karena itu, kesadaran nahdliyin bahwa ”NU bukanlah alat politik” kian menguat. Warga NU juga tidak ingin NU terus dijadikan sebagai ”tukang dorong mobil mogok” yang sering ditinggalkan tuannya setelah kendaraan melaju kencang.
Untuk itu, menjelang turbulensi politik 2024 yang kian memanas, marwah politik NU harus betul-betul dijaga. Perjuangan politik kebangsaan NU tidak boleh semata terjebak dalam agenda perebutan kekuasaan.
Sebagai bagian dari Islamic based-civil society, NU perlu tetap fokus pada kerja-kerja penguatan kualitas sumber daya manusia bangsa dan pemberdayaan ekonomi keumatan sembari tetap menjaga nalar kritisnya dalam mengawal berbagai agenda kebijakan publik, terutama yang berorientasi pada penguatan kualitas demokrasi, antikorupsi, penegakan keadilan, dan perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Ahmad Khoirul Umam, Dosen Ilmu Politik & International Studies Universitas Paramadina; Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic), Jakarta