Politik NU yang ditempuh oleh PBNU saat ini adalah mengambil jarak dari politik kepartaian dan kekuasaan yang praktis.
Oleh
ULIL ABSHAR ABDALLA
·3 menit baca
Menurut sejumlah survei, dari pemilu ke pemilu terjadi kenaikan jumlah warga yang secara kultural atau ritual mengidentifikasikan dirinya dengan Nahdlatul Ulama. Survei Litbang Kompas pada Mei 2023 menunjukkan bahwa 61,7 persen responden mengaku sebagai warga NU.
Istilah ”mengaku sebagai warga NU” ini memiliki banyak pengertian. Pengertian yang paling umum ialah perasaan bahwa orang bersangkutan lebih sreg secara kultural dan keagamaan dengan corak keagamaan dan ritual NU. Pengertian lebih khusus: orang bersangkutan memang secara de facto dan resmi adalah anggota NU dan, mungkin, pernah menjalani pengaderan di NU.
Apa pun pengertiannya, secara numerik, masyarakat yang merasa menjadi bagian dari NU merupakan jumlah yang amat besar di Indonesia. Inilah yang menjelaskan kenapa dari pemilu ke pemilu selama era reformasi, percakapan tentang kecenderungan elektoral warga NU begitu menarik semua kalangan. Hampir semua pengamat politik mengemukakan ”spekulasinya” masing-masing tentang partai dan calon presiden mana yang akan menjadi preferensi bagi warga NU.
Sementara itu, diskusi serupa terjadi dengan intensitas yang tinggi di kalangan warga NU sendiri, terutama dalam bulan-bulan politik seperti sekarang: partai apa dan calon presiden yang mana yang akan mendapatkan endorsement dari PBNU? Saya sendiri, sebagai salah satu Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), selalu mendapatkan pertanyaan serupa setiap kali berkunjung ke daerah. Ini adalah pertanyaan yang mirip sebuah kaset yang terus diputar.
Secara normatif, garis politik yang ditempuh oleh NU, terutama setelah Muktamar NU yang ke-27 pada 1984 di Situbondo, ialah NU bukanlah partai politik lagi, dan karena itu, NU tidak akan terlibat dalam dinamika politik elektoral, baik di tingkat pusat maupun daerah. Istilah yang dipakai pada saat itu (yakni pada dekade 1980-an dan 1990-an, alias di era Orde Baru) ialah equidistance, mengambil jarak yang sama dengan semua kekuatan politik.
Namun, dinamika baru terjadi setelah berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 1998. Sikap equidistance itu tampaknya tidak berlaku lagi. Secara empiris, tentu saja ada kecondongan emosional yang lebih besar di kalangan warga nahdliyin terhadap partai yang didirikan oleh para kiai NU itu. Meskipun secara formal dan sebagai organisasi NU tidak mengeluarkan dukungan resmi terhadap partai tertentu, semua orang tahu, sikap personal dari elite NU jelas menunjukkan kecondongan ke PKB.
Apakah benar warga NU lebih condong ke PKB? Secara empiris, preferensi politik warga NU tidaklah statis, tetapi berubah secara dinamis. Berdasarkan survei Litbang Kompas Agustus 2023, preferensi politik warga NU secara berturut-turut terdistribusi pada partai-partai berikut ini: PDI-P (22,2 persen), Gerindra (19,9 persen), dan PKB (10,2 persen). Dengan kata lain, preferensi politik NU secara umum merefleksikan sikap politik warga Indonesia secara keseluruhan.
Bagaimana dengan sikap resmi PBNU saat ini? Sebagaimana ditegaskan berkali-kali oleh Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf (dikenal dengan Gus Yahya), ada dua sikap politik pokok yang diambil oleh PBNU saat ini. Pertama, PBNU sebagai institusi resmi tidak akan terlibat dalam sikap dukung-mendukung. Tidak akan ada calon presiden ataupun wakil presiden resmi atas nama PBNU, demikian ditegaskan berkali-kali oleh Gus Yahya.
Sikap ”netral” inilah yang tampaknya membuat hubungan antara PBNU dan PKB kurang ”hangat” dalam beberapa waktu terakhir. Tentu saja PKB berharap PBNU bisa memberikan dukungan yang terang benderang kepada partai itu. Namun, ini tak terjadi.
Sikap kedua: PBNU mewanti-wanti warga NU secara khusus dan rakyat Indonesia secara umum untuk tidak terjatuh pada jebakan politik identitas: politik yang didasarkan pada eksploitasi sentimen primordial yang sempit, terutama sentimen keagamaan. Politik ini, dalam pengalaman politik kita beberapa tahun terakhir, memiliki dampak yang destruktif.
Dengan kata lain, politik NU yang ditempuh oleh PBNU saat ini adalah mengambil jarak dari politik kepartaian dan kekuasaan yang praktis. PBNU hanya memiliki concern pada politik yang lebih substantif: politik yang diselenggarakan dengan akal sehat demi kemaslahatan lebih luas, bukan mengeksploitasi sentimen primordial yang sempit.
Inilah politik yang dulu pernah disebut oleh Kiai Sahal Mahfudz (Rais Aam PBNU 1999-2014) sebagai al-siyasah al-samiyah atau politik tinggi. Bukan politik praktis yang berkaitan dengan dinamika perebutan kekuasaan melalui partai politik.